Bab 28 - Kristal Waktu

53 7 8
                                    

Tiga hari kemudian.

Kabut tebal masih menyelimuti bumi. Beberapa murid mulai terserang flu dan demam. Mereka semua berada di dalam akademi, tak ada seorang pun yang berani keluar ruangan. Mungkin hanya beberapa penjaga yang hilir mudik dari istana-akademi-asrama, karena sebagian murid berdiam di asrama.

Suasana kota menjadi sangat sunyi dan gelap seperti malam. Sehingga selama tiga hari itu terasa seperti malam yang sangat panjang.
Evan dan Peter termenung di dalam aula, bersama teman-temannya yang lain. Mereka berdua memikirkan nasib orang tuanya.

Sama halnya dengan yang lain, barangkali. Mereka yang masih memiliki keluarga tentu sama khawatirnya. Jingga juga begitu. Walaupun orang tuanya mungkin tak mengkhawatirkan dirinya, tapi jauh dalam relung hatinya, Jingga sangat menyayangi mereka dan mencemaskan keadaan mereka. Hanya selama ini dirinya tetap bertahan untuk tak kembali. Gadis itu telah terlatih untuk lebih kuat menerima keadaan apapun.

Hanya Astra yang tak mengkhawatirkan orang tuanya karena mereka sudah tiada. Meskipun, dokter Anthony telah menganggapnya sebagai anak, entah mengapa hatinya masih merasa bahwa lelaki itu asing dalam kehidupannya.

Astra, Jingga, Evan dan Peter duduk melingkar. Ada yang memeluk lutut, ada yang bersila. Semua tenggelam dalam lamunannya masing-masing. Namun, seperti ada angin yang tiba-tiba menerpa wajahnya, Jingga kemudian melihat dirinya berada di tempat lain. Semua teman-temannya tak berada di sana, tak ada seorang pun.

Dalam kebingungan, dirinya sedang berada di sebuah ruang terbuka yang mirip dengan sebuah taman dengan pepohonan rindang, ada jalan setapak yang terbuat dari lempengan batu dan kolam yang luas dengan air mancur. Namun, daun-daun dan rerumputannya berwarna biru, bahkan sebagian lagi berwarna ungu.

Dirinya sedang duduk di sebuah bangku taman. Tiba-tiba ada seseorang yang memanggil namanya. Jingga celingak-celinguk, mencari sumber suara, akhirnya dia menemukan asal suara itu. Dari arah belakang, muncul sesosok kakek yang sepertinya sangat tua karena rambutnya telah memutih. Janggutnya yang panjang menjuntai melewati dadanya juga berwarna putih. Namun, wajahnya terlihat segar dan berseri.

Kakek itu tersenyum padanya seraya menyapa Jingga dengan bahasa yang sangat halus.

"Samprazan, Nay."

"Rhampiaza." Jingga tertegun dengan cara kakek itu memanggilnya. Dia tak tahu bahwa itu adalah panggilan yang lumrah bagi anak gadis Sunda karena meskipun dirinya berdarah Sunda, namun kehidupannya sudah sangat berbeda dengan kehidupan orang Sunda. Kemudian pria tua itu mengajaknya untuk duduk kembali di bangku taman di sebelahnya lalu pria tua itu kembali bertanya pada Jingga.

"Beligdemia flerontusa?"

"Hah?"

"Oh, maaf. Saya baru ingat kalau kamu hidup di zaman sekarang. Saya tak terbiasa menggunakan bahasa Indonesia, tetapi baiklah. Bagaimana kabarmu? Baik-baik saja?"

Jingga mengangguk pelan.

"Saya sudah tahu akan ada yang mendatangi saya." Pria tua itu santun, namun sangat berwibawa. Jingga merasa kikuk duduk di sebelahnya.

"Nak, ada banyak hal yang ingin saya sampaikan padamu mengenai dunia. Ketahuilah bahwa dunia ini teramat rapuh, sekiranya kamu mengetahui. Telah banyak kerusakan yang ditimbulkan oleh manusia sejak dahulu kala. Meskipun mereka dibinasakan, namun hakikatnya semua kejadian yang telah berlalu, terjadi lagi di kemudian hari."

Lelaki tua itu menghentikan ceritanya sejenak dan mengusap janggutnya yang menjuntai. Lalu kembali berbicara, sementara Jingga hanya mendengarkannya dengan saksama.

"Kita hidup di zaman berbeda, nak. Tetapi ada satu hal yang membuatnya sama, kita hidup di zaman ketika dunia meletupkan amarahnya akibat penurunan moralitas manusia dan fungsinya sebagai pemimpin di bumi. Kita hidup di zaman, ketika bencana mulai terjadi secara besar-besaran dan kamu tahu, nak, setelah itu apa yang akan terjadi?"

4 ELEMENTS [Diterbitkan Oleh Jejak Publisher]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang