Ruang OSIS di ujung koridor menggerakkan kaki Alvira untuk ke sana. Gadis yang berbalut seragam batik cokelat itu berjalan dengan langkah lumayan lambat, seorang diri. Sudah tepat berada di ambang pintu yang tertutup rapat, langkahnya terhenti.
Ia menarik nafas panjang, lalu tangan kanannya berada di atas kenop. Dengan hati-hati ia membuka pintunya, menciptakan suara decitan akibat gaya gesek yang terjadi antara alas pintu dan lantai.
"Permisi," sapa Alvira canggung karena semua mata dalam ruangan ini menyorot padanya.
"Iya, cari siapa?" Salah satu siswi beralmet biru--almet anak OSIS menghampiri Alvira yang setengah tubuhnya di luar, setengahnya lagi di dalam. Menyembul saja.
Alvira menggaruk tengkuknya yang tidak gatal. Matanya sedikit jengah begitu satu siswa di sana menatapnya intens. Cowok ganteng bernama Rafael Adinugraha, yang tak lain tak bukan adalah sang ketua OSIS yang masanya akan berakhir beberapa waktu lagi.
"Sini deh," bisik Alvira seraya menarik lengan siswi yang masih menunggu jawabannya untuk keluar.
"Hmm ... jadi, cuma mau nanya, kalau boleh tau siapa aja yang udah daftar jadi calon ketos?" Rasa penasaran Alvira benar-benar di ambang batas, daripada kepikiran sampai tidak bisa tidur lebih baik ditanyakan.
Siswi ber-name tag Diva tersebut berpikir sejenak, menghitung-hitung jarinya. "Kurang lebih 9 orang, gue lupa nama-namanya," jawabnya.
Alvira membulatkan matanya, berarti jika ia mendaftar tepat 10 orang. Menyingkirkan 8 orang untuk bisa diterima memang bukan hal yang mudah. Bisa saja visi misi yang sudah mereka kirim benar-benar dipersiapkan dengan matang agar diterima. Apa kabar dengan dirinya yang belum buat sama sekali?
"Ooh, oke. Makasih ya...." Alvira membaca sejenak name tag anak OSIS di hadapannya, lalu melanjutkan lagi ucapannya, "....Diva."
Diva mengangguk sebagai jawaban, membalikkan tubuhnya, dan kembali masuk ke ruangan OSIS. Setelah Diva hilang dari hadapannya, barulah Alvira melenggang pergi.
Sampailah ia di depan perpustakaan yang terletak di lantai tiga. Beberapa kakak kelas ada yang menatap tidak suka, karena berani-beraninya Alvira menginjakkan kaki di sini. Lantai tiga, sudah dicap sebagai bagian seram. Bukan seram tentang hantu yang bergentayangan, tapi seram karena anak kelas 12 yang suka bullying.
Arjoli yang melingkar manis di pergelangan tangan gadis itu sudah menunjukkan pukul 12.15 WIB. Bel berakhir istirahat hanya tinggal 15 menit lagi namun sampai detik ini Alvaro belum juga menampakkan batang hidungnya. Memang kebiasaan, omongan cowok kebanyakan bullshit.
Dengan malas Alvira menjatuhkan bokongnya di kursi depan perpustakaan, celingak-celinguk ke kanan dan ke kiri. Hanya untuk mencari satu orang, Alvaro. Jika bukan karena visi misi yang terakhir dikumpulkan besok, Alvira tak mungkin berani ke sini. Paling tidak minimal ditemani Rahma.
Tiba-tiba saja terdengar langkah beberapa orang yang mendekat ke arahnya. Alvira menoleh ke sumber suara, menelan salivanya susah payah. Lirikan mata satu geng itu membuat nyali Alvira menyiut dan ingin cepat-cepat turun dari sini, secepatnya!
"Lo ... ketua PMR kan?" tanya siswi dengan baju dikrop. Alvira hanya mengangguk sebagai jawaban.
"Ooh, gue saranin jangan datang ke sini sendiri. Banyak kang bully," ucap yang lain.
"Sans gak usah takut sama kita, kita gak gitu kok," timpal yang lainnya lagi.
Sejenak Alvira menghela nafasnya lega, kedua ujung bibirnya terangkat. Rasa takut yang sempat tercipta lenyap begitu saja.
Beberapa detik kemudian mereka melenggang, meninggalkan Alvira yang masih setia di posisi. Matanya lagi-lagi mengedar, berharap datang Alvaro. Waktu pun tetap berjalan, kurang lebih 10 menit lagi bel akan berbunyi.
KAMU SEDANG MEMBACA
Ketua PMR vs Kapten Futsal [Completed]
Teen FictionBEST RANK : #2 ketuapmr 07 Juli 2020 #4 kaptenfutsal 07 Juli 2020 Alvira tak menyangka, pertemuan pertamanya dengan Alvaro di lapangan adalah awal dari kisah rumit yang akan terjalin. Alvira yang saat itu menjabat sebagai ketua PMR harus berurusan d...