Bab 30 - Hari Kedua

52 8 2
                                    

"Jingga, coba lihat, langit malam di abad ke-tujuh ternyata seperti ini ya. Indah sekali."
Astra menunjuk ke langit. Pandangan Jingga mengikuti arah telunjuk Astra kemudian tersenyum sumringah.

"Iya, ya, bintang-bintangnya terlihat sangat dekat dan sangat banyak."

Mereka tengah menikmati suasana malam yang cukup sunyi karena kota ini masih sangat sedikit penghuninya. Namun, penerangan kota ini walaupun tidak ada listrik, justru mereka memiliki benda yang dapat bercahaya terang seperti lampu, tetapi tidak menimbulkan polusi cahaya sama sekali. Rupanya jaman kerajaan tak sekuno dugaan mereka.

"Memandang langit seperti ini, aku tiba-tiba jadi ingat rumah lagi. Sudah beberapa bulan aku meninggalkan rumah. Biasanya aku sering menyendiri, menikmati langit malam yang bertabur bintang, merindu hujan yang mengguyur pekarangan, bahkan aku mengenal betul aroma petrikor, bagai sudah tercerap utuh ke dalam otakku menjadi candu. Aku benar-benar merindukan hujan dengan segala romantikanya." Astra hanya terdiam mendengar kata-kata Jingga yang puitis. Jarang sekali gadis itu berbicara seperti ini, namun Astra sangat kagum pada ketegarannya. Sedikit banyak dia telah tahu kehidupan Jingga, bagaimana perlakuan orang tuanya, teman-temannya juga. Tetapi sangat jarang Astra melihat gadis itu menunjukkan kelemahannya, jarang sekali gadis itu terlihat menangis.

"—kehidupan memang luar biasa, penuh rahasia dan misteri. Ada banyak hal-hal yang menakjubkan namun selalu ada hikmah di balik setiap peristiwa."

"Rahasia—," sahut Astra sengaja memberi penekanan pada kata tersebut dengan mengucapkannya pelan. "Memang benar, hidup ini penuh rahasia. Seperti halnya rahasia tentang masa laluku yang tak pernah kuketahui. Ketika aku memiliki harapan lalu harapan itu kandas, kemudian harapan baru datang, itu seperti dunia sedang mempermainkanku, agar aku merasa lelah lalu memutuskan untuk menyerah, menerima kenyataan seperti adanya."

"Aku yakin, suatu saat kamu akan mengetahui semuanya," kata Jingga meyakinkan Astra.
"Barangkali. Tapi, aku sudah tak terlalu berharap, sebab saat ini harapanku satu-satunya adalah Sundapura. Meskipun dokter Anthony juga sangat baik, aku masih belum menerima sepenuhnya."

Mendengar nama itu, Jingga teringat sesuatu. Tadinya gadis itu ingin menceritakan sesuatu tentang Dokter Anthony, namun sampai saat ini dirinya belum sempat. Mungkin nanti saja ketika keadaan sudah membaik.

"—aku bersyukur berada di sana, bertemu dengan guru-guru yang sudah seperti orang tua, bertemu teman-teman yang sudah seperti keluarga, termasuk kamu, Evan dan Peter yang menjadi sahabat terbaik yang kumiliki saat ini."

Jingga tersentuh hatinya. Lalu gadis itu menatap Astra yang masih menerawang ke atas langit, kemudian pemuda itu balas menatap Jingga dalam-dalam selama beberapa saat mereka saling menatap.

"Ah, aku jadi malu!" Astra dan Jingga terkejut mendengar suara dari arah belakangnya. Rupanya Evan memperhatikan keduanya dari tadi di belakang mereka berdua, hanya saja mereka tak menyadarinya. Dengan wajah sok polos, Evan bergabung dan duduk di dekat mereka, namun anehnya dua remaja di depannya tiba-tiba menjadi salah tingkah.

"Kau itu, kebiasaan ya!" Kata Astra dengan nada yang sedikit ditekankan pada kalimat terakhir, tetapi bukan marah.

"Wow, wow, wow, Chill, man. Kalian bisa juga, ya, berkata-kata puitis." Evan tertawa renyah.

"Sejak kapan kau di situ?"

"Sejak—, kalian memandang bintang-bintang yang berkilau di atas sana," jawab Evan sambil mengacungkan jari telunjuk di depan dadanya. Gayanya tiba-tiba jadi menyebalkan persis seperti adiknya.

"Oh iya, Peter mana?" Tanya Jingga mengalihkan pembicaraan.

"Entahlah, dari tadi dia belum kembali. Padahal dia bilang segera menyusul, rupanya belum datang juga."

4 ELEMENTS [Diterbitkan Oleh Jejak Publisher]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang