Waktu yang ditunggu-tunggu sudah datang, waktunya istirahat. Merilekskan otak dari pelajaran-pelajaran yang membuat penat. Ingin beda dari yang lain, empat remaja ini memilih menghabiskan waktu di taman. Lebih sepi dan tenang makannya daripada di kantin yang penuh kericuhan.
"Kalian pernah gak sih mikir, ini semua tuh gak adil." Tiba-tiba entah kesambet apa Bintang berucap seperti itu. Mengalihkan pandangan mereka secara serempak.
Alvaro mengunyah suapan terakhirnya lalu meyeruput es teh manis dengan ganas. Bersendawa sebentar sebelum menyahut ucapan Bintang tadi. "Gak adil gimana maksud lo?" tanyanya kurang mengerti.
Bintang memutar bola mata malas, tapi maklum dengan otak Alvaro yang loading lama. "Gak kebayang aja sebelumnya bakal berakhir kayak gini," sahut Bintang, menjelaskan lebih rinci.
Rahma mengambil inti yang dua anak laki-laki di depannya ini bicarakan, merasa pro dengan pengutaraan Bintang. "Sepemikiran, emang gak adil." Dengan pandangan yang lurus tapi kosong.
Alvira belum berniat menimbrung, ia masih asik pada semangkuk bakso kecap miliknya. Masih tersisa beberapa biji lagi, memang makannya paling lambat daripada yang lain. Jauh berbeda dengan Alvaro dan Bintang yang sudah ludes beserta kuah-kuahnya.
"Ini semua tuh skenario Tuhan, lo bisa apa?" sungut Alvaro menatap Bintang dan Rahma bergantian, dua remaja yang masih mengeluh dan menyalahkan takdir atas kepergian orang-orang.
Rahma berdecak, membalas tatapan Alvaro dengan malas. "Lo gak tau gimana rasanya ditinggal orang yang lo sayang," ucap gadis itu. Lalu mengacungkan dua jarinya, berucap tanpa volume suara, "dua lagi."
Dua orang, Gilang dan Rafael.Bintang ikut menimpali sambil mengupas cangkang kuaci yang dibelinya dari rumah. Murah meriah tapi di sekolah mana ada yang menjual seperti itu. "Tau, lo gak sedih apa ditinggal sahabat sendiri?" Bintang tersenyum sinis.
Alvaro terkekeh kecil sebelum menjawab pernyataan dan pertanyaan dari Rahma dan Bintang. "Gue merasa kehilangan mereka, tapi gak sam--" ucapan Alvaro terhenti saat Alvira memotong ucapannya.
"Kalau sampai gue yang pergi, apa lo bakal sepasrah ini?" Alvira menusuk Alvaro melalui kontak mata. Ya, Alvira termasuk di pihak Rahma dan Bintang. Pihak di mana merasa tak mau mengikhlaskan kepergian orang-orang yang disayang dalam waktu cepat.
Sekakmat. Jika Alvira yang bersuara Alvaro merasa terpojokkan. Ucapan Alvira selalu berhasil membuatnya terdiam sejenak dan mencerna baik-baik. Ah ralat, ini pertanyaan, bung! Tunggu, izinkan Alvaro berpikir. Beberapa detik saja, bersabarlah.
"Enggak." Satu jawaban singkat yang susah sekali agar dilengkapi dengan alasan. Padahal dalam benak Alvaro sudah ada alasan yang tepat, tapi mulutnya tak bisa mempublikasikan itu.
Alvira mengertutkan kening, "Kenapa?" tanyanya. Ingin lebih jelas. Yang ditanya menggaruk tengkuknya tidak gatal sambil menatap sang penanya.
Kringgg
Bel penyelamat bagi Alvaro. Terhindar dari pertanyaan Alvira. Lalu dari mereka sama sekali tak ada yang bangkit. Hanya saling tatap satu sama lain. Seolah mengisyaratkan kemalasan lewat tatapannya.
"Bolos yuk!" ajak Bintang.
Mata Rahma berbinar sambil menyahut antusias, "Ya kali gak kuy!"
Alvaro menerima dengan senang hati ajakan itu, "Kuylah!"
Lain halnya dengan Alvira, tak merespon ajakan Bintang yang sesat. Hingga Bintang berdecak kesal, "Gak usah muna!"
Beberapa lama kemudian, kepala Alvira mengangguk kecil. Tanda menyetujui ajakan tersebut. Tapi bibirnya khawatir, "Yakin gak ada guru yang patroli?" Sambil was-was menoleh ke kanan dan kiri.
KAMU SEDANG MEMBACA
Ketua PMR vs Kapten Futsal [Completed]
Teen FictionBEST RANK : #2 ketuapmr 07 Juli 2020 #4 kaptenfutsal 07 Juli 2020 Alvira tak menyangka, pertemuan pertamanya dengan Alvaro di lapangan adalah awal dari kisah rumit yang akan terjalin. Alvira yang saat itu menjabat sebagai ketua PMR harus berurusan d...