Dua hari dua malam Alvira menyaksikan tangisan seorang Rahma. Gadis yang menderita karena kehilangan kekasihnya, Gilang. Ribuan detik Rahma lalui hanya dengan menangisi kepergiannya. Alvira tak bisa melakukan apa-apa, selain menenangkan.
Gilang sudah pergi, tak ada seorang pun yang bisa menggagalkan keputusannya untuk tinggal bersama kakaknya, Kak Tasya. Sekalipun sampai nangis darah, Gilang tak akan kembali. Percuma, sia-sia air mata Rahma turun berliter-liter juga.
"Ma, gue keluar bentar ya." Alvira manarik nafas panjang dan berlalu meninggalkan kamar sahabatnya itu.
Ia keluar, berniat mencari hawa baru di Minggu yang cerah ini. Arjoli yang melingkar manis di pergelangan tangannya baru menunjukkan pukul 07.00 WIB. Tidak tahu mengapa, jika hari libur justru semangat bangun pagi. Terkadang, semesta sejahat ini.
Rumah Rahma berada dalam kompleks, tak heran yang Alvira dapatkan adalah majikan yang sedang berjalan-jalan dengan hewan peliharaannya masing-masing. Mereka terlihat ramah, bahkan ada yang tersenyum pada Alvira saat berpapasan dan gadis itu hanya bisa membalas dengan senyuman tipis.
Alvira beralih dari jalan cepat ke jogging. Ah lupa, kenapa tidak sekalian membawa uang untuk sarapan bubur yang katanya sangat enak tersebut. Kan bisa sekalian membeli untuk Rahma juga, siapa tahu langsung berubah mood-nya menjadi lebih baik.
"Balik lagi, ah." Alvira membalikkan tubuhnya, berniat kembali pulang untuk mengambil uangnya yang tertinggal di rumah Rahma. Namun, ada seseorang yang berhasil menggagalkan. Hingga gadis itu hanya bisa terpaku selama beberapa detik.
Matanya mengerjap kaget begitu lelaki di hadapannya mengibaskan tangan jail. Terdengar kekehan kecil, Alvira pun memutar bola matanya malas. Dia Rafael, bukan Rafael sohibnya Alvaro. Namun, Rafael orang dalam yang berpengaruh terhadap penyeleksian visi misi calon ketua OSIS. Ingat 'kan?
"Hai, apa kabar?"
Alvira menautkan alis sebentar, lalu menyahut.
"Baik."
Rafael mengangguk lalu mengedarkan pandangannya dan jatuh tepat pada tukang bubur yang Alvira inginkan tadi. "Sarapan yuk!" ajak Rafael antusias.
Alvira ingin berpikir dulu, tapi Rafael terlanjur menarik tangannya. Jatuhnya maksa bukan ngajak. Namun, pedulikah lelaki itu? Tidak sama sekali. Yang ada ia terus menyebarkan pesonanya lewat senyuman, bahkan Alvira sampai tertegun beberapa saat.
"Al, spoiler dikit ya. Lo cantik."
Alvira yang tengah meminum teh tawar hangatnya lantas tersedak dan memeletkan lidahnya. Untung tidak terlalu panas, bisa melepuh itu lidah. Tahu orang salah tingkah? Ya, garuk-garuk tidak jelas padahal tidak gatal. Seperti Alvira sekarang ini.
"Gaje lo, dek. Gampang banget dibohongin," ucap Rafael tanpa dosanya seraya memutar-mutar ponsel di atas meja.
Tahan, Alvira bersusah payah menahan mulutnya agar tidak berkata kasar. Gadis itu menyorot kakak kelasnya tanpa arti dan mengembang kempiskan hidungnya menahan marah.
"Ooh iya, besok pulsek jangan lupa ngumpul ya. Mau ada pengumuman visi misi yang terpilih." Rafael mengganti topik pembicaraa ke yang lebih penting dan berbobot.
Alvira membulatkan matanya sempurna, terkejut neng terheran-heran. Otaknya berputar, jantungnya berdebar, matanya terpejam, hidungnya sibuk bernapas. Satu pertanyaan yang pertama kali terlintas, bagaimana cara memberitahu Alvaro? Sedangkan dirinya saja sudah dihindari oleh lelaki tersebut.
Chat via medsos?
