Dua remaja itu nampak lelah, keringat bercucuran deras memenuhi dahinya. Salah memilih waktu sepertinya, sangat tidak tepat. Padahal jika pas istirahat pertama tak sampai segerah ini hawanya. Ah sudahlah, saat ini lakukan saja.
Selalu sama di setiap orang yang mereka hampiri, mengucapkan 'jangan lupa coblos nomor dua ya, terima kasih' sampai berbusa itu mulut. Sudah sekitar seratus brosur terbagi habis, di tangan Alvira masih ada sekitar sepuluh 10 brosur lagi.
"Semangat!" pekik Alvaro dengan senyumnya yang mengembang. Karena brosurnya sudah tidak ada lantas lelaki itu mengambil alih sebagian yang ada di tangan Alvira.
"Makasih," sahut Alvira, berusaha tetap tersenyum walau rasanya lelah sekali keliling SMA Wijaya yang besar nan luas ini. Itupun hanya di lantai satu saja.
Kembali melangkah, dengan semangat yang membara. Untuk mewujudkan impiannya menjadi ketua OSIS. Semua butuh usaha dan proses, tidak ada yang instan di dunia ini. Sama halnya dengan jabatan seseorang, di balik itu semua ada keringat yang jatuh bebas. Jadi, hargailah setiap pekerjaan yang orang lain lakukan.
"Halah, tampang sok aja gaya-gayaan mau nyalonin!" celetuk salah satu kakak kelas yang di gerombolan itu ada Diva, sekretaris OSIS yang lama.
Cacian, bahkan makian sama sekali tidak masuk di pendengaran Alvaro dan Alvira. Mereka menganggap hanya sebatas suara samar-samar yang terbawa angin, seperti ada yang bicara tapi tak kelihatan wujudnya.
"Huuuu ... bisu lagi!" Setelah itu disusul tawa jahat dari beberapa senior yang menatap mereka sinis. Mungkin, anak-anak tidak jelas ini adalah teman atau pendukung nomor urut 1. Mahesa dan Putri.
Diva merasa tidak enak dan langsung mengajak teman-temannya itu untuk pergi. Namun, salah satu dari mereka justru mengeluarkan kata-kata ini, "Biarin, Div. Bukannya si A itu pelakor ya?" Seraya melirik-lirik Alvira tentunya.
Alvira berpikir sejenak, pelakor hubungan siapa? Diva dengan ... si ketua OSIS lama maksudnya? Kebingunagannya segera dipotong oleh Diva sendiri.
"Bacot lo pada, bye!" Dengan marah Diva menerobos teman-temannya yang menghalangi jalan. Tak beberapa lama satu per satu mengikuti jejak Diva yang mengarah ke kantin.
Sementara itu, Alvira tak tahu harus bagaimana lagi. Apa benar dirinya pengganggu hubungan orang? Kenapa Kak Rafael sendiri yang seolah-olah mendekatinya saat sang tokoh utama sedang pergi.
"Udah gak usah didengar." Suara lembut Alvaro menenangkan pikirannya yang sedang kacau. Alvira mendongak sebentar, rasanya ingin menangis saja. Namun, di sini bukan tempat yang tepat. Nanti di rumah, dalam kamar adalah strategisnya menangis.
"Sekarang Waketos harus senyum, biar cantik." Alvaro menggerakkan kedua pipi Alvira ke atas agar ujung bibir gadis itu terangkat. Membentuk senyuman manis mengalahkan gula Jawa.
Satu terpuruk, satunya lagi menenangkan. Itulah gunanya teman, atau lebih dari hubungan pertemanan? Entahlah, pantas disebut apa hubungan mereka berdua. Sebatas teman tanpa kepastian, mungkin?
"Yeayyy habis!" ucap Alvira antusias seraya menyongsong satu brosur terakhir ke udara, maksudnya akan diberikan pada seorang siswi yang kebetulan lewat di hadapannya.
Alvira berlari kecil menghampiri Alvaro setelah menyelesaikan tugasnya. Alvaro segera menyambut dengan senyuman lagi, selalu. Karena bagi Alvaro, senyuman adalah sesuatu yang paling mudah diberi cuma-cuma pada seseorang. Dan dampaknya, bisa membuat orang itu tersenyum pula.
"Gue seneng liat lo senyum gini, adem bawaannya," celetuk Alvaro seraya menjatuhkan bokongnya di kursi.
"Adem? Emang ada anginnya, hahah...." Canda tawa itu kembali terulang, sederhana seperti dulu. Alvira harap tak akan berakhir, akan selalau ada di setiap harinya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Ketua PMR vs Kapten Futsal [Completed]
Ficțiune adolescențiBEST RANK : #2 ketuapmr 07 Juli 2020 #4 kaptenfutsal 07 Juli 2020 Alvira tak menyangka, pertemuan pertamanya dengan Alvaro di lapangan adalah awal dari kisah rumit yang akan terjalin. Alvira yang saat itu menjabat sebagai ketua PMR harus berurusan d...