|34| Kembali bersama

4.1K 229 9
                                    

Kringgg

Bel panjang pulang sekolah adalah penantian anak SMA Wijaya. Mungkin tak cuma SMA Wijaya, bahkan SMA di seluruh Nusantara. Tidak menjadi satu yang beda di antara ratusan murid di sekolah ini, Alvira bersorak gembira kala bel berbunyi.

Ia membereska barang-barangnya yang berserakan, lalu memakai ranselnya di kedua pundak. Duduk dengan rapi sampai ketua kelas menyuruh berdoa. Setelah ada perintah, baru lah Alvira memanjatka  doa agar di perjalana pulang tidak terjadi apa-apa.

Sudah bersemangat ingin cepat-cepat tidur sore, ia ingat harus menemui Alvaro. Ya, istirahat tadi Alvaro memintanya bertemu selepas pulang sekolah. Dan sekarang lah waktunya, Alvira ke kelasnya.

"Alvaro...." panggil Alvira.

Alvaro keluar bersama Bintang dan Rahma, membuat Alvira semakin bingung. Rahma pindah ke samping Alvira, menyapa dengan singkat. Alvira tersenyum sebagai balasan, tak biasanya Rahma seceria ini. Sumringah dan senyum-senyum tidak jelas, jadi takut.

"Dia kenapa?" tanya Alvira menatap Alvaro dan Bintang secara bergantian, seolah tak bisa bertanya lagi kepada yang bersangkutan secara langsung.

Rahma langsung menoyor kepala Alvira di sampingnya, gemas mendengar prasangka buruk yang gadis itu lontarkan. "Lo pikir gue gila ya, hah?!" Lalu Rahma mengerucutkan bibir dan melengos malas.

Alvaro terkekeh tapi menunda penjelasan apa yang sebenranya akan terjadi. Sementara itu Bintang lebih memilih berjalan duluan, sudah tidak sabar. Hingga akhirnya mereka berjalan beriringan menuju parkiran. Bintang membawa mobil, Alvaro menelan ludahnya sebentar.

"Naik gaes!" perintah Bintang sambil membuka pintu kemudi. Alvaro mengangguk ragu dan berniat duduk di sebelah Bintang. Namun, mengurungkan niat karena melihat butiran kacang yang berserakan memenuhi bangku tersebut. Belum lagi, ada beberapa bungkus permen karet. Menambah kesan jorok seorang Bintang.

Lain halnya dengan dua gadis alias Alvira dan Rahma, bersamaan menutup lubang hidung saat mendapati sepasang kaus kaki di barisan kedua. Tak kuat lagi dengan baunya, Rahma menjauh ingin muntah. Alvira pun membanting kencang pintunya, mengagetkan Bintang yang cuek seolah tak punya dosa.

"Kenapa sih kalian?" tanya Bintang dengan polosnya, entah memang benar-benar tak tahu atau bego. Jika bego, mungkin begonya sudah meresap ke tulang dan menempel di DNA.

Alvaro menahan mulutnya, hindari berkata kasar. Seemosi apapun, sabar intinya. Menghadapi Bintang harus dibicarakan baik-baik agar kebegoannya berkurang. "Tang, mobil lo kotor banget. Kita naik taksi online aja ya." Alvaro mendapati celah kesedihan di air muka Bintang.

"Iya deh, gue tinggal sini aja." Akan tetapi akhirnya Bintang menyetujui, lalu keluar dan kembali mencium aroma yang berbeda. Lebih segar ketimbang di dalam.

Alvaro segera memesan taksi online, biarpun harus mengeluarkan kocek setidaknya lebih aman dan bersih. Tahu kan, sebarbar apa kalau Bintang mengendarai kendaraan roda empat? Seakan tujuannya adalah rumah sakit. Parah lagi, kita tahu kondisi mobil Bintang seperti apa. Kotor tak dijaga kebersihannya.

"Dasar jorok!" semprot Rahma dengan nada sarkatis. Hanya mendapat kedikan bahu cuek dari Bintang, merasa tak peduli.

Alvira menepi dan duduk di trotoar, diikuti jejak yang sama oleh Alvaro. Tak lama Bintang dan Rahma pun menuruti, tapi Rahma memilih menyelip di antara Alvaro dan Alvira. Alasannya satu, tak mau dekat-dekat dengan si jorok Bintang.

"Jorok yang penting hatinya bersih!" Bintang membanggakan dirinya sendiri sambil menepuk sebelah dada.

"Siapa sih siapa?" balas Rahma pura-pura tak tahu orangnya. Alvira yang melihat itu terkekeh kecil, dan berharap semoga saja tidak terjadi hal-hal yang diinginkan selanjutnya.

Alvaro punya pemikiran yang sama. Lelaki itu takut ada rasa antara Bintang dan Rahma, tepat di saat Rafael kembali. Kan pasti bakal timbul masalah, retak lagi hubungan yang sudah membaik. Oke, buang jauh-jauh pikiran tersebut. Taksinya sudah sampai, mending segera naik.

Terpaksa harus bertigaan di barisan kedua. Bintang yang egois, duduk lega sendiri samping supir. Lantas Rahma menyeletuk, "Enak banget lo, Tang. Gue gak mau tahu nih pegang tas kita!" Rahma melempar tiga ransel dengan kasar ke arah Bintang. Pemandangan yang menggelitik perut.

Namun, Bintang sama sekali tak menolak. Mirip seperti pembantu yang menuruti perintah majikannya, atau anjing yang patuh pada pemiliknya. Lebih cocok option nomor dua.

Mobil membawa mereka ke bandara Soekarno-Hatta. Rafael mengabari sudah tiba di sini melalui penerbangan jurusan Yogya-Jakarta dari bandara Internasional Adisutjipto. Mereka sudah tak sabar menemui Rafael.

"Rafael!" pekik Rahma begitu melihat batang hidung Rafael di tengah kerumunan orang.

Alvaro menahan Bintang yang ingin menghampiri, "Rindu Rahma lebih berat daripada kita." Begitu ucapan bijak Alvaro.

Terlihat dua insan tersebut berpelukan, erat sekali seperti tak mau dipisahkan. Cukup lama, hingga akhirnya Rahma yang menghentikan pelukan tersebut. Malu dilihat teman. Rahma menyeret koper besar milik Rafael, rela terbebani langkahnya karena tahu Rafael pasti kecapaian.

"Rafael ... kangen sialan...." Bintang berhambur untuk memeluk Rafael. Namun, Rafael mundur secara otomatis.

"Jijik anjir!" sahut Rafael bergidik geli dan lebih memilih ber-high five ria saja. Lalu bergantian ke Alvaro dan Alvira pula yang tak bisa menahan tawa.

Setelah mengobrol-ngobrol sebentar sekaligus ajang melepas rindu, Alvaro mengeluh pusing. Alvira yang mendengar itu lantas mulai panik dan segera menuntun Alvaro untuk naik ke taksi terdekat. Meninggalkan tiga remaja yang dilanda kebingungan, pasalnya Alvira tak menceritakan apapun soal kondisi kesehatan Alvaro yang sekarang.

Alvaro sering mimisan. Fisiknya sedang lemah, hidungnya mudah terinfeksi. Tersumbat sedikit langsung mimisan. Ini juga faktor udara yang kering, sehingga menyebabkan membran hidung kering. Bagian dalam hidung yang kering menjadi lebih rentan terhadap pendarahan. Menurut artikel yang pernah Alvira baca.

"Maaf ya, Al. Jadi ngerepotin."

"Gak pa-pa, kan gue PMR."

"Kalau lo bukan PMR, berarti gak mau bantu ya?"

"Bantu kok, kan sesama manusia harus saling membantu."

Lalu, hening beberapa saat. Ditambah Pak supir yang tak menyetel lagu atau menyalakan radio. Ah ralat, bukan hening tapi canggung. Sungguh suasana yang menyiksa dua insan tersebut.

"Gimana kalau saling menyayangi?"

Deg

Alvira selalu bungkam bila menyangkut masalah percintaan. Selalu malu jika harus mengakui perasaannya. Jika Tuan ingin mendapat jawaban, mungkin bukan sekarang waktunya. Ooh ingin sekarang? Baik, jangan kecewa. Karena si gadis....

"Enggak bisa."

Jika dipikir kata kenapa adalah yang paling cocok, salah besar. Justru Alvaro berkata, "Kapan?" untuk menanggapi jawaban dari Alvira yang menggores pisau di hatinya. Sakit tapi tidak berdarah, luka tak kasat mata. Hanya Alvaro yang tahu bagaimana rasanya. Berpatah hati lah, jika ingin tahu penderitaan Alvaro.

"Gak tahu, intinya bukan sekarang," jawab Alvira dalam satu tarikan napas. Sambil memandang macetnya jalan di sore hari, lagi-lagi di kala senja datang.

Mengapa selalu senja yang datang? Mengapa tidak hujan atau pelangi saja? Jatuhnya kan, seolah senja menjadi saksi bisu kemunafikan mereka berdua. Senja, jangan bilang siapa-siapa, ya.





























Ketua PMR vs Kapten Futsal [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang