Bab 35 - Empat Elemen

68 6 10
                                    

Rupanya Astra masih terjaga. Pemuda itu sedang termenung di dekat jendela kaca besar hingga ke lantai. Tangannya menopang dagu sementara pandangannya menerawang ke arah lautan lepas. Dia teringat perkataan Abha tentang tanda lahir itu. Mungkin teman-temannya tidak tahu bahwa dirinya memiliki tanda lahir berupa titik-titik hitam yang membentuk segitiga. Apakah mungkin Abha adalah moyangnya? Dibukanya baju yang dia kenakan pada bagian atasnya sehingga tampaklah tiga titik hitam yang membentuk segitiga di dada bidangnya.

Jika memang Abha adalah leluhurnya, maka dia harus cari tahu lebih banyak tentang dirinya dari orang tua itu. Barangkali beliau tahu sesuatu. Mungkin nanti kalau ada kesempatan, dia akan bertanya pada Abha.

Astra tak dapat tidur malam ini, sehingga dirinya lebih tertarik untuk melihat-lihat 'istana' dibandingkan semalaman hanya berbaring di atas tempat tidur. Astra bergegas membuka pintu kamarnya, memutar gagangnya pelan, lalu menutup kembali. Dia memperkirakan waktu sudah melewati tengah malam.

Deretan pintu tertutup di kiri-kanan, beberapa ruangan tempat teman-temannya beristirahat sementara sebagian besar lainnya kosong. Entah mengapa Abha membangun rumah besar dengan kamar sebanyak ini, sementara jumlah penghuni rumah ini sepertinya tak terlalu banyak.

Beberapa jam lagi fajar menyingsing, Astra pikir tanggung jika sekarang dirinya pergi tidur, apalagi semalam suntuk tak didera kantuk. Jadi pemuda itu memutuskan untuk tetap terjaga sampai pagi tiba. Astra melihat sekelebat bayangan melintas dari sudut matanya. Ketika lelaki itu menoleh untuk memastikan siapa sosok tersebut, rupanya itu Abha. Pria tua itu menghampiri Astra.

"Kamu belum tidur, Astra?"

"Belum, Abha. Aku tidak bisa tidur. Abha sendiri tidak tidur?"

"Abha tidur sebentar. Sekarang sudah waktunya bangun."

Astra mengerutkan keningnya.

"Sepertinya ini baru lewat tengah malam, Abha."

"Memang, ini sudah masuk dinihari. Kami memang tidak tidur lama, paling lama sekitar tiga jam."

"Benarkah?"

"Iya, itu karena akselerasi sel yang cepat, sehingga dalam kondisi aktivitas biasa hampir tidak ada rasa kantuk, lelah dan lain-lain. Selain itu, waktu seperti ini sangat tepat untuk melakukan sembah pada Hyang Widi."

Astra mengangguk paham, tentu saja bangsa ini merupakan bangsa spiritual.

"Abha, aku ingin bertanya sesuatu, bolehkah?"

"Boleh," jawab Abha singkat dengan menyunggingkan senyum.

"Aku ingin tahu—," belum sempat Astra menyelesaikan kalimatnya, Abha sudah tahu apa hal yang ingin dia tanyakan.

"Mengenai leluhurmu, kamu juga memiliki tanda itu, bukan?"

"I-iya Abha."

"Abha sudah tahu. Kamu adalah keturunan Abha dari anak pertama Abha, namanya Qhayl. Kemampuannya dalam penguasaan energi sama seperti yang lainnya. Tetapi ada satu keistimewaan yang tak dimiliki oleh yang lainnya yaitu memiliki kemampuan memperbanyak diri. Rupanya keturunankulah yang akan menyelesaikan krisis di masa depan sesuai dalam kitab ramalan."

"Apakah Abha merasa yakin kalau yang akan menyelesaikan krisis di masa depan adalah aku? Aku sendiri justru tak merasa yakin, apalagi dengan kemampuanku yang masih jauh dari kata cukup."

"Alam telah mengirimkanmu ke masa lalu, itu adalah salah satu alasannya. Meskipun banyak juga orang hilir mudik melakukan perjalanan ke berbagai dimensi waktu, tetapi hanya kamu dan teman-temanmu yang mendapatkan tugas seberat itu. Kamu juga dipertemukan dengan leluhurmu, itu sudah cukup untuk meyakinkan bahwa kamu dan teman-temanmu adalah empat elemen yang dimaksud Rathaneus."

4 ELEMENTS [Diterbitkan Oleh Jejak Publisher]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang