|28| Posesif, apa pantas?

3.6K 210 9
                                    

Hari ini, hari pemilihan ketua OSIS. Tepatnya pada pukul 12.30 WIB di SMAS Wijaya. Hari bersejarah, di mana para calon deg-degan melihat para pemilih yang silih berganti. Dari mulai anak kelas 10 sampai 12 yang sebentar lagi akan lulus.

Semua punya hak yang sama, pilihan yang berbeda. Hanya ada dua pilihan, mencoblos nomor urut satu atau dua. Masing-masing bisa menilai, mana yang lebih baik untuk ke depannya. Terutama bagi organisasi terbesar seantero sekolah ini, OSIS Wijaya.

Alvaro dan Alvira duduk berdampingan menyaksikan murid-murid yang mengantre ke bilik suara. Ah membuat penasaran saja. Gadis itu mengalihkan pandangan, pada Alvaro di sampingnya. Walau terlihat tenang, Alvira yakin jantung Alvaro kini tak jauh berbeda dengannya. Berdegup tak karuan.

Alvaro pun menoleh, merasa diperhatikan. Sukses mengagetkan Alvira yang langsung berpura-pura menunduk, salah tingkah tak jelas. "Kenapa sih liatin gue terus?" tanya Alvaro disertai kepercayaan dirinya yang luar biasa.

Alvira memutar bola matanya malas, "Pede buluk lo!" sungutnya kesal. Sebenarnya sebatas menutupi malunya saja karena diciduk barusan.  Kan gengsi, seolah-olah dirinya yang terpesona oleh ketampanan lelaki itu.

Tiba-tiba saja, obrolan singkat tersebut berakhir. Oleh kehadiran kandidat pertama, Mahesa dan Putri tanpa diduga. Dua remaja berbeda gender itu membawa dua nasi kotak di tangannya. Kemudian duduk di lahan kosong sebelah Alvaro yang pas untuk dua orang.

"Makan siang dari panitia," ucap Mahesa, lelaki berperawakan jangkung dan berkulit putih yang selalu meraih prestasi di bidang akademik. Otaknya terlalu encer, bahkan menguasai tiga bahasa sekaligus ; Indonesia, Inggris, dan Jepang.

Alvaro tersenyum canggung dan menerima kotak makan nasi padang itu. Bibirnya berucap, "Thanks." Sambil menaruh ke pangkuannya.

Sementara itu, gadis manis bernama Putri tersenyum lebar pada Alvira. Ujung bertemu ujung, lantas Putri agak kesusahan memberi jatah makanan Alvira. "Selamat makan!" ucap Putri antusias.

Alvira tak menyangka, lawannya tak seburuk yang ia bayangkan. Alvira pikir, Mahesa dan Putri sama sekali tak ada niatan barang menyapa pun. Namun, kejadian ini menyadarkannya bahwa apapun jangan langsung menilai orang. Kenali lebih dekat, lihat pergaulannya baru nilai dari cara bicaranya.

"Makasih ya," ucap Alvira. Lalu mulai membuka kotak makannya. Perutnya sudah meminta jatah daritadi, alhasil langsung melahap saja nasi padang dengan lauk ayam bakar yang diberi. Tak lupa membaca doa terlebih dulu dan meminggirkan sambal ijo yang ada di atas nasinya.

Alvira anti sambal. Namun dulunya pecinta sambal garis keras. Setelah diare berhari-hari sampai berujung rumah sakit, akhirnya Alvira kapok memakan pedas. Sampai sekarang, benci rasanya.

Lain halnya dengan Alvaro, terlihat asik menikmati tanpa meminggirkan apapun. Kecuali tulang ayamnya, ia lempar langsung ke tong sampah terdekat. Ah sial, tak tepat sasaran. Malah jatuh ke tanah, beruntung langsung ada kucing yang menyambar ganas.

Alvira terkekeh kecil melihat itu. Lalu mengkuti gerakan Alvaro. Tak pelit juga dengan daging-dagingnya. Asal untuk makannya cukup sampai suapan terakhir.

Mahesa dan Putri makan dengan khidmat. Jangankan bersuara, kecapan lidahnya saja tak terdengar. Apalagi Putri, seperti keturunan berdarah biru. Rupanya saja ayu, walau terlihat sedikit kulot. Putri solo, julukan yang kerap tersebar seantero sekolah.

"Uuh, pedes! Hah!" Alvaro memeletkan lidahnya sambil mengibas-ngibaskan tangannya memberi angin.

Alvira segera meraih air gelas di pangkuannya dan celingak-celinguk mencari keberadaan benda kecil bernama sedotan. Bangkit dan mengedar ke lantai, ah sial tepat di bawah kaki Mahesa.

Ketua PMR vs Kapten Futsal [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang