Alvaro masih melakukan kegitan yang sama sejak sepuluh menit yang lalu. Menyaksikan mentari sore kembali ke peraduannya, di mana pun itu senja selalu memukau. Bibirnya bergumam penuh kagum, coretan Tuhan memang tak ada yang bisa menduai.
Lukisan indah itu tak berlangsung lama, perlahan hilang menembus cakrawala. Digantikan awan kelabu dan juga adzan magrib yang menggema dari setiap genting-genting rumah penduduk daerah Jakarta dan sekitarnya. Paggilan Tuhan, Alvaro bergegas pulang.
Rooftop sekolah yang menjadi saksi bisu keindahan senja kini mulai ditinggalkan oleh Alvaro. Tak ada siapa pun selain dirinya dan bayangan hitam tubuhnya. Selain Makhluk tak kasat mata tentunya.
Laki-laki tersebut berjalan santai menyusuri lapangan sekolah, anak-anak basket yang eskul ternyata sudah pulang. Tapi ada sesuatu yang tertinggal, bola berwarna jingga atau bola basket di tengah-tengah lapangan. Satu biji saja namun berhasil menarik perhatian Alvaro.
Siapa yang terakhir memainkan? Apakah tak memiliki tanggungjawab sama sekali? Di balik sifat kerasnya, ternyata ada sedikit rasa simpati sekalipun terhadap benda mati.
Sebelum menaruh di gudang olahraga belakang sekolah, ia mencoba memasukkan terlebih dulu ke dalam ring yang tingginya mencapai 3,05 meter atau setara dengan 10 kaki
. Hal pertama yang dilakukannya adalah mendrible bola, maklum biasa main futsal, hampir saja ditendang tadi. Hingga menciptakan kekehan kecil dari mulutnya.Baru saja bola terangkat ke udara menuju ring, sebuah suara lantang menginterupsi. Tidak masuk, sebenarnya bukan karena suara itu namun memang shooted Alvaro tidak maksimal.
"Ngapain masih di sini?" Alvaro sedikit terkejut dengan kehadiran Gilang yang tiba-tiba, hingga Gilang bertanya ia hanya diam.
Gilang berdecak dan berjalan untuk meraih bola jingga yang terlantar di pinggir lapangan. Melemparnya begitu saja ke dalam ring namun berhasil masuk. Tidak, Alvaro tidak tercengang.
Daridulu memang Gilang eskul basket. Bagaimana ia bisa tahu? Alvaro dan Gilang dulu satu SMP. Tapi ada satu kejadian yang membuat mereka terpecah, bahkan sampai sekarang. Masalah kecil yang dibesar-besarkan, atas nama tahta dan wanita.
"Lo masih sama ya, suka begong kalau liat gue main basket," ucap Gilang lalu terkekeh di akhir kalimatnya.
"Sama kayak gue liat lo main futsal, dulu," lanjutnya. Gilang menengadahkan kepala seraya memejamkan mata sejenak. Tak lama hanya beberapa detik saja namun setiap detiknya tak lepas dari perhatian Alvaro.
Angin berhembus, menerpa keheningan. Mereka hanyut pada pikirannya masing-masing namun tetap berkontak mata.
Beberapa menit berlalu, salah satu dari mereka bersuara. Ah ralat, layaknya lirihan. Begini bunyinya, "Gue maafin lo."
Satu yang mendengar hanya bisa diam, tak percaya dengan apa yang didengarnya sendiri. Apa Alvaro tak salah dengar? Tolong, jawab!
Gilang mendekat, mengacungkan kelima jarinya ke udara. "Semua yang dirasa akan berakhir, begitu juga dendam gue." Diiringi senyum tulusnya, tangannya masih di udara sampai akhirnya Alvaro segera ber-high five ria.
"Serius, boy? Lo beneran maafin gue? Lo gak marah lagi? Gak dendam lagi? Gue mimpi gak sih?" Alvaro masih tak percaya, selepas senja kali ini sungguh indah.
Gilang hanya mengangguk-anggukkan kepalanya, senyumnya belum juga memudar. Beberapa detik kemudian mimiknya berubah jijik saat Alvaro merentangkan tangan hendak memeluknya.
"Kita udah SMA, bukan anak Paud yang dikit-dikit pelukan!" ucap Gilang. Alvaro terkekeh mendengarnya.
Dendam Gilang sudah runtuh, hanyut tertiup angin. Alvaro tak henti-hentinya berucap syukur, penantian cukup lama untuk dimaafkan Gilang. 3 tahun lamanya dan di detik ini semua kembali. Ia bisa menjalin hubungan yang baik lagi dengan Gilang. Sahabat kecilnya dari masih di dalam perut.
KAMU SEDANG MEMBACA
Ketua PMR vs Kapten Futsal [Completed]
Teen FictionBEST RANK : #2 ketuapmr 07 Juli 2020 #4 kaptenfutsal 07 Juli 2020 Alvira tak menyangka, pertemuan pertamanya dengan Alvaro di lapangan adalah awal dari kisah rumit yang akan terjalin. Alvira yang saat itu menjabat sebagai ketua PMR harus berurusan d...