|19| Mengikat perjanjian

3.8K 230 13
                                    

Sudah tak ada harapan lagi, dirinya benar-benar tak bisa memiliki Rahma. Alvaro dan Bintang turut prihatin melihat keadaan Rafael yang sedang hancur sehancur-hancurnya. Kini mereka bertiga hanya saling diam, tanpa ada yang memulai pembicaraan sejak menginjakkan kaki di kantin.

Bintang menghembuskan nafasnya kasar, matanya menyorot Rafael nanar. "Kadang, sayang itu artinya merelakan." Lalu menepuk-nepuk bahu Rafael beberapa kali.

Alvaro menoleh begitu mendengar ucapan bijak yang keluar dari mulut Bintang. Sementara itu Rafael sendiri masih tak mau membuka suaranya.

"Engga, sayang itu menyakitkan." Alvaro menyikapi pernyataan Bintang kontra. Ia teringat Alvira, menyayangi Alvira sama saja membiarkan hatinya terluka. Intinya, cinta-cintaan itu ribet!

Kringgg

Bel mengakhiri istirahat pertama telah berbunyi nyaring. Para siswa diuji kecepatannya dalam menghabiskan makanan masing-masing. Lain halnya dengan mereka bertiga, cukup menyeruput es jeruk semuanya beres.

Alvaro yang pertama kali bangkit, diikuti Rafael dan Bintang. Langkah mereka bertiga terhenti begitu teriakan penjual kantin menggelegar. Bintang berbisik, "Jangan noleh, satu ... dua ... LARIIII!"

Bintang memimpin pelarian tersebut, lelaki itu memang biadap. Bodohnya lagi, Alvaro dan Rafael mengikuti jejaknya. Padahal, jika dihitung jumlah pembayaran tiga gelas es jeruk tidak sampai sepuluh ribu lho.
Prinsip hemat bego memang seperti ini, jangan ditiru!

Mereka bertiga tak mempedulikan lagi berapa jumlah orang yang ditabrak sepanjang perjalanan menuju lantai dua.

"Gila, anjir! Capek gue." Alvaro terengah-engah. Ia menarik paksa dua sahabatnya untuk bersandar dan duduk di salah satu anak tangga.

Bintang memperlihatkan cengiran kudanya, ingin sekali Alvaro mendekat dan merobek mulut sahabatnya itu. Namun, masih ingat dosa. Udah dapat dosa, masuk penjara pula. Kan lebih baik tahan saja.

"Anjir, nyengir lagi lo!" sungut Rafael dengan kesal seraya meneloyor kepala Bintang di sebelahnya. Biarpun terlihat kesal, Rafael tak bisa menutupi tawanya. Bintang memang jago dalam mengubah mood seseorang. Melalui cara apapun itu.

Selang beberapa detik, tawa mereka bertiga terhenti menjadi kebisuan. Terutama Rafael, lelaki tersebut mengatupkan bibirnya rapat.

"Hai!" sapa seorang cewek dengan pasangan di sampingnya.

Tak ada yang menyahut sapaan tersebut, bahkan yang disapa tak habis pikir dengan hati cewek bernama Rahma. Apakah masih berfungsi? Sama halnya dengan Rahma, hati Gilang juga sepertinya sudah tak punya perasaan.

Cewek tak berhati dan cowok penikung!

Rahma dan Gilang lalu melanjutkan langkahnya, melewati mereka bertiga. Satu yang membuat Rafael semakin hancur, pasangan baru tersebut terlihat serasi. Bahkan sangat cocok.

Alvaro mengangkat suara, "Jangan bertahan sama orang yang buat lo sakit, nanti luka lo gak sembuh-sembuh."

Bintang ikut menimpali, "Yang ada luka lo makin lebar."

Rafael mencerna ucapan dua sahabatnya ini, ada benarnya juga. Lagipula Rahma bukan satu-satunya perempuan di dunia ini, masih banyak di luaran sana. Yang bahkan, membalas perasaannya.

"Gini aja, gue punya ide." Bintang mengode untuk mendekat. Ide yang ampuh untuk mencegah terjadinya hal serupa, tapi harus berkomitmen.

"Gimana kalau kita buat perjanjian. Gak boleh ada di antara kita yang pacaran sampe lulus SMA nanti!"

Jelas Alvaro dan Rafael tercengang. Namun tak lama, dua anak itu mengiyakan. Rafael mengangguk dengan mantap karena kapok dengan cinta, sedangkan Alvaro terlihat ragu-ragu karena masih ada Alvira dalam hidupnya.

"Deal ya?!" tanya Bintang memastikan.

"Deal!" jawab dua anak itu serempak.

Mengikat benang merah yang harus terus menyambung sampai dua tahun ke depan. Apakah mereka sanggup? Apakah mereka tak tergoda dengan godaaan yang ada selama ini? Ataukah hanya omong kosong belaka?
Entahlah hanya waktu yang bisa menjawab semua ini.

***

Alvaro menjatuhkan bokongnya di atas sofa ruang tamu rumahnya. Merenggangkan sejenak otot-otot yang pegal setelah berjam-jam duduk saat KBM berjalan.

Niatnya ingin tidur di dua jam terakhir mata pelajaran sejarah yang membosankan, tapi gurunya datang membawa tugas. Mau tak mau, ikhlas tak ikhlas, ikut mengerjakan.

"Gagal terus rasanya mau tidur siang," gumam Alvaro.

"Tidur sore ajalah gue mah," lanjutnya lalu menyandarkan kepala pada sisi sofa yang terbilang empuk.

Tak lama karena kelelahan, dengan mudahnya lelaki itu terlelap. Melupakan jadwalnya untuk eskul futsal selepas adzan ashar yang kini berkumandang di dareah Jakarta dan sekitarnya.

Drttt ... drttt .... drttt ... drttt....

Pesan masuk berturut-turut menggetarkan saku seragam lelaki itu. Alvaro lantas terbangun, setengah kesadarannya ia mengecek ponsel. Dan terkejut dengan salah satu sang pengirim pesan, Alvira.

Alvira :
P
Al
Gue mau ngmng
Abis futsal ke uks ya

Alvaro mengangguk walau tahu Alvira tak memiliki ilmu untuk melihat gerakannya ini. Lantas jari-jemarinya menari di atas keyboard, membalasnya di sana.

Alvaro :
Maaf gak bisa

Respon bertentangan dengan gerakan kepalanya. Tak lama Alvira membalas.

Alvira :
Bntr, lima menit doang
Gue tau lo marah
Tapi lo jg gak berhak begini

Alvaro :
Begini gmn maksud lo?

Alvira :
Gak usah pura2 gak tau
Setelah ini lo bebas ngapain aja
Lupain gue jg gpp:)

Emot senyum pembohong, Alvaro yakin 100%. Namun, lebih baik Alvaro menemuinya sekarang. Menjelaskan yang sesungguhnya, daripada terus-terusan memberi harapan pada anak orang. Ia tak mau dicap cowok tak baik.

Ia pun bergegas untuk ke sekolah, meraih kunci motor di atas nakas dan keluar. Normal saja, tak ada niatan untuk ngebut. Maaf, bukan pembalap liar.

Sesampainya di sana, Alvaro langsung berlari kecil menuju UKS. Satu ketukan berhasil membukakan pintu kayu tersebut, menampilkan sosok Alvira di dalamnya.

"Duduk dulu, gue beresin ini bentar," suruh Alvira seraya memberes-bereskan buku-buku besar yang berserakan.

"Gue mau futsal, gak ada waktu," sahut Alvaro datar.

Terdengar decakan dari mulut gadis itu. Namun, tetap berbalik dan menghentikan aktivitasnya. Menatap Alvaro tepat ke manik matanya.

"Itu urusan mereka kita gak ada hak ikut campur."

"Lo bilang apa, urusan meraka? Asal lo tau aja ya, urusan sahabat-sahabat gue urusan gue juga!"

"YA LO MARAHNYA JANGAN SAMA GUE DONG!"

"Gue gak marah, tapi gue jaga jarak."

Jleb

J a g a
J a r a k
.....

Alvira membiarkan Alvaro berlalu. "Apa sayang rasanya seperih ini?" tanyanya pada poster visual orang yang menderita cacar air yang tertempel di dinding, tepat di hadapannya.

Ada yg bisa jawab?
Gimana sih ditinggal pas lagi sayang-sayangnya?


























Ketua PMR vs Kapten Futsal [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang