|16| Rabu berteka-teki

4.1K 232 4
                                    

Rabu kelabu, awan tak mau memberi celah pada sang surya untuk memancarkan sinarnya. Gumpalan awan hitam menghiasi cakrawala langit Jakarta pagi ini. Bumi menangis, walaupun hanya gerimis tapi mematahkan semangat sang gadis.

Alvira termenung sejenak di tepi ranjang, mengedar menatap jendela. Sama seperti orang pada umumnya, hujan datang membawa kenangan. Kenangan pahit di masa lalu, pastinya.

Flashback :

Sepuluh tahun yang lalu....

Seorang wanita terbaring lemah di atas ranjang rumah sakit. Keringat membanjiri seluruh tubuhnya kala telah bertaruh nyawa dalam proses persalinan.

Mata sayu itu meneteskan air mata permohonan maaf pada beberapa orang yang mengerumuninya. Salah satu di antara mereka adalah Alvira yang saat itu masih berumur kurang lebih enam tahun.

Gadis kecil nan polos tersebut menggenggam lembut jari jemari lentik sang bunda.

"Maafin mamah ya sayang." Kedua telapak tangan wanita itu menangkap kepala Alvira untuk mendekat. Ia menyium kening putri kecilnya selama beberapa detik.

"Dede bayi nya meninggal, ya Mah?" Bibir mungil itu melontarkan pertanyaan yang menohok hati orang-orang yang menyaksikan.

Alvira menatap satu per satu anggota keluarganya, matanya meminta jawaban. Namun, tak ada satu pun  dari mereka yang menyahut pertanyaan mudah tapi menyakitkan tersebut.

Sehingga Alvira memutuskan untuk keluar ruangan. Udara dingin menusuk kulitnya, tetesan hujan mengguyur tubuhnya. Tangisnya tersamarkan bersama tangisan bumi.

Falshback off.

Sepotong kenangan telah sukses membuat Alvira yang sekarang kembali bernostalgia dan berujung tangisan. Masa lalu kelam yang begitu pahit. Ia mencengkram ujung selimutmya dengan kencang, tangisnya pecah sejadi-jadinya.

"Gue benci hujan, benci!" Suara tinggi yang keluar dari mulutnya menggema seruangan. Nafasnya bergemuruh yang kian tak teratur setiap detiknya.

Dengan satu gerakan cepat, gadis itu bangkit dan menutup gorden jendela kamarnya. Tak memberi secercah cahaya pun untuk masuk. Berdiam diri dalam naungan kegelapan lebih baik daripada harus melihat hujan yang turun.

Alvira menutup pandangannya dengan selimut, ia menangis tersedu di dalam sana. Biar, tak peduli lagi dengan sekolah. Hujan telah mematahkan semangatnya. Yang ada dirinya tambah hanyut dalam kesedihan. Luka kembali terbuka.

Ceklek

Suara pintu terbuka. Tak ada pilihan lain selain ikut membuka selimutnya. Benar sekali, tentu saja ibunya. Wanita paruh baya yang muncul dalam memorinya tadi, sang tokoh utama dalan kejadian buruk 10 tahun lalu.

Alvira langsung berhambur dalam pelukan ibunya yang menghangatkan tubuhnya yang mengigil. Wajah cemas wanita itu membuat Alvira tersenyum tipis.

"Engga, Alvira gak sakit," tukasnya mendahului pertanyaan ibunya yang pasti mengarah pada kondisi tubuhnya.

"Terus, kenapa gak siap-siap sekolah?" Ibunya memegang bahu Alvira. Lalu menyubit pipi gadis itu dengan gemas. "Sana mandi, nanti mamah anter naik grab car," suruhnya lembut.

Alvira mengangguk. Ia bangkit dan melenggang menuju toilet. Ia percaya, di samping ibunya, tak ada yang menyedihkan. Sekalipun menyangkut kenangan pahit di masa lampau.

***

Ya, sudah dipastikan dirinya telat masuk. Alvira meneduh sebentar ke daerah yang tidak terguyur hujan. Menggoyang-goyangkan pagar agar sang satpam keluar dari posnya.

Ketua PMR vs Kapten Futsal [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang