Keesokan paginya pak Rudi kembali mengumpulkan semua orang tepat saat jam menunjukkan pukul delapan. Hari ketiga di perkemahan memang diisi dengan kegiatan outbound sesuai dengan apa yang telah direncanakan. Pembagian kelompok ditentukan oleh pak Rudi jadi mau tidak mau Ovel harus menerima walaupun ia berakhir satu kelompok dengan Vina. Di sinilah gadis itu berakhir sekarang, duduk berhadapan dengan Vina yang tak henti-hentinya menatap tajam ke arahnya semenjak kelompok ini terbentuk.
"Kalian, kemarilah." Perintah Revan. Semuanya serempak berdiri, tak terkecuali Ovel. Gadis itu bergegas menuju ke tempat dimana Revan berada hingga tak menyadari ada sesuatu yang menghalangi langkahnya. Ovel tersungkur, tubuhnya menghantam tanah dengan keras.
"Ups. Sorry, aku gak sengaja."
Ovel membuka matanya. Di depannya vina berdiri sambil berkacak pinggang. Sebuah senyuman angkuh terlukis di bibir gadis cantik itu. Ovel berusaha menegakkan tubuhnya -setelah dibantu oleh Revan yang segera berlari ke arahnya begitu ia terjatuh, juga Lilan. Setetes darah jatuh ke tanah. Ovel mengusap dagunya yang terasa sangat perih, ia terluka tapi sepertinya tidak terlalu dalam.
"Gadis gila!" Delik Lilan pada Vina yang notabennya adalah ketua tim cheerleader, kelompoknya sendiri.
"Apa perlu sampai seperti itu, Vin? Ovel kan tidak pernah mencari masalah dengan kamu, kenapa membencinya sampai seperti itu?" Revan berusaha merendahkan suaranya. Walaupun ia kesal, tapi ia tidak ingin meninggikan suaranya meskipun pada Vina.
"Loh? Kenapa ini jadi salahku? Dia sendiri yang terjatuh. Dylan, kamu lihat sendiri kan kejadiannya seperti apa." Revan menghela napas.
"Semua orang melihat kamu melakukannya Vin, jadi jangan mengelak lagi." Wajah Vina berubah masam. Pasalnya ia tak menyangka kalau Dylan akan berkata seperti itu padanya. Vina memilih pergi tanpa menanggapi ucapan Dylan, ia kesal dengan pemuda itu yang sama sekali tidak membelanya.
"Kita obati dulu lukamu, setelah itu baru berkumpul lagi." Revan sebagai ketua tim merasa bertanggung jawab atas terlukanya Ovel hendak mengajak gadis itu ke tenda untuk diobati. Tapi gadis itu menggeleng. Ia mengeluarkan serenteng plester dari kantong jaketnya, membasuh luka itu dengan air yang dimintanya pada Lilan kemudian menempelkan dua buah plester pada luka yang menganga itu, sendirian.
"Sudah. Kita bisa melanjutkan diskusinya. Pak Rudi cuman memberi waktu tiga puluh menit dan sudah berjalan tujuh menit sekarang."
Revan tersenyum -gadis dihadapannya ini sangatlah tidak terduga. Pemuda itu mengacak pelan rambut Ovel -entah keberanian dari mana.
Dylan hanya menatap tanpa bisa berbuat apapun. Tak perlu waktu lama bagi pemuda itu menyadarinya, hanya butuh tiga minggu, dan ia mulai sadar kalau ia sudah membuat keputusan yang salah. Rasa bencinya terhadap kedekatan Revan dengan Ovel terjawab sudah. Rasa bimbangnya sejak dua hari yang lalu juga sudah terjawab. Ternyata selama ini ia hanya kagum pada Vina, mengingat gadis itu memang sangatlah cantik. Ternyata rasa sukanya pada Vina yang selama ini ia agung-agungkan itu hanyalah ilusi semata, tak pernah terjadi. Dan sekarang, ia ingin mendapatkan Ovel kembali. Ia ingin Ovel mengejarnya lagi, ia ingin Ovel mencintainya lagi.
Bullshit!
Dylan tersentak. Ia terlihat seperti pecundang sekarang. Hanya orang brengsek yang penuh dengan keegoisan. Selama enam bulan terakhir kebersamaanya dengan Ovel selalu ia sia-siakan. Dan sekarang ia malah menginginkan gadis itu kembali?
Mata Dylan masih tidak bisa berhenti menatap punggung Ovel yang menjauh darinya, berjalan beriringan denga Revan.
Tiga puluh menit yang di berikan oleh pak Rudi sebelum memulai outbound habis sudah. Semua orang mulai pergi menuju ke tempat outbound dilaksanakan. Dengan jumlah orang sekitar 30, pak Rudi hanya membaginya menjadi empat kelompok saja. Games pertama mereka hari ini adalah paint ball -nama yang sedikit asing bagi Ovel. Tempatnya hanya berjarak beberapa meter dari perkemahan -tak jauh dari tempat terakhir kali Ovel tertidur.
