|25| Sebuah kalimat

3.9K 235 16
                                    

Hembusan angin mengajak main rambut seorang gadis di pinggir lapangan. Teriknya sinar mentari membuat matanya menyipit, tapi sama sekali tak tergerak untuk bangkit. Kepalanya terarah ke tengah lapangan, tepat di mana anak-anak futsal latihan.

Terlihat mereka mengitari lapangan yang luas ini, Alvira hitung sudah lima putaran. Sang pelatih tiba-tiba saja duduk di samping Alvira, mengibas-ngibaskan tangannya karena kepanasan. Biarpun daritadi tak melakukan aksi fisik, tapi lelaki separuh baya tersebut bercucuran keringat.

Angin kembali berhembus, menghentikan aktivitasnya. Mulutnya tiba-tiba bertanya, "Nunggu pacar, siapa?" Dengan tolehan ke Alvira.

Kening Alvira mengerut, lalu menggeleng spontan. Tersenyum tipis sambil menyahut, "Nunggu temen, Alvaro." Menyorot sang kapten futsal di sana.

Tanpa diduga, Alvaro menepi ke pinggir lapangan dengan napas terengah. Anak-anak futsal yang lain seperti menunggu sebuah jawaban. Tepat di hadapan pelatihnya, Alvaro menarik napas panjang lalu menghembuskan perlahan.

"Sampai berapa, coach?" tanyanya.

"Sepuluh." Satu jawaban singkat, padat dan jelas. Sontak saja membuat mata Alvaro membesar, terkaget-kaget. Karena biasanya hanya lima putaran saja, setelah itu baru boleh berlatih bebas.

Mulut Alvaro setengah menganga ingin membantah, tapi dengan entengnya coach menggelengkan kepala tanda tak boleh menawar. "Untuk kali ini saja, saya ingin uji fisik kalian."

Dengan hembusan napas pasrah, Alvaro berbalik. Berlari menuju kawan-kawannya yang nampak kelelahan. Di sisi lain, Alvira pun ikut kesal. Waktu tunggunya bertambah. Apalagi tidak ada kerjaan begini, bosan sekali rasanya.

Satu per satu mulai mengitari lapangan. Alvaro ujung buntutnya, tak sesemangat tadi. Bahkan, lari mereka semua lambat. Lantas mata coach menajam, sedetik kemudian ia meniup peluitnya dengan kencang. Menghentikan gerakan mereka.

"Bagaimana kalian ingin jadi pemain bola, jika lari saja seperti kura-kura?!" Coach menatap mereka bergantian, meminta sebuah jawaban.

Hening beberapa saat, karena tak ada yang berani membuka suara. Di keheningan, jantung Alvaro bergemuruh. Hatinya menjerit mengutarakan jawaban, tapi mulut itu seperti dikunci. Tak ada yang Alvaro dan mereka lakukan selain menunduk, menatap aspal panas di punggung bumi.

Jawab Al, jawab! batin Alvira gemas sendiri.

Telepati, tiba-tiba saja gembok gaib yang mengunci mulut Alvaro terlepas.  "Pemain bola, bukan diliat dari seberapa cepat ia berlari. Skill giring bola dan ngumpan, itu yang paling penting." Kini semua mengarahkan pandangan pada Alvaro.

Bintang menimpali, merasa terpancing untuk berargumen. "Percuma udah lari kenceng-kenceng pas udah depan gawang gemeteran." Terlihat senyuman sinis dari Bintang yang dipublikasikan gratis.

Satu lagi, ada yang menambahkan. Namun, dia seorang gadis. "Dan semua itu butuh kerja sama, bukan soal menang atau kalahnya." Bukan bermaksud ikut-ikutan, hanya saja berani berpendapat agar tidak mendekam menjadi unek-unek.

Terakhir, sebagai penutup. Dari seseorang yang tadi berani memulai. Alvaro berucap, "Maaf lancang, coach."

Coach tersentuh. Selama ini ia menganggap anak-anak didiknya mengandalkan skill berlari cepat saja, tapi ternyata tidak. Sang kapten futsal sendiri bilang skill menggiring bola dan mengumpan adalah yang paling penting. Apakah benar? Mungkin.

Menggiring bola, sama saja menjaga bola agar tidak dicuri lawan. Mengecilkan peluang lawan untuk membobol gawang. Lalu, mengumpan. Sebuah skill yang bertujuan untuk menghindari keegoiasan saat mendapat bola. Bisa juga lupa kawan, bertekad mencetak gol sendiri. Dan akhirnya, zonk!

Haha, miris. Alvaro membayangkan itu dan tertawa getir. Sudah terjadi di banyak pertandingan, di mana kacang lupa kulit. Namun, seingatnya, ia juga pernah melakukan itu. Haha, Alvaro menertawakan dirinya sendiri yang egois.

"BUBAR!" Suara lantang coach, mengagetkan Alvaro dari bayang-bayangnya. Kata bubar, bukan berarti tanda latihan telah usai. Melainkan tanda para anggota berlatih perorangan sesuai keahliannya masing-masing.

Misal, Alvaro dengan Bintang. Striker yang mencoba mencetak gol dan keeper yang berusaha menangkap bola. Pemandangan yang sukses mencuri perhatian dari Alvira. Tanpa sadar, ujung bibir gadis itu terangkat. Suka saja lihat Alvaro tertawa lebar bersama kawannya, saat satu tendangan berhasil membobol gawang Bintang.

Bintang nampak kesal dan berbicara sesuatu. Kemungkian besar sebuah umpatan kasar yang ditujukan untuk Alvaro. Namun, makin lama makin kencang dan mengundang simpati publik. Mereka berdua bertengkar!

"LO KOK EMOSIAN GINI SIH, TANG?!"

Bintang mengatur napas, dadanya sesak akan ketidakmampuannya sendiri dalam menangkap bola. Sehingga sang pencetak gol lah yang dijadikan pelampiasan.

"BACOT, LO!"

Alvaro memperdalam tatapannya. Bintang terlihat sedang menyimpan masalah, jadi berpengaruh pada tingkat emosionalnya. Seperti ada beban berat di atas pundak Bintang, itulah gambaran dari kacamata Alvaro sekilas.

"HEI! kalian sadar gak, ini cuma LATIHAN!" sorak sebuah suara.

Alvaro menghampiri Bintang, berpelukan sebentar. Walaupun terlihat menjijikan, tapi jangan salah tentang makna berpelukan. Selain memberi kasih sayang, pelukan juga bisa meringankan stress dan sakit kepala. Itu menurut catatan yang pernah Alvaro baca di ponsel pintarnya.

"Bilang ke gue, ceritain semuanya," bisik Alvaro mendapat anggukan dari Bintang.

Di lain sisi, Alvira belum percaya dengan pemandangan menegangkan beberapa menit yang lalu, kini digantikan dengan ajang berpelukan tersebut alias tanda damai.

"Air gue mana?" tanya Alvaro, rasa haus menjalar di tenggorokannya.

Alvira menyodorkan sebotol air mineral, lalu kembali duduk. Setelah meneguk sampai setengah, Alvaro melemparnya ke arah Bintang. "Gak ada doi sih lu, gak ada yang merhatiin! Hahahah...."

Celetukan Alvaro hanya ditanggapi dengan kata, "Bodo amat!" oleh Bintang sambil menangkap botol.

Setelah dirasa semuanya beres, barulah Alvaro menampilkan wajah seriusnya. "Lo mau cerita kan?" Mata lelaki itu berubah menjadi nanar.

Bintang menjatuhkan bokongnya, berkali-kali inspirasi dan ekspirasi. Untung saja tak ada tambahan suara dari belakang. "Ini tentang Rafael," ucapnya.

Tiga kata yang menciptakan raut wajah penasaran dari Alvaro dan juga Alvira yang ikut mendengarkan. Bintang mengulur waktu dengan hal yang tak penting, seperti menggaruk kepala dan mengacak-acak rambutnya. Sesulit itukah untuk menjelaskan?

"Dia ... bakal ninggalin kita." Jeda sejenak, Alvaro dan Alvira menahan napas. "Tantenya mau bawa dia berobat ke Yogya dan tinggal di sana."

Penjelasan yang sudah sangat jelas. Benar, satu per satu orang-orang akan pergi. Bersiaplah untuk itu, ikhlas atau tidak tak ada ada yang bisa menyalahkan takdir.

"Kenapa takdir setega itu, Tang? Apa salah gue buat orang-orang yang gue sayang perlahan pergi, APA?!" tanya Alvaro, kesal bercampur marah sambil mengguncang-guncang bahu Bintang.

Bintang bisu, sama-sama tak tahu jawabannya. Bodoh, sebut saja seperti itu.

"Lo gak salah, Al. Mereka yang pergi seenggaknya udah bikin hidup lo berwarna. Jangan salahin takdir, tolong." Alvira mencoba menenangkan dengan mengelus-elus punggung Alvaro yang terpuruk ini.

Tunggu, bagaimana dengan perasaan Rahma? Mungkin amat sangat terpuruk. Baru saja ditinggal Gilang, sekarang harus merelakan kepergian Rafael. Kuatkah? Entahlah, Alvira tak bisa membayangkan.

"Gue gak bakal pergi kok, tenang aja." Sebuah kalimat meluncur begitu saja dari bibir mungil Alvira.

"Janji?" Alvaro mengacungkan jari kelingkingnya.

"Iya," sahut Alvira sambil mengaitkan jari telunjuknya.

Mereka baru saja mengikat perjanjian, disaksikan langsung oleh Bintang yang hanya bisa senyum-senyum sendiri. Bintang jadi saksi bahwa "Alvira berjanji untuk tidak meninggalkan Alvaro."













Ketua PMR vs Kapten Futsal [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang