Bab 6 - Elbran

122 11 0
                                    

Jingga masih merasa canggung memegang tongkat sihir yang saat ini ada dalam genggamannya. Tadi, ketika masih pagi-pagi buta semua calon penyihir dibangunkan agar semuanya berkumpul dan mencoba berbagai tongkat sihir untuk menentukan tongkat yang mana yang akan menjadi senjata mereka.

Ada beberapa jenis tongkat sihir yang digunakan di Sundapura, sesuai dengan jumlah cabang sihir. Misalnya ada tongkat Oaken yang terbuat dari kayu Oak dan Akasia. Tongkat ini biasanya menjadi senjata para penyihir penyembuh. Karena kayu-kayu tersebut bisa memaksimalkan energi sihir yang dikeluarkan si penyihir.

Ada tongkat Elbran, sejenis skepter yang menjadi senjata para penyihir elemental secara umum. Nantinya tongkat tersebut dimodifikasi dan diberi tambahan berupa ukiran dan penanaman inti tongkat berupa batu mulia yang berbeda-beda sesuai dengan bakat elemen penyihir.

Lalu ada tongkat Bétleux dan beberapa jenis tongkat lainnya yang belum Jingga ketahui. Ketika dia mencoba untuk memanggil tongkat sihir itu dalam hati, rupanya tongkat Elbran yang menjawab panggilan hatinya.

Artinya bakat sihir yang dimilikinya adalah elemental, seperti halnya Astra, Evan dan juga Peter. Dia amati lagi tongkatnya yang berwarna hitam legam sepanjang 40 cm yang melancip di bagian ujung depannya. Tongkat tersebut dipenuhi ukiran runik kuno dan simbol-simbol yang tak dipahami Jingga.

Bagaimana bisa tongkat ini menjawab panggilan hati sehingga tongkat itu bergetar dan akhirnya terangkat sendiri. Apakah tongkat ini memiliki jiwa?

Jingga masih membayangkan keanehan tongkat sihirnya ketika pintu diketuk dari luar. Rupanya Astra, Evan dan Peter menunggunya. Hari itu mereka akan mulai belajar mengembangkan bakat sihir di akademi.

“Kita samaan ya, tongkat sihir kita jenis Elbran. Berarti kita sama-sama penyihir elemental. So cool,” celoteh Evan pada ketiganya ketika mereka mulai berjalan menyusuri koridor asrama.
“Yeah,” Peter menimpali. Sementara Jingga dan Astra hanya tersenyum menanggapi kedua anak kembar tersebut.

Asrama dan akademi berada dalam satu kawasan dengan perpustakaan agung dan istana yang menyatu dengan menara Sundapura. Keempat bangunan tersebut berada di setiap arah mata angin dan membentuk segi empat. Sehingga mereka hanya perlu berjalan beberapa puluh meter saja untuk sampai di  akademi.

Hari itu mereka akan belajar dasar sihir, yaitu mengendalikan aliran energi tubuh. Mereka akan diajari oleh guru Hale, yang berdarah Balkan, namun dibesarkan di New Casttle. Wanita berusia pertengahan tiga puluhan tersebut ada di Sundapura sejak belasan tahun yang lalu kini menjadi salah satu  pengajar di Sundapura.

“Baiklah, hari ini kita akan mulai belajar mengembangkan  kekuatan sihir. Sebelum itu, kita harus menguasai pengerahan energi dasar. Nah kalian harus memusatkan pikiran dan fokus. Bayangkan energi dalam tubuh kalian mengalir ke seluruh bagian tubuh lalu ke kedua tangan kalian. Kita mulai. Kalian ikuti saya ya,” guru Hale kemudian melakukan semedi diikuti Astra, Jingga dan yang lainnya.

Sementara para penyihir muda ini sedang fokus bersemedi, guru Hale bangkit. Dan berjalan sambil mengamati satu persatu.

“Lalu sekarang bayangkan, tubuh kalian menjadi sebuah batu. Tetap fokus.” Beberapa saat kemudian satu persatu penyihir muda ini seperti patung batu hidup. Kulit mereka berubah warna dan mengeras. Namun sepertinya Astra mulai kehilangan fokus. Kulitnya perlahan kembali mulus. Melihat hal itu, guru Hale menegur Astra,

“Astra, fokus lagi. Apa yang kamu pikirkan?”
Mendengar guru Hale menegurnya, spontan Astra kehilangan fokus dan membuka mata.