Ovel menatap pantulan dirinya di cermin. Berkali-kali ia memperbaiki baju pelindungnya yang kebesaran. Badannya terlalu kecil untuk bisa pas dengan setelan pelindung yang memang didesain untuk laki-laki ini. Dengan pasrah Ovel berjalan keluar dari ruang ganti, lagi pula tidak akan ada yang memperhatikan gadis seperti dia, kecuali...
Sebuah kikikan kecil terdengar saat Ovel bergabung dengan kelompoknya sebelum pertandingan dimulai dan ia sudah bisa menebak siapa itu.
"Manisnya." Bisik Revan pelan namun masih bisa didengar Ovel.
Jantung Ovel langsung berdetak kencang tatkala Revan memperbaiki baju pelindungnya. Ada rasa bahagia yang tiba-tiba saja membuat hatinya menghangat.
"Sudah. "
"O-oh baiklah." Ovel tergagap. Wajahnya memanas saat Revan menatapnya. Sepertinya gadis itu juga sudah mulai menyukai Revan. Ya... sepertinya.
-Everlyzd-
Permainan paintball yang mereka mainkan saat ini cukup menguras tenaga. Mereka harus berjalan mengitari hutan, mencari tempat perlindungan, dan membuat strategi agar menang. Revan agak sedikit kewalahan saat bermain mengingat di timnya hanya ada tiga orang pria.
"Berapa orang lagi?" Tanya Revan pada Miko.
Miko diam sejenak, menghitung musuh yang sudah di tembakinya. "Sisa empat lagi." Sambil menunjukkan enam jari miliknya. "Dua dari tim Dylan, dua lagi timnya Tria."
Revan kemudian mengangguk. Timnya juga tersisa empat orang lagi, jadi memungkinkan untuk menghadapinya satu lawan satu.
"Ovel, tetap di belakangku, Oke!" Ovel mengangguk, sedari tadi ia hanya bergantung pada Revan tanpa memberikan kontribusi yang berarti untuk tim. Ia juga tidak menembak satupun lawan. Mereka mulai mengendap-endap di antara pepohonan, mencari keberadaan tim musuh. Ovel memegangi ujung baju Revan -tentu saja Revan yang menyuruhnya. Samar-samar Ovel mendengar langkah kaki, gadis itu menolehkan pandang ke arah kiri. Dylan -lengkap dengan senjatanya terlihat bersiap membidik Ovel. Gadis itu terduduk, melindungi kepalanya dengan tangannya. Walaupun ini hanya permainan, tapi tetap saja menyakitkan jika terkena pelurunya.
Dor! Dor! Dor!
Tiga tembakan beruntun terdengar dan Ovel tahu tembakan itu di arahkan padanya. Satu tembakan tepat mengenai bahu kanan Ovel, tapi gadis itu tidak merasakan dua tembakan lainnya. Ovel tahu, pasti Revan saat ini tengah melindunginya karena gadis itu merasakan sentuhan pelan tangan besar. Gadis itu membuka mata dan menemukan Revan. Mulutnya yang seharusnya mengucapkan kata terimakasih karena sudah menghalangi dua tembakan lainnya malahan melontarkan kalimat lain hingga membuat Lilan dan Miko kaget saat melihat Revan jatuh lemas, ia terduduk begitu saja.
Seolah nyawa pemuda itu keluar dari raganya.
"Ini Revan kenapa, Vel?" Lilan berteriak, segera berlari menuju ke tempat Ovel berada tanpa mempedulikan kalau saat ini bidikan Dylan tepat mengenai perutnya.
"Aku juga tidak tahu, tiba-tiba saja jatuh seperti itu." Ovel juga tak kalah panik. Ia mengguncang-guncangkan tubuh Revan yang seolah membeku.
"Tadi kamu bilang apa?" Kali ini Miko yang bicara, duduk bersila menyender di pohon pinus. Ia sepertinya juga sudah kena bidik entah oleh siapa.
"Tidak ada. Aku hanya mengatakan kalau aku juga menyukainya." Gadis itu mengerjap dua kali diiringi kekehan kecil dari Revan yang sepertinya sudah sadar akan situasi.
"Ovel...ternyata juga menyukaiku."
-Everlyzd-
KAMU SEDANG MEMBACA
Unnoticed (COMPLETE)
Teen FictionFollow dulu sebelum baca yaa Lovelia Anastasia. Si wajah datar tanpa ekspresi tiba-tiba saja 'nembak' seorang cowok yang ditemuinya didepan sebuah cafe hanya karena saran dari kakaknya Dylan Dirgantara namanya. Bukan Dylan yang selama ini kalian ke...