"Ya. Itu..seperti apa yang telah ku katakan. Tidak ada namanya sahabat antara laki-laki dan perempuan. Jikapun ada maka the problem its me."
Mysha terpaku. Ia berusaha menahan keterkejutannya, perkataan Arvino berhasil membuat perutnya bergejolak. Jantungnya berpacu dengan keras menanti kelanjutan dari perkataan Arvino.
"Aku memiliki perasaan itu sejak awal tanpa kamu dan aku sendiri sadari."
Mysha kira jantungnya sudah berdetak dengan kekuatan maksimum tadi. Namun kini setelah mendengar kelanjutan dari ucapan Arvino, jantungnya seakan ingin meledak.
Ia meremas kuat-kuat pergelangan tangannya yang berada di pangkuannya dan menahan nafas, mencoba mengurangi detakan hebat di dadanya. Ia takut kalau-kalau suara detak jantungnya dapat di dengar oleh Arvino.
"Sha?"
Eh? Mysha tersentak, matanya bertabrakan dengan mata Arvino. Lelaki itu menatapnya dengan lembut, ragu, dan sedikit kesal? Mysha mengernyitkan dahi.
"Iya?" Ucapnya bingung dan gugup.
Mysha melihat raut kesal semakin terpampang jelas di wajah Arvino, terlihat dari kedua alis tebal lelaki itu yang kini terlihat mengerut.
"Kamu nggak denger perkataanku?"
"Yang mana?" Mysha mendadak malu untuk mengingatnya.
"Aku berbicara panjang lebar mengenai perasaanku dan kamu nggak dengar?" Arvino melotot tajam. Rasanya laki-laki itu ingin menendang dan memeluk Mysha secara bersamaan.
"Eh, aku..mendengarnya. Iya dengan.. baik." Mysha tertawa lirih berusaha menghilangkan kegugupannya.
Tenang. Ini hanya Arvino. Selama empat tahun kedekatannya dengan lelaki ini, tidak pernah sekalipun ia kesulitan untuk menemukan perkataannya. Tapi lihatlah sekarang, bahkan hanya dengan menatap mata tajam lelaki itu, ia kesulitan berbicara!
"Oke."
Oke? Mysha terpana. Ia mengira jika Arvino akan mengatakan sesuatu yang lebih panjang dan berarti daripada kata oke. Tapi sepertinya harapannya pupus. Baiklah, mungkin sekarang giliran Mysha mengambil alih pembicaraan. Ia sedikit menarik napas lalu menghembuskannya.
"Jadi..kamu menyukaiku..sejak dulu?"
Ini adalah topik teraneh yang ia bicarakan dengan Arvino sepanjang pertemanan mereka. Mysha menggigit bibir bawahnya menunggu reaksi Arvino. Namun laki-laki itu hanya mengangkat bahu tenang lalu semakin mencondongkan badannya ke depan.
"Kenapa nggak bilang?"
Arvino terdiam beberapa detik sebelum menjawab. "Kurasa dengan sikapku kamu akan mengerti. Aku hanya memandangmu selama ini. Bukan yang lain."
Mysha meringis pelan. Memang seharusnya dirinya lebih peka terhadap sikap Arvino. Lelaki itu cenderung dingin kepada oranglain lain. Bahkan teman Arvino saja dapat dihitung dengan jari, itupun juga merupakan teman Mysha. Intinya tidak ada yang benar-benar dekat dengan Arvino kecuali dirinya.
Ia menatap sekeliling mencoba mencari pembicaraan lain yang bagus tapi juga tidak akan membuat jantungnya berdebar aneh seperti sekarang. Ia sudah cukup lelah menahan mulas diperutnya ketika Arvino menatapnya terang-terangan.
Ketegangannya sedikit mereda ketika mendengar Arvino terkekeh. Lelaki itu tertawa kecil dengan tangan yang menutupi mulutnya.
"Apa?" Tanya Mysha penasaran.
"Kamu lucu kalau gugup."
Dan kewarasan Mysha benar-benar kembali. Ia melototkan matanya menatap Arvino tajam, melupakan kegugupan yang sedari tadi menguasainya.
"Aku nggak gugup!"
"Ya, kamu nggak gugup."
Perkataan itu diucapkan jelas-jelas dengan nada mengejek. Mysha kembali menghadiahkan tatapan tajam ke arah Arvino dan mencubit lengan lelaki itu kesal.
"Benar-benar perusak suasana."
Mysha kemudian bangkit dan menaruh ponsel di meja. Ia hendak berbalik hetika sebuah lengan menarik pergelangan tangannya.
"Mau kemana? Marah?"
Mysha melihat sedikit rasa bersalah menghiasi wajah lelaki itu, membuat Mysha memutar bola matanya dan nggelengkan kepala.
"Kamar mandi, kebelet."
"Mereka tahu tentang Raka?" Perkataan itu memenuhi indranya, ketika Mysha baru saja mengistirahatkan pantatnya di kursi depan Arvino.
"Siapa?"
"Dinda, Lia, Anya."
Mysha menangkap pandangan ponselnya yang sedang berada di genggaman Arvino. Ia menghela napas sebentar dan menjawab, "Iya, mau gimana lagi? Mereka temanku dan terus mendesakku bercerita ketika melihat Raka yang gencar menghubungiku."
"Dan mereka lebih mendukung Raka?" Nada kesal terselip dalam ucapan Arvino.
"Entahlah. Aku hanya bercerita kalau dulu kami pernah menjalin hubungan."
Kami? Mysha melihat Arvino mengerutkan dahi tidak suka. "Kenapa?"
"Nggak, lanjutkan."
"Udah Cuma itu. Lagipula Raka hanyalah masa lalu yang nggak penting lagi."
Mysha tidak merasakan kesedihan apapun perihal Raka namun dirinya merasa sedih mengapa ketiga sahabatnya begitu tidak menyukai Arvino?
Namun rupanya Arvino salah mengartikan nada sedih di dalam perkataannya tadi. Mysha merasakan lelaki itu menarik satu pergelangan tangannya dan menggenggamnya.
"Yah, seharusnya dia sudah ngga penting lagi untukmu," ucap Arvino tenang tapi raut ketidaksukaan terpampang jelas di wajah tampannya.
Mysha tersenyum kecil berharap rona merah tidak lagi muncul di kedua pipinya.
"Jangan salah paham, aku cuma menyesali sikap mereka yang seakan membencimu. Tapi aku menyayangi mereka."
"Dan?"
"Dan?" Mysha mengulang pertanyaan Arvino dengan nada heran.
"Sepertinya perkataanmu belum selesai."
"Nggak, aku udah mengatakan apa yang ingin aku katakan."
Arvino mendesah, "Hanya mereka?" tanya Arvino dengan mata menyipit.
Mysha mengerukan dahi bingung, namun sedetik kemudian ia sadar. Kali ini Mysha tidak lagi menahan tawanya, ia tertawa lepas dengan perasaan yang penuh. Arvino sedang menggodanya!
"Menurutmu bagaimana sayang?" balas Mysha. Kini giliran Arvino yang membeku.
KAMU SEDANG MEMBACA
MIS-UNDERSTANDING [REVISI]
Любовные романыMysha menikmati hidupnya yang sekarang. Ia punya keluarga yang pengertian, juga Arvino, sahabat yang kini merangkap sebagai kekasihnya. Semua terasa sempurna bagi Mysha, sebelum seseorang dari masa lalunya kembali datang dan menghancurkan kebahagia...