"Ashiaaaappp...." ucap Alvira seraya merogoh ponselnya. Eh, mana?! Jangan-jangan jatuh, ooh iya kan tidak bawa ponsel.
Rafael yang melihat tiap gerakan Alvira gemas sendiri. Tiba-tiba dua mangkuk bubur datang, pesanan telah tiba. Memang kelihatannya enak, apalagi ditambah beberapa sendok sambal cair dan sate usus telur ati.
"Lo kan anak PMR, tau dong masalah pencernaan. Gak baik pagi-pagi makan sambal," komentar Rafael saat melihat Alvira yang berniat menambah porsi sambalnya.
Alvira mendengus sebentar lalu menyahut dengan nyanyian, "Lah bodo amat, bacot amat lah."
Rafael dengan gemas menjitak kepala gadis di sebelahnya tersebut hingga sang empunya meringis kesakitan. Setelah itu tak ada lagi percakapan, keduanya asyik menikmati bubur masing-masing.
"Ekhem," dehem Alvira untuk memancing Rafael berbicara. Jika tidak begitu canggung-canggungan saja.
"Iya?" Rafael menaikkan sebelah alisnya seraya menyudahi kegiatannya.
"Besok jadi 'kan? Kakak udah ngabarin dia?" tanya Alvira, dia yang gadis itu maksud adalah Alvaro.
Kening Rafael mengerut sebentar lalu menggelengkan kepalanya. Alvira yang melihat itu membuang napas kasar dan menunduk pasrah.
"Kenapa? Lo ... lagi marahan sama dia?" Rafael penasaran, terkesan kepo memang, tapi mau bagaimana lagi.
"Ehmm, i-iya. Dia yang ngejauh, gue gak ngerti lagi," jawab Alvira lesu.
Rafael mangut-mangut dan bingung ingin mencari topik apalagi. Kebingungannya hanya diisii dengan ketukan jari pada meja, membuat Alvira ikut-ikutan bingung.
"Alvira, ayo pulang."
Alvira bangkit, mendengar ajakan lembut sang ketos itu. Kakinya melangkah dengan perlahan, matanya menyorot tanah beraspal yang dipijaknya. Langkah-langkah pasti yang mengantarkannya pada rumah Rahma, masih, masih bersama Rafael.
"Ini rumah lo?" tanya Rafael seraya mengedar.
"Bukan, ini rumah Rahma," jawab Alvira. "Gue masuk ya kak," lanjutnya lalu melangkah masuk dan menutup pagar. Ini rumah orang, masa iya harus basa-basi mau mampir atau engga? Jadi bingung.
Alvira berhenti sejenak, kepalanya gatal untuk menoleh. Alhasil ia gerakan sedikit ke belakang, matanya menyipit melalui celah pagar. Rafael sudah tak ada, lantas gadis itu menghela nafas lega.
"Rahma!" panggil Alvira begitu tak mendapatkan keberadaan Rahma di kamarnya.
"Gue di sini," sahut sebuah suara lesu bersumber dari balkon.
Alvira pun berjalan menuju balkon kamar sahabatnya itu, menghembuskan napas panjang saat melihat Rahma yang terus-terusan melamun. Jika berhenti menangis, pasti melamun. Begitu saja sejak dua hari belakangan ini.
"Ma, lo sama dia harus terpisah. Kalau lo begini terus, sama aja lo benci sama takdir."
Tidak ada jawaban.
"Ma, makan dulu ya. Gue beliin bubur nih tadi."
Sama, tidak ada jawaban.
"Ma, gue pergi nih!"
Barulah Rahma menoleh, mencekal lemah pergelangan tangan Alvira yang sebenarnya hanya berpura-pura. Mata Rahma sayu bagai daun yang jatuh dari pohonnya.
"Ra-Rafael dirawat...."
Rafael temannya Alvaro.
Aduh, salah ngasih nama aku tuh😂
Ribet kan kalau gini, Rafaelnya ada dua:v
KAMU SEDANG MEMBACA
Ketua PMR vs Kapten Futsal [Completed]
Fiksi RemajaBEST RANK : #2 ketuapmr 07 Juli 2020 #4 kaptenfutsal 07 Juli 2020 Alvira tak menyangka, pertemuan pertamanya dengan Alvaro di lapangan adalah awal dari kisah rumit yang akan terjalin. Alvira yang saat itu menjabat sebagai ketua PMR harus berurusan d...