Ini hari terakhir seorang Rafael menginjakkan kaki di Jakarta. Beberapa jam lagi, ia akan pergi meninggalkan sejuta kisah di kota ini. Kisah yang dirangkai bersama dua sahabatnya, Alvaro dan Bintang.
Tak ada yang bersuara, keheningan melanda mereka bertiga di dalam kamar bernuansa monokrom. Si pemilik kamar malah menerawang langit-langit kamarnya, entah apa yang ia pikirkan. Mungkin saja pertarungan dua cecak di sana.
Alvaro menghembuskan napas, sudah lebih setengah jam tak ada yang memulai percakapan. Bintang mendadak bisu, dengan berpura-pura sibuk pada ponselnya. Padahal, Alvaro lihat sekilas tadi hanya scroll menu saja. Apa lagi Rafael, melamun tak jelas.
Jika dilihat, memang seperti tidak apa-apa. Namun, di dalam tubuh itu ada rasa sakit yang hanya bisa dirasakan oleh dirinya. Rafael nampak kuat, tapi ... tidak tahu bagaimana sebenarnya.
Drttt....
Alvaro mengerjap saat ponselnya dalam saku bergetar. Lelaki itu diam sejenak, membaca nama yang tertera di layar. Alvira, menelpon via Whatsapp. Angkat atau tidak? Alvaro mengedar bingung, tapi berhasil menciduk Rafael dan Bintang yang memperhatikannya diam-diam.
"Siapa?" Suara pertama kali muncul, mencairkan suasana dalam sekejap. Bintang yang tadi berucap sambil membenarkan letak duduknya. Mendekap bantal yang bisa dijangkaunya, dan terdiam lagi.
Sementara itu Rafael juga terlihat penasaran, menunggu Alvaro menjawab. Namun, Alvaro tak kunjung membuka suaranya, otak lelaki itu justru berselancar di atas pelangi imajinernya.
Ia bayangkan, dua remaja di depannya akan pergi dalam waktu dekat. Kalau Rafael sudah dipastikan kebenarannya, sedangkan Bintang entah benar atau tidak. Itulah gambaran yang sama sekali tak diinginkan Alvaro.
"Bintang, lo gak bakal pergi kan?" Alvaro tak menjawab pertanyaan Bintang, malah berbalik tanya. Menciptakan kerutan di kening Bintang.
Terdengar decakan kasar dari mulut Rafael. "Jangan gitu, gue merasa bersalah." Kalimat tulus meluncur begitu saja, padahal Rafael bertekad untuk tidak mengungkit-ngungkit kesalahannya lagi.
Drttt....
Ponsel kembali bergetar, kali ini Alvaro memutuskan untuk segera mengangkat. Barangkali penting, bukan? Hingga suara perempuan di sebrang sana langsung menyampaikan topik.
"Al, di sana ada Rafael? Tolong bilang ke dia, Rahma ngunci diri udah dua hari."
Tolong, Alvaro dimintai pertolongan oleh Alvira. Lantas, lelaki itu mengarahkan pandang pada Rafael. Bibirnya berucap, "Rahma ngunci diri dua hari, karena lo." Santai saja, nada biasa tapi berhasil menusuk Rafael secara langsung.
Tut ... tut ... tuttt....
Tiba-tiba Rafael bangkit, tanpa mengucapkan kata apapun lagi meraih kunci mobil di samping lampu tidurnya. Alvaro dan Bintang tak sebodoh itu untuk tidak mengerti, dengan cepat mengikuti langkah Rafael yang terburu-buru ke bawah.
Bintang tahu kondisi Rafael belum sepenuhnya membaik dan Alvaro yang tak bisa mengendarai mobil, alhasil harus turun tangan. "Jadi pembalap liar sekali-kali ya, pakai sabuknya!" Siap, meluncur...!!!
Tak perlu waktu lama untuk sampai di kediaman yang Alvira share, tepatnya rumah Rahma. Bintang memarkir di depan rumah luas nan besar itu, segera mematikan mesin mobil dengan tenang.
"Gila ya lo?! Pulang gue yang bawalah!" sewot Alvaro masih tak percaya dirinya masih bernapas. Karena baru saja menguji kecepatan jantungnya.
"Sama aja, lebih parah malah!" timpal Rafael seraya membuka seatbelt kursi depan yang diduduki. Untung saja selama perjalanan menutup mata dan merapalkan doa. Tidak terjadi hal-hal yang tidak diinginkan, kambuh misalnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Ketua PMR vs Kapten Futsal [Completed]
Teen FictionBEST RANK : #2 ketuapmr 07 Juli 2020 #4 kaptenfutsal 07 Juli 2020 Alvira tak menyangka, pertemuan pertamanya dengan Alvaro di lapangan adalah awal dari kisah rumit yang akan terjalin. Alvira yang saat itu menjabat sebagai ketua PMR harus berurusan d...