“Oh, maaf guru, saya akan coba lagi.” Lalu Astra kembali menutup mata dan fokus bersemedi. Sepuluh menit kemudian guru Hale memberi isyarat agar menyudahi semedi. Akhirnya perlahan kulit mereka kembali mulus seperti semula.

“Nah, fokus adalah kunci untuk bisa mempertahankan kekuatan kalian agar bertahan lama. Ini adalah bagian paling dasar dari sihir. Dengan tanpa mantra, pemulapun bisa melakukannya. Untuk selanjutnya, kalian bisa berlatih sendiri untuk pengerahan energi. Oh iya, mana yang mendapat tongkat Elbran?”

Dua puluh siswa mengacungkan tangannya, termasuk Jingga, Astra, Evan dan Peter.

“Oke, kalian ikut Guru Kostas,” Guru Hale menunjuk ke arah sosok pria tinggi dan berambut pirang yang berdiri paling kiri guru-guru akademi. Lalu mereka mengikuti guru Kostas untuk berlatih khusus di tempat lain.
Guru Kostas mengajak dua puluh penyihir muda ke areal perbukitan di belakang akademi. Biasanya untuk para  penyihir elemental lebih banyak berlatih di luar ruangan. Tentu saja agar lebih leluasa mengerahkan kekuatan elementalnya. Pria asal Yunani itu menginstruksikan agar semuanya menyiapkan tongkat Elbran.

“Oke, anggap tongkat Elbran yang kalian pegang adalah teman sejati kalian, karena tongkat-tongkat itu telah memilih kalian. Hari ini kita akan memulai latihan bagaimana mengerahkan kekuatan elemental yang paling dasar. Ingat, tadi pesan dari Guru Hale, kunci untuk mengerahkan kekuatan sihir adalah fokus. Rasakan aliran energi dalam tubuh kalian, bayangkan energi itu mengalir ke tangan dan menjalari tongkat kalian.”

Kedua puluh penyihir muda tersebut berbaris menghadap Guru Kostas. Sebelumnya guru Kostas merapal mantra pelindung untuk memberi batas ruang latihan.

Furanna

Selarik kobaran api dari tongkat guru Kostas meluncur ke atas mereka dan menimbulkan ledakan. tercium bau udara yang terbakar yang cukup menyengat. Guru Kostas menepi, sehingga tampak sebuah batu besar dalam jarak lima meter di depan mereka.

“Kalian coba lakukan seperti yang saya lakukan tadi. Bayangkan kalian merasakan kobaran api yang keluar dari tubuh kalian dan arahkan tongkat kalian ke batu besar disana lalu rapalkan mantranya. Nat, you first!” guru Kostas menunjuk remaja perempuan di ujung kiri barisan, Natalie.

Kemudian Natalie mencoba melakukan seperti yang dilakukan guru Kostas.

Furanna.

Kobaran api yang kecil meluncur dari ujung tongkat Natalie, namun masih jauh untuk sampai menyentuh batu besar tersebut. Kemudian remaja sebelahnya melakukan hal yang sama, masih gagal.

Giliran Jingga yang merapal mantra. Ketika dia arahkan tongkat sihirnya, kobaran api meliuk-liuk aneh sebelum mendarat persis di permukaan batu, kobaran itu lenyap. Guru Kostas tersenyum heran. Begitupun Evan, ketika gilirannya merapal mantra, kobaran api yang menjalar sangat besar. Kobaran itu melebar ke segala arah, hingga hampir saja membakar guru Kostas. Teman-temannya yang sedang fokus merapal mantra seketika buyar dan percikan api di ujung tongkatnya lenyap. Semuanya terkejut, termasuk guru Kostas.

“Oh, maaf guru, saya tak sengaja,” Evan merasa tidak enak.

“Hey, don’t worry man, that’s good,” kata guru Kostas lalu dia bertepuk tangan.

“Wow, kekuatanmu besar, tapi masih belum bisa dikendalikan. Jangan khawatir, perlahan kita akan belajar mengendalikannya. Intinya kekuatanmu dan kekuatan kalian semua harus sering dilatih. Semua penyihir memang harus memiliki kemampuan pengendalian yang tinggi, tetapi bagi penyihir elemental hal itu sangat penting karena sihir aliran elemental sifatnya merusak.

Evan mengangguk sementara yang lainnya masih terpaku gara-gara pemandangan tadi. sebagian ada yang takjub, namun ada beberapa yang sepertinya mulai tak menyukai Evan. Sepanjang hari itu mereka berlatih keras untuk mengendalikan kekuatan dan merapal mantra elemen dasar.

4 ELEMENTS [Diterbitkan Oleh Jejak Publisher]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang