"Gue nolak lo, maaf." Suara Rahma pelan, menyembunyikan keraguan di dalamnya. Kepalanya pun menunduk tak kuasa melihat bola mata kecewa dari lawan bicaranya.
Lelaki yang masih mengenakan jarsey basket tersebut sama sekali tak percaya dengan yang gadis ini ucapkan. Waktu memang dapat mengubah segalanya, sekalipun perasaan seseorang.
Sudah tak tahan berada di sini, Rahma melenggang tanpa pamit. Katakan saja dia tidak sopan toh dia sudah terlanjur sakit. Sakit yang dibuatnya sendiri. Kesolidaritasn yang tinggi, membuat apapun akan ia lakukan.
"Tunggu!" Suara lelaki itu menginterupsi langkahnya. Rahma mematung di tempat, mendengar derap langkah mendekat.
"Gue tau, lo bahagia kan sebastian sama Rafael. Iya, gue emang pho. Maaf, maaf, dan maaf." Senyum tipis mengakhiri ucapannya yang tulus. Disusul derap langkah panjang kakinya yang melenggang menuju koridor.
Rahma tak bisa bergerak dan tak bisa berbicara. Beruntung masih dapat menapak pada lantai. Setengah kesadarannya, ia memutuskan untuk ke kelas Alvira. Jika ke kelasnya sendiri, hanya menambah luka. Mengingat lelaki tadi satu kelas dengannya, Gilang.
Ya, Rahma menolak Gilang. Alvira dituduh berpacaran dengan Gilang. Alvaro menyuruh Alvira menjauh karena Gilang. Semua karena Gilang, tapi percayalah, ini hanya sebuah kesalahpahaman.
Kelas Alvira ricuh, walaupun kelas unggulan sama saja seperti kelas-kelas yang lain. Rahma segera masuk, tanpa ketukan pintu dan juga salam. Sekali lagi, sebut Rahma tidak sopan.
Alvira yang tengah melamun seketika terlonjak mendapati kedatangan Rahma secara tiba-tiba. Jangan tanya mengapa tak ada guru, toh semua guru rapat membahas kelas 12 yang sebentar lagi akan menghadapi masa terberatnya, simulasilah, TO, ujian praktek, USBN dan masih banyak lagi.
"Al." Rahma datang dengan raut wajah sedih. Alvira menyuruh sahabatnya itu untuk duduk agar sedikit lebih tenang. "Gue yang nolak, tapi kenapa gue yang nyesek?"
#yhaaaaa
Alvira tercengang, Rahma tidak main-main dengan ucapannya. Kini gantian, saatnya Alvira yang membawa Rahma masuk dalam dekapannya. Membiarkan Rahma menangis sepuasnya tanpa rasa malu di sana. Bahkan sampai tersedu-sedu, miris.
"Nangis aja, walaupun bukan solusinya. Paling engga hati sama pikiran lo gak depresi karena nahan sesak." Bijak sekali ucapan seseorang yang tersakiti, Alvira.
Tangisan Rahma pun semakin menjadi. Menciptakan tatapan aneh dan penasaran dari teman-teman sekelas Alvira yang menyaksikan. Alvira hanya menanggapi dengan gelengan kepala.
"Assalamualaikum, ada Rahma gak? Tuh ada yang nyariin di depan!" teriak salah seorang murid di ambang pintu, murid pecicilan yang hobi jalan-jalan keliling sekolah. Pasti ada kan spesies seperti itu?
Rahma menghapus air matanya dengan kasar, nangis sebentar saja tapi langsung menyembabkan matanya. Alvira menatatap nanar dan bangkit untuk mendampingi Rahma menemui pencarinya di luar.
"Iih, gue gak mau ketemu dia lagi!" ucap Rahma setelah mendapati Gilang yang tengah menyandar pada balkon.
Alvira menelan saliva, tidak salah lagi ini salah paham. Dengan cepat ia menarik lengan Rahma dan menyeretnya keluar. Rahma menutup kelopak mata tak berani lagi melihat tatapan Gilang.
"Ma, ini cuma salah paham. Gue yakin, coba panggil Alvaro deh!" suruh Alvira pada Gilang.
Sama seperti Rahma, Gilang juga nampak kebingungan. Namun tak lama lelaki itu melenggang untuk menuruti perintah Alvira. Selang beberap menit, mereka berempat sudah berkumpul. Memnentuk sebuah lingkaran kecil tanpa disengaja.
Alvira menarik nafas panjang, memulai pembicaraan. "Coba dari lo dulu," ucapnya seraya menatap Alvaro. Yang ditatap balas menatap dengan tatapan tanpa arti. Cukup, ini bukan waktunya ajang tatap-tatapan!
"Gilang bilang dia baru nembak cewek, dan ceweknya itu lo! Puas lo, bye!" bentak Alvaro sepenuhnya pada Alvira. Bye, ia langsung pergi tanpa niat mendengar penjelasan yang lain.
Gilang segera menggaalkan kepergian Alvaro dengan mencekal keras tangan lelaki tersebut. Dan ditepis kasar oleh Alvaro dengan tatapan penuh kebencian miliknya. Tajam dan menusuk.
"Cewek yang gue maksud itu dia!" sergah Gilang seraya menunjuk Rahma dengan dagunya.
Hening beberapa saat, sampai akhirnya bel panjang berbunyi dengan nyaring. Jam masih menunjukkan pukul setengah satu siang, tapi itu bel pulang. Pulang cepat! Semua siswa dari berbagai kelas berhambur keluar, bersorak gembira, berseri-seri, dan berlarian menuju tangga.
Namun, empat remaja ini masih setia di tempat. Masih hanyut dalam keheningan. Tak ada niatan untuk pulang. Semuanya tutup mulut dan saling tatap satu sama lain.
"Lucu ya, salah paham bisa sampai begini." Bibir mungil Alvira berucap, sudah bisa bernafas lega.
Alvaro terkekeh kecil dan menimpali, "Remaja bego." Sama, rasanya lega bisa menjalin hubungan lagi dengan Alvira. Ah ralat, senang.
"Jadi, lo mau tetep nolak gue, Ma?" Gilang to the point menatap Rahma harap-harap cemas.
Alvira menyenggol pinggul Rahma dengan sikunya, menggoda gadis bercepol manja tersebut. "Engga," jawab Rahma malu-malu.
"Engga berarti nerima dong?"
"I--iya."
Alvira, Rahma, dan Gilang tersenyum bahagia. Lain halnya dengan Alvaro, ia berpikir keras. Bagaimana dengan perasaan Rafael saat mengetahui hal ini? Bukankah Rahma dan Rafael sedang dekat?
"PJ dong!" pinta Alvira antusias seraya menaik turunkan alisnya. Permintaan yang sudah tidak asing lagi kepada pasangan yang baru berpacaran di negara Indonesia.
"Iya, kuy makan-makan!" ajak Gilang.
***
Di cafe yang dulu sering Alvira kunjungi, keempat remaja itu sibuk dengan kegiatannya masing-masing. Semua fokus pada ponsel yang mengikat jari-jarinya.
Alvaro :
Al"Alvaro, kenapa lo nge-chat gue?" tanya Alvira, siapa yang tidak heran coba, toh mereka saja sedang duduk bersebelahan.
Alvaro tak menyahut, ia mnegetikkan sesuatu di ponselnya.
Alvaro :
Pura2 toilet
Nanti gue ceritainAlvaro menangkap tatapan kebingungan Alvira, namun gadis itu tetap menuruti perintahnya untuk ke toilet. Selang beberapa detik, Alvaro pun ikut izin sebentar. Meninggalkan Rahma dan Gilang yang tengah asik berfoto ria.
"Lo tau kan Rahma deket sama Rafael?"
Alvira mengangguk.
"Lo gak mikir apa perasaan cowok itu gimana?"
Tak ada respon apapun dari Alvira.
"Sahabat lo egois ya, mentingin hatinya sendiri. Gak peduli sahabat gue yang bakal terluka."
Kini Alvira menyergah tak terima, "Apa mak--" Alvaro keburu berlalu.
Hilang satu tumbuh seribu, sama halnya dengan masalah.
KAMU SEDANG MEMBACA
Ketua PMR vs Kapten Futsal [Completed]
Fiksi RemajaBEST RANK : #2 ketuapmr 07 Juli 2020 #4 kaptenfutsal 07 Juli 2020 Alvira tak menyangka, pertemuan pertamanya dengan Alvaro di lapangan adalah awal dari kisah rumit yang akan terjalin. Alvira yang saat itu menjabat sebagai ketua PMR harus berurusan d...