23. Kesedihan

2.5K 111 18
                                    


-Happy Reading-

Dinda sudah siap dengan seragam sekolahnya, hari ini dia akan berangkat ke sekolah bersama Vano. Tadi pagi, Vano mengiriminya pesan, kalau cowok itu akan menjemputnya. Dinda memandangi dirinya dicermin, senyum tipis mengembang di sudut bibirnya, entah mengapa dia sangat bahagia hari ini, karena akan dijemput oleh Vano. Terlebih lagi saat mengingat pesan yang dikirimkan Vano semalam. Hatinya menghangat.

Dinda segera mengambil tasnya dan segera turun kelantai bawah untuk sarapan, sebelum Vano menjemputnya. Sesampainya di bawah, Dinda dibuat terkejut dengan kehadiran Abangnya dimeja makan, Bang Aldi. Aldi menatap Dinda dengan senyum penuh kehangatan. Sepersekian detik senyum hangat Aldi perlahan pudar ketika menyadari bahwa Dinda hanya memandangnya datar, tidak ada senyuman bahkan pelukan yang biasa dia terima saat Dinda melihatnya.

"Masih ingat pulang ternyata." ucapan pedas itu keluar dari mulut Dinda, Aldi terdiam mendengarnya.

"Dek?" panggil Aldi.

Dinda memandang Abangnya datar, "kenapa? mau izin pergi lagi? pergi aja, Dinda juga gak peduli." hati Aldi mencelos mendengar apa yang barusan Dinda katakan.

Dinda lagi dan lagi memandang abangnya dengan pandangan datar. Sebenarnya Dinda sangat rindu dan ingin sekali berlari kearah abangnya sambil memeluk Abangnya itu, tetapi egonya lebih tinggi dan memaksa Dinda untuk bersikap seperti ini. Dinda ingin mengatakan sesuatu, tapi dia takut kalau itu akan menyakiti hati abangnya. Dinda menghela napas.

"Abang tau gak? Setiap hari Dinda selalu sendirian di rumah besar ini. Setiap hari Dinda selalu berharap Papa, Mama, dan Abang pulang dan nemenin Dinda kaya dulu lagi. Dinda sendirian bang, Dinda kesepian. Setiap hari Dinda sholat dan berdoa sama Allah, Dinda ingin keluarga Dinda hangat kembali seperti dulu. Abang tau itu? Kayanya Abang gak pernah tau deh, yang Abang, Papa, dan Mama tau kan gimana caranya ngumpulin uang banyak." Dinda mengucapkan itu dengan air mata yang perlahan mengalir dipipinya.

Hati Aldi sangat sakit melihat adiknya menangis seperti ini. Dinda benar, selama ini dia dan kedua orang tuanya hanya sibuk mencari harta, harta, dan harta. Sampai-sampai dia meninggalkan adiknya sendirian, tumbuh tanpa kasih sayang dari kedua orangtua mereka, dan belum sempat Aldi berbicara, Dinda kembali melanjutkan perkataannya.

"Lebih baik miskin harta, dari pada miskin kasih sayang." Dinda mengucapkan kalimat itu dengan nada lirih. Sementara Aldi? Sakit. Hatinya benar- benar sakit mendengar ucapan Dinda barusan. Ternyata selama ini, dia dan orang tuanya benar-benar salah karena membiarkan Dinda tumbuh tanpa kasih sayang mereka. Dia dan orang tuanya pikir, jika mereka mempunyai banyak uang, itu akan membuat Dinda bahagia, tapi ternyata mereka salah. Dinda tidak butuh uang banyak, yang Dinda butuhkan hanya kehadiran Abang dan kedua orangtuanya di sisinya selalu.

Melihat Aldi yang masih saja terdiam, membuat Dinda merasa bersalah karena sudah berucap kasar kepada abangnya, Dinda menghela napas kasar. Getaran di ponsel Dinda membuat cewek itu mengalihkan pandangannya kearah benda tipis tersebut, setelah membaca pesan singkat di ponselnya Dinda segera bersiap-siap mengambil tasnya, lalu kembali menatap Abangnya yang masih saja terdiam.

"Dinda ke sekolah dulu, Vano udah didepan." setelah mengucapkan itu, Dinda segera berjalan keluar sambil menghapus bekas air mata dipipinya.

Aldi memandang Dinda sampai Dinda benar-benar tidak kelihatan lagi oleh pandangannya. Aldi menunduk dan langsung menjatuhkan dirinya disofa ruang tamu, hatinya masih sakit mendengar ucapan Dinda tadi. Ia mengacak-acak rambutnya kasar, tak lama kemudian air matanya ikut jatuh, membasahi pipi tirusnya.

[#1] DEVANO (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang