|15| SPdJ

4.1K 243 5
                                    

Alvira menunggu Alvaro datang, sudah hampir seperempat jam ia di depan ruang OSIS seorang diri. Matanya terus mengedar, tak mempedulikan perutnya yang sedang mengadakan orkes dangdut dadakan. Terpenting saat ini, menghapus rasa penasarannya dengan melihat langsung visi misi yang Alvaro tulis.

Tiba-tiba saja seseorang menjatuhkan bokongnya tanpa bicara. Hingga kepala Alvira menoleh ke samping, jeritan kagetnya tertahan. Dia ... Rafael. Orang dalam yang akan berpengaruh besar dalam penyeleksian visi misinya bersama Alvaro.

"Hai kak!" sapa Alvira spontan dan sopan. Sebisa mungkin Alvira mengatur mimik wajahnya agar terlihat lebih memiliki atitute. Menahan supaya tak ketara judes.

Rafael menggagalkan niatnya yang akan memasukkan sandwich ke mulutnya. "Pencitraan banget," ketus cowok itu tanpa beradu kontak dengan Alvira.

Tahan ... sabar. Alvira menenangkan dirinya sendiri agar tak berkata kasar dan emosi. Hidungnya hanya bisa kembang-kempis tak karuan dengan perlakuan Rafael terhadapnya. Jika bukan karena perihal OSIS, sekedar menyapa pun malas sekali. Ingat, sebatas pencitraan saja.

Tanpa diduga Rafael menyodorkan sisa sandwich yang sudah dilahapnya tadi, "Lo mau?" tawarnya tulus.

Alvira menelan salivanya, yang benar saja memakan makanan bekas. Dari mulut cowok lagi. Selapar-laparnya dia, tak mungkinlah seperti itu. Kedua ujung bibir gadis itu terangkat, palsu dan terpaksa.

"Maaf, udah kenyang. Makasih," tolaknya halus namun 100% berdusta.

Rafael tahu yang sebenarnya Alvira rasakan. Rasa lapar di jam makan siang. Tidak mungkin sudah kenyang, toh sedari tadi Rafael perhatikan Alvira hanya celingak-celinguk tidak jelas. Tunggu ... jadi, Rafael memperhatikan Alvira? Iya.

Rafael bangkit dari duduknya, memasuki ruangan OSIS. Di luar Alvira menghela nafas panjang, memastikan Rafael benar-benar masuk melalui sudut matanya.

"Tai, tai, tai! Si Alvaro lama banget, mana duit gue di atas lagi. Mager ngambilnya, huft!" gumam Alvira lalu mengembungkan pipinya kesal.

Dengan satu hentakan kencang, dirinya bangkit. Cukup, tak ada gunanya selalu menunggu Alvaro yang orang milenial bilang dengan sebutan ngaret. Pengin nampol saja rasanya.

"Tunggu!" Sebuah suara lantang menginterupsi langkah Alvira. Sudah pasti, suara itu terlontar dari mulut Rafael. Lantas Alvira menoleh, walaupun sedikit ragu.

"I-iya?" tanya gadis itu dengan terbata. Keningnya mengerut kebingungan saat Rafael mendekat ke arahnya.

Mereka terpisah beberapa jengkal saja. Jantung Alvira serasa ingin copot. Antara takut dan juga grogi. Tapi sebisa mungkin Alvira menetralkan ekspresi wajahnya, sungguh memalukan!

Rafael bertanya dengan intonasi datar, "Lo nunggu Alvaro mau liat visi misinya?" Tak lupa kedua tangan cowok itu masuk ke saku menambah kesan cool ketos.

Kepala Alvira mengangguk, matanya jengah saat ditatap intens oleh Rafael seperti ini. Rasanya pengin menyongkel saja bola mata cowok itu. Tapi apalah daya, alatnya saja tak ada dalam genggaman.

"Dia tanding di luar, gak dikabarin?" Lagi dan lagi Rafael melontarkan pertanyaan. Kali ini tak sedatar tadi. Lebih enak didengar di telinga Alvira.

Alvira berpikir sejenak, pantas saja. Ini semua karena ponselnya yang sedang di-charger di kelas. Besar kemungkinan Alvaro sudah mengabarkan, bukan?

"Ooh gitu...." Alvira mengangguk-ngangguk paham. Lalu istigfar karena sudah berprsangka yang tidak-tidak pada cowok yang kini tengah berjuang menggapai bintang, Alvaro.

Ketua PMR vs Kapten Futsal [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang