|29| Jaket abu-abu

3.6K 206 13
                                    

Hujan mengguyur Kota Jakarta pagi ini, berkah sekaligus penghambat orang-orang yang ingin melakukan aktivitas. Seperti anak sekolah misalnya, pasti malas untuk bergerak dari kasur. Hujan dijadikan alasan untuk tidak masuk sekolah.

Namun, Alvaro tidak seperti itu. Menurutnya sama saja membuang-buang uang orangtua dengan percuma. Lain halnya dengan kemarin, bolos pelajaran. Kalau itu sebatas malas biasa, wajar.

Lelaki itu menggeliat di atas ranjang, terbebas dari alarm yang memekakan telinga. Akhirnya bisa bangun sendiri tanpa bantuan alat itu, suara adzan subuh jauh lebih merdu. Ia bergegas wudhu, setelah terbebas dari najis barulah bisa melaksanakan salat subuh secara munfarid atau sendirian.

Lalu, selepas salat Alvaro termenung sejenak di atas sajadah. Menengadahkan telapak tangannya dan merapalkan doa. Kemudian mengusapnya ke wajah dan membereskan alat-alat salatnya ke tempat semula.

Ia mengibaskan hordeng kamarnya, mengintip sedikit melalui celah tersebut. Di luar masih sangat gelap, bukan karena masih pagi buta. Namun, faktor hujan pula yang menyebabkan gelap gurita seperti ini.
Hanya satu yang Alvaro takutkan, banjir.

Bukan karena dirinya takut kebanjiran, karena rumahnya tingkat. Cobalah lihat yang lain, orang-orang di bawah kolong tol. Bagaimana nasib mereka? Mungkin lebih buruk dari yang ia bayangkan. Tempat tinggal boleh mengungsi, makanan boleh dapat, tapi semua aktivitas terhambat. Banyak juga yang terjangkit diare, apalagi anak-anak.

Pemikiran Alvaro sudah jauh ke sana ternyata, semoga saja tidak kejadian. Tiba-tiba saja otaknya teringat sesuatu, masih ada yang lebih penting daripada melamun. Mengerjakan PR Fisika yang belum sempat ia kerjakan tadi malam karena mengantuk. Ah ralat, mengantuk karena tidak bisa mengerjakannya.

Lantas tangannya tergerak untuk meraih setumpuk buku di atas meja belajar. Alvaro memandang buku tersebut dengan pandangan kosong, kepalanya langsung terasa pusing. Ketika membukanya, bommm! Rumus-rumus membingungkan menyambutnya dengan hangat.

Sial, ada 5 nomor yang belum sama sekali dikerjakan. Burem, itulah yang Alvaro lihat. Alvaro membaca soal tersebut dengan seksama, berharap dapat memecahkan solusi penyelesaiannya. Biarpun sudah diberi rumus, tetap saja ia menyerah.

"Ah, apaan nih?" Alvaro mengerutkan kening heran, begitu ada sepucuk surat dilipatan bukunya.

Diserang rasa penasaran, akhirnya ia memutuskan untuk membuka. Surat tanpa nama itu sukses membuat jantung Alvaro berdegup tak karuan. Harap-harap cemas, bisa saja isinya surat peringatan tidak boleh masuk sekolah atau surat DO. Semua bisa terjadi, kan?

Ia menghela napas lega, tidak ada kop suratnya. Berarti bukan surat formal dari sekolah. Mungkin hanya orang iseng saja, tapi Alvaro masih ingin membaca deretan kata berhuruf besar yang ditulis sang pengirim.

Dear, Alvaro

LO GAK BAKAL JADI KETUA OSIS!!!
NYERAH SEBELUM SEMUANYA BERANTAKAN.

-anonim.

Sebuah surat berisikan ancaman hanya mengundang respon kedikan bahu cuek dari Alvaro. Menurutnya, itu hanya kelakuan hater yang tak ingin melihatnya maju. Lagipula pemilihan sudah berlangsung, mana bisa mengundurkan diri? Toh pengumumannya juga dua hari lagi.

Drttt

Getaran ponsel di atas nakas menciptakan decakan kesal dari mulut lelaki itu. Memang takdir tak mengizinkannya mengerjakan PR, biar saja mendapat hukuman nanti di sekolah. Ternyata Alvira yang mengirim pesan, kalau begitu Alvaro menggagalkan niatnya untuk marah.

Alvira :
P
Jemput gue ya
Tolong, mau?

Alvaro :
Oke

Bibir Alvaro tersenyum tipis. Jangankan hujan air, hujan es pun akan ia lewati jika dikerahkan untuk menjemput sang pujaan hati. Sudah pukul setengah enam, tak terasa. Lalu, Alvaro memutuskan untuk segera bergegas ke kamar mandi. Membersihkan tubuhnya dari kotoran yang menempel.

Setelah melewati waktu kurang lebih setengah jam untuk beres-beres, tepat pukul enam pagi Alvaro sudah bertengger di atas motor. Siap menjemput Alvira yang kediamannya cukup jauh, tapi akan terasa cepat jika dilalui dengan 80 km/jam. Jalanan licin, tapi sepi. Hujan masih turun, banyak pekerja yang memilih menggunakan kendaraan roda empat. Tak seramai hari-hari biasanya, Rabu kelabu ini rezeki bagi supir angkutan umum.

Tinnnn

Klakson panjang dibunyikan Alvaro setelah sampai di rumah Alvira. Tak lama keluar seseorang dari balik pintu, Alvira berlari kecil menghampiri Alvaro. Gadis itu seperti takut air, tak mau setetes pun seragamnya basah terkena guyuran hujan.

"Mana sini mantelnya, gc!" pinta Alvira.

Alvaro segera memberi seperangkat jas hujan itu, beberapa hari yang lalu bukannya Alvira suka bermain hujan? Saat di mana hubungan mereka membaik, Alvaro jadi penasaran kenapa sekarang justru takut terkena air hujan.

"Udah?" tanya Alvaro.

"Udah." Jawaban yang membuat Alvaro langsung tancap gas, menerobos derasnya hujan.

Di tengah perjalanan, tak ada sama sekali percakapan. Alvaro diam fokus mengendarai motornya, Alvira gelisah dengan sesuatu yang ia temukan tadi pagi. Ah, Alvira sampai lupa memberitahu Alvaro.

"Al," panggil Alvira pelan, sontak saja suara tersebut samar-samar di pendengaran Alvaro. Karena terkalahkan oleh suara hujan dan kendaraan.

"Al!" bentak Alvira, begitu panggilan pertama tidak direspon. Lantas, kali ini Alvaro menoleh sekilas di kaca spion, seolah bertanya 'ada apa' oada gadis itu.

"Gak jadi." Ingat, itu cewek yang berucap. Ucaoan cewek selalu benar, tidak boleh dibantah barang sekata pun. Alvaro hanya bisa menahan agar tidak berkata kasar, diam terasa lebih tenang.

Gedung SMA Wijaya tinggal beberapa meter lagi, sudah terlihat jelas di penglihatan mereka. Banyak yang memilih naik mobil, kebiasaan remaja-remaja pada umunya. Sekaligus jadi ajang pamer harta kekayaan, padahal punya orangtua. Dasar anak zaman sekarang, miris.

Alvira turun dan meneduh untuk membuka jas hujan yang dipakainya. Sementara itu Alvaro sibuk memarkir motor, menyempil di antara deretan motor yang sejajar rapi. Setelah itu, menghampiri Alvira yang terduduk dengan tatapan lurus ke depan.

"Al, duduk dulu. Gue mau cerita...." Alvira menepuk-nepuk bangku di sampingnya sambil memperlihatkan wajah gelisahnya yang ketara sekali.

Alvira menghembus napas pelan sambil menoleh pada Alvaro yang sudah duduk. "Masa di ransel gue ada cokelat, tapi gue liat udah kadaluarsa! Sialan banget kan tuh orang, mau liat gue keracunan apa!" Mata Alvira menyala dibakar api amarah, masih pagi udah bikin emosi.

"Hah? Gue juga diterror gitu, gak tau dari siapa. Intinya nyuruh kita ngundurin diri jadi Ketos sama waketos." Alvaro merogoh ranselnya, seingatnya tadi surat itu tidak ia buang. Masih terselip di buku fisika.

Alvira menyambar surat yang ada di tangan Alvaro, membacanya dalam hati. Gadis itu menggigit bibir bawah takut. "Gimana dong?" tanyanya meminta pendapat dari calon Ketua OSIS yang bersangkutan.

Alvaro menggeleng tanda tak tahu, dirinya pun sama-sama bingung. "Kita liat besok, kalau masih ada kita ambil jalan aman," putus lelaki itu mantap.

Alvira mengiyakan lalu bangkit, mengajak Alvaro untuk ke kelas. Kepergian mereka, membuat seseorang yang bersembunyi di sela-sela motor keluar. Mempublikasikan wajahnya kepada dunia dengan sebuah senyum smirk.

"Lima puluh persen berhasil, tapi...." monolog orang itu, tak melanjutkan ucapannya malah termenung. Orang bergender lelaki tersebut membuka penutup kepala jaket abu-abu yang dikenakannya. Melenggang begitu saja meninggalkan parkiran untuk ke kelasnya.















Ketua PMR vs Kapten Futsal [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang