|33| Semesta kembali akur

3.6K 223 8
                                    

Langit berbubah menjadi jingga keunguan, panaroma senja yang indah sore ini. Di bawah langit Jakarta, Alvira duduk termenung di halte. Rambut sebahunya dibawa angin sore yang sepoi-sepoi. Sudah kurang lebih lima belas menit dari waktu bel pulang, tapi belum ada angkut yang lewat.

Persetan dengan ponselnya, mati dari siang yang lalu. Jadi tak bisa memesan ojek online, tak ada pilihan lain selain naik angkutan umum. Namun, ketika hati ingin marah karena kesal, senja mendamaikannya. Memang, lukisan Tuhan yang satu ini selalu berhasil membuat mood orang membaik.

Alvira tak mau merepotkan supir Rahma, padahal tadi sahabatnya itu berbaik hati ingin mengantarnya pulang. Ia harus mandiri, masih ada angkutan umum sudah lama juga tak menaikinya. Rindu rasanya, ah senja bisa saja. Alvira jadi berlebihan begini.

Suara deru motor disertai kepulan asap hitam berhenti tepat di depan halte yang Alvira duduki. Sang pengendara membuka kaca helm yang menghalangi penglihatannya, lalu memandang si gadis dalam.

"Ayo pulang!" ajaknya lembut. Alvira mengerjapkan mata tak percaya, mencoba meyakinkan bahwa lelaki itu hanya ilusi belaka. Namun, tetap saja tak bisa, dia nyata bukan sebatas tipuan mata yang didukung oleh rindu.

Dia tak menjawab malah menuruni motornya dan berjalan ke arah Alvira. Menjatuhkan bokong tepat di sebelah gadis itu, lagi-lagi tanpa berucap apapun. Semesta diam, begitu lelaki itu diam. Ini semesta Alvira, dia yang disebut dengan nama Alvaro.

"Udah sore, nanti ada yang cemas," ucap Alvaro tanpa mengalihkan pandangannya sedikit pun. Seolah Alvira lah objek satu-satunya di dunia ini, padahal ada yang lebih indah sekarang. Iya senja, apa lagi.

"Gue nunggu angkot," sahut Alvira seraya menggelengkan kepala. Sial, Alvaro merengut banyak oksigen, sehingga napasnya sesak. Tak kuat berlama-lama, Alvira memutuskan untuk pergi.

Baru beberapa langkah, suara lelaki itu menginterupsi. Ada nada panik yang mendominasi ucapannya, baru kali ini Alvira dengar si Tuan sepanik itu. "Al, gue mimisan lagi." Itulah ucapan yang keluar dari mulutnya.

Alvira menoleh, mematung sebentar tak bereaksi apa-apa. Angin seolah mendorongnya untuk mendekat, membantu lelaki itu yang sedang terluka. "Kunci UKS ada di gue. Ayo ke sana!" ajak Alvira dengan bibir bergetar.

Lelaki itu mengangguk, menyetujui ajakan gadisnya. Sudah tahu, mimisan yang sering kali terjadi bukanlah termasuk hal sepele. Pasti ada sesuatu, Alvaro takut memeriksanya ke dokter.

Beruntung, jarak halte dengan sekolah tidak jauh. Hanya beberapa meter saja, bisa ditempuh dengan berjalan kaki. Setelah sampai tepat di depan UKS, Alvira melepas tuntunan tangannya pada bahu kekar lelaki itu. Langsung beralih membuka kunci.

"Gue beli es batu dulu, lo tunggu sini sambil pencet batang hidungnya." Alvira segera menyambar ice bag compress di atas meja lalu keluar dengan berlari.

Alvaro menuruti perintah Alvira untuk menekan batang hidungnya. Menunggu sampai Alvira datang. Darahnya masih mengalir, entah kenapa terus begini. Ayolah, Alvira cepat datang. Temani Alvaro yang tengah ketakutan sekarang.

"Al, jangan tiduran!" seruan Alvira menggagalkan niat Alvaro yang ingin membaringkan tubuh di ranjang.

"Kenapa?" tanya Alvaro heran.

"Nanti darahnya masuk ke tenggorokan," jawab Alvira seraya menghampiri. Gadis itu duduk di sebelah Alvaro, menepis pelan tangan Alvaro yang masih menekan-nakan batang hidung.

Ia menempelkan ice bag compress yang sudah berisi es batu di dalamnya ke pangkal hidung Alvaro. Selama beberapa menit dan tak ada percakapan yang terjadi. Hingga akhirnya darah itu berhenti, mengering dan tak keluar lagi.

"Makasih, Al."

"Sama-sama, Al."

Entah mengapa, Alvaro terkekeh kecil. Menciptakan kebingungan dari kening gadis di sampingnya. Seolah bertanya kenapa lewat tatapannya.

"Enggak, lucu aja."

Alvira mangut-mangut sambil menerawang langit-langit UKS. Bingung bagaimana caranya mencairkan suasana canggung yang terjadi, apa perlu melawak? Ah, ia tak pandai. Tak memiliki bakatnya sama sekali.

"Kalau gue minta maaf, apa lo bakal maafin?" Tiba-tiba saja Alvaro bersuara, pertanyaan bisa dianggap biasa.

"Maafin, emang lo mau minta maaf?" Alvira bertanya balik.

Alvaro mengangguk dalam hal itu. Lalu menghembuskan napas pelan sambil memejamkan mata sejenak. Sementara itu, Alvira menatap jam yang ada di dinding. Sudah larut sore, senja mungkin sudah tak ada di luar. Lantas, gadis itu bangkit. Takut yang diucapkan Alvaro benar, ada yang cemas.

"Jangan pergi dulu, izinin gue minta maaf bentar." Alvaro membuka seluruh kelopak matanya, membenarkan letak duduk agar sepenuhnya menghadap Alvira.

"Cepet, keburu malam," gadis itu gelisah, begitu matanya menangkap pemandangan gelap di luar melalui celah UKS yang transparan. Hordengnya belum ditutup.

"Gue minta maaf, udah gak percaya sama kata-kata lo, malah ngejauh selama beberapa hari. Dan ... maaf juga, masih cinta sama lo. Maaf ya."

Oksigen di UKS seakan terkuras habis, tak ada sedikit pun untuk Alvira hirup. Jantungnya berdebar kencang, susah dikontrol. Selain itu, seperti ada sayap gaib di punggungnya yang ingin mengajaknya terbang. Tolong siapapun, bantu Alvira.

Ceklek

"Eh ada orang pacaran, maaf bapak gak tahu. Ooh iya, gerbang mau ditutup, permisi." Pak Satpam menutup kembali pintu dengan rapat.

Alvira segera bangkit mendengar gerbang akan ditutup, gila saja ia dikunci dalam sekolah ini. Terdengar decitan ranjang karena Alvaro mengikuti gerakannya. Mereka berdua beriringan menuju gerbang.

Pak satpam tidak bohong, pria paruh baya tersebut sudah menyiapkan motor bututnya. "Bentar, neng namanya Alvira bukan?" tanya Pak satpam.

"Iya, kenapa, Pak?" Alvira menaikkan sebelah alisnya sambil menghentikan langkah. Tentu saja diikuti gerakan yang sama lagi oleh Alvaro.

Pak satpam menjawab seraya menaiki motornya, "Ada yang nyariin, ibunya." Setelah menjelaskan, Pak satpam melajukan motornya meninggalkan kepulan asap hitam yang sempat membuat Alvira terbatuk-batuk.

"Boleh minta anterin?" tanya gadis itu dengan harapan Alvaro mengangguk. Itu saja yang ia inginkan sekarang, agar tak terlalu lama sampai rumah. Bisa-bisa ada perang dunia ketiga nantinya.

"Iya." Jawaban yang membuat Alvira tersenyum lega.

Di perjalanan mereka berbincang ringan, lalu tertawa dibawa angin. Alvira senang hubungannya dengan Alvaro kembali seperti semula, tapi ada yang mengganjal. Bagaimana Alvaro dengan Bintang? Ia putuskan untuk berdiskusi dengan Rahma.

Gerbang Alvira terbuka lebar, mengizinkan motor Alvaro untuk masuk. Si gadis segera turun dengan tergesa dan berterima kasih. Sebuah senyum diukir oleh Alvaro sebagai tanda perpisahan.

Setelah melihat Alvira hilang di balik pintu, baru lah Alvaro berisap-siap menarik gas. Namun, getaran ponsel di saku celana membuatnya harus menggagalkan niat. Ada panggilan masuk dari Rafael. Lantas Alvaro menempelkan ke telinganya dengan perasaan campur aduk. Takut, ada sesuatu yang tidak diinginkan. Kabar buruk, misalnya.

"Ha-hallo?"

"Assalamualaikum, Al. Woy bro, ada kabar nih!"

Nada suara di sebrang sana tidak ada tanda-tanda sedih ataupun sejenisnya. Justru terdengar senang, bahkan Rafael berucap antusias. Cukup melegakan perasaan Alvaro sejenak.

"Apa, Raf?"

"Tunggu besok."

Tuttt ... tuttt ... tuttt....









Ketua PMR vs Kapten Futsal [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang