Bab 17.1

11 3 0
                                    

Mysha melirik jam yang ada di pergelangan tangannya. 6.40, itu berarti ia masih mempunyai waktu 10 menit lagi setidaknya untuk berharap bahwa Arvino tidak serius dengan perkataannya kemarin.

Sebenarnya Mysha sendiri ragu, ini memang bukan pertengkaran pertamanya dengan Arvino, tapi entah mengapa saat ini dirinya takut jika Arvino benar-benar menghilang dari kehidupannya. Entahlah, tapi Mysha tidak akan pernah siap untuk itu.

6.48, Mysha menghela napas pasrah. Tangannya bergerak naik memegang dada dengan napas tertahan. Sesak. Arvino tidak datang. Laki-laki itu serius dengan ucapannya.

Dengan gerakan lamban, Mysha mulai bangkit. Ia berjalan menjauhi pekarangan rumahnya dengan kaki lemas. Sekuat tenaga ia menahan rasa sesak di benaknya yang sejak tadi hampir tak terbendung.

Mysha menepuk-nepuk pelan dada kirinya, berharap denyutan aneh itu segera menghilang, tapi yang ada, denyutan itu semakin nyata.

Membelenggu dan menyekiknya.

֍֍֍

Tidak ada yang spesial dengan kegiatan Mysha hari ini. Sekolah, makan di kantin, pelajaran, dan sekarang ia justru terjebak di halaman tengah sekolah di antara kebisingan ketiga sahabatnya yang sejak tadi tak berhenti merecokinya.

"Ada masalah sama Arvino?"

Mysha menghela napas lalu menggeleng pasrah, "enggak. Udah deh, aku beneran nggak apa-apa."

"Mood kamu buruk seharian ini, ngomel-ngomel terus bengong mulu. Kenapa sih?" desak Dinda.

"Mys, jangan diem aja."

"Kalau lagi ada masalah cerita, jangan disimpan sendiri. Setidaknya kalau kita nggak bisa kasih solusi, kita masih ada buat dengerin semua perasaanmu," ujar Anya selembut mungkin.

"Aku nggakpapa kok, beneran," jawab Mysha dengan suara serak, karena semakin lama kesedihannya semakin tak terbendung lagi.

"Kamu tahu kan, setiap masalah pasti ada jalan keluarnya," kali ini giliran Lia membuka suara.

Sejenak Mysha merasa ragu. Hubungan ketiga sahabatya dengan Arvino tidaklah baik. Ia takut jika ia menceritakannya, semua akan berakhir rumit.

"Ini beneran ada hubungannya sama Arvino kan?"

Mysha terdiam. Ia menatap Lia sejenak tanpa berniat untuk menjawab pertanyaan perempuan itu.

"Astaga, kenapa sulit sekali sih cerita sama kita? Aku tahu mungkin Arvino lebih berarti apapun dibanding kita, tapi kita juga ada di sebagian kehidupanmu Mys. Kalau kamu ada apa-apa, kita di sini buat kamu."

Rasanya Mysha ingin sekali menangis.

"Kok jadi aku yang mellow."

Lia memutar bola matanya kesal. Perempuan itu menatap Dinda dengan dahi mengerut. Baginya ucapan Dinda adalah respon yang benar-benar menyebalkan.

"Diam, bisa nggak?" Lalu pandangan Lia beralih menatap Mysha. "Jadi kenapa?"

Mysha tak langsung menjawab. Ia menarik napas lama lalu memejamkan mata sejenak. Kemudian perlahan, mengalirlah satu cerita dari bibirnya.

Mysha menutup ceritanya dengan helaan napas panjang. Rasanya ia bisa merasakan apa yang mungkin Arvino rasakan selama ini terhadapnya. Ia tidak menyangka jika sedikit kebohongannya akan terasa sesakit ini.

"Aku tahu rasanya," ucap Anya tiba-tiba. "Pasti sakit kan? Kamu sakit, Arvino apalagi. Mengkhianati diri sendiri juga orang yang kita cintai, maksain diri sendiri buat bilang 'nggak apa-apa, semua pasti akan baik-baik saja', padahal kenyataan nggak semudah itu. Berdiri di tengah kebimbangan tanpa sandaran, rasanya pasti sangat sulit kan? Dan saat itu, kita seolah mendapati semua pijakan kita perlahan hancur."

MIS-UNDERSTANDING [REVISI] Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang