Alvaro membaringkan tubuhnya di lapangan. Membentuk bintang besar di atas aspal yang panas itu, mentari sedang panas-panasnya di langit. Istirahat yang orang lain lakukan untuk jajan ke kantin, lain halnya dengan cowok ini.
Keringat membanjiri seluruh wajahnya, tetes demi tetes menyatu dengan aspal. Terus keluar dari sela pori-pori kulitnya sejak latihan futsal selesai. Alvaro sendiri, bahkan Rafael dan Bintang pun tak ada di sini.
Perlahan ia beranjak, meraih sebotol air mineral di tepi lapangan. Menepi ke tempat yang teduh agar keringatnya tak tambah bercucuran. "Pada sok iya, latihan aja pada gak mau," monolog Alvaro. Lalu meneguk airnya sampai habis.
Adem, tenggorokannya sudah basah. Dahaga hilang tinggal menetralkan detak jantungnya yang masih belum normal. Setiap orang pasti nadinya akan mencepat jika selesai olahraga, tak terkecuali dengan Alvaro.
Tiba-tiba saja seseorang duduk di sebelah Alvaro, spontan saja cowok itu menoleh. Tatapan tanpa arti gadis di hadapannya, menggagalkan niat Alvaro untuk marah. Bukan karena tatapan yang menghipnotis tersebut namun sehelai handuk kecil yang dibawanya.
Alvira menyodorkan handuk berwana biru laut kepada Alvaro, tanpa mengucapkan sepatah kata apa pun. Jelas membuat Alvaro kebingungan namun mengambil alih.
"Buat gue? Sejak kapan lo perhatian gini?" tanya Alvaro seraya mengelap bagian tubuhnya yang berkeringat.
Tak ada jawaban yang keluar dari mulut gadis itu, Alvaro lantas menatapnya. Penasaran dengan apa yang sedang gadis itu lakukan kini sampai-sampai ia bertanya tak digubris. Ternyata Alvira sedang bermain ponselnya.
"Al, kalau gak ada keperluan mending lo pergi dari sini," ucap Alvaro terlanjur kesal, usirannya membuat Alvira menghentikan aktivitas.
"Dasar gak tau diri! Nih, apa maksudnya gue diundang ke Wijaya futsal? Hah?!" Alvira bangkit seraya menunjukkan ponselnya tepat di depan wajah Alvaro.
Di layar benda berbentuk pipih tersebut, spesifiknya dalam aplikasi line, coach Luis mengundang Alvira. Alvira bergabung ke obrolan, setelah itu tak ada lagi percakapan.
"Emang gue mau masuk futsal apa?!" bentak Alvira seraya menurunkan tangannya.
Alvaro diam, berpikir sejenak. Ah iya! Ia teringat sesuatu, perihal pertandingan yang harus membawa tim medis sendiri. Itu, pertandingan penetuan juara 3 lawan SMA Walang, kemarin kan imbang skornya.
"Buat medis, anak PMR minimal 1 orang harus ada," jelas Alvaro.
Alvira memutar bola matanya malas, kenapa gak modal banget? Padahal bisa kan nyewa medis satu hari saja pakai dana sendiri, tanpa harus minta bantuan anak PMR. Dan kenapa gak ada diskusinya dulu sama yang bersangkutan, gak sopan!
"Seenggaknya bilang dululah, jangan maunya untung doang!" cecar Alvira dengan kesal, biar saja agar salah satu anggota futsal di hadapannya ini sadar. Ralat, kapten futsal.
Alvaro mendecak, kepalanya sudah pusing ditambah celotehan netizen lagi. "Apa salahnya sih? Kan emang tugas lo nolong orang, kalau gak mau mending copot tuh lambang PMR sama PMI di baju lo!"
Gigi-gigi Alvira bergemelutuk. Ditatapnya Alvaro dengan tajam setajam pisau untuk pemotongan daging kurban, ada api pula di sana. "Dari pihak lo seolah paling sibuk ya, lo kira kita gak perlu nyiapin alat-alatnya apa?!"
Memang perlengakapan tas pp kurang komplit, bahkan mitella pun hanya berjumlah beberapa buah saja. Seharusnya dalam satu tas paling tidak ada 12 mitella. Belum lagi kain kassa habis, alkohol juga sisa setengah. Apa tidak memalu-malukan nama PMR Wijaya nanti di sana? Jika pertandingan seperti itu pasti medis masuk penilaian.
KAMU SEDANG MEMBACA
Ketua PMR vs Kapten Futsal [Completed]
Roman pour AdolescentsBEST RANK : #2 ketuapmr 07 Juli 2020 #4 kaptenfutsal 07 Juli 2020 Alvira tak menyangka, pertemuan pertamanya dengan Alvaro di lapangan adalah awal dari kisah rumit yang akan terjalin. Alvira yang saat itu menjabat sebagai ketua PMR harus berurusan d...