Unnoticed - 12

405 81 27
                                    

Hiruk pikuk manusia yang menyebut diri mereka siswa SMA begitu memekakkan telinga Ovel. Gadis itu memasang headsetnya, tak membiarkan satupun suara masuk menyelinap ke gendang telinganya, memperbesar volume musik. Di tangan kanannya ada sebuah ember berukuran sedang yang masih kosong. Gadis itu membawanya dengan sedikit malas menuju ke tempat penampungan air yang memang berada di dekat gudang olahraga.

Sekarang hari Sabtu dengan terik panas matahari yang menyengat ubun-ubun. Sialnya lagi, di hari sepanas ini, SMA Ovel malah mengadakan gotong royong membersihkan sekolahan yang menurut Ovel lebih besar dari lapangan sepakbola. Ia sangat lelah. Setelah membersihkan cermin, menyusun bangku, menyapu kelas, dan mengosongkan tempat sampah kenapa harus ia juga yang disuruh untuk mengepel lantai perpustakaan hanya karena tadi ia berpapasan dengan ibu penjaga perpus.

Ovel sampai di tempat penampungan air. Bau hanyir lumut menusuk hidungnya pertanda kalau tempat penampungan ini pasti sangat jarang dibersihkan. Biar saja, toh nantinya ia juga akan mengepel lantai itu dengan pewangi. Gadis itu mulai mengisi ember. Sembari menunggu ia mengacak-acak playlist miliknya, mencari lagu yang pas dengan suasana hatinya saat ini.

"Sampai kapan aku harus menunggu? Aku juga butuh kepastian Dylan."

Ovel menajamkan pendengarannya. Seseorang baru saja menyebut nama Dylan, nama kekasihnya. Tak ada lagi orang yang bernama Dylan disekolah ini selain pemuda tinggi itu. Ovel mencari sumber suara. Gadis itu berjalan lebih dekat dengan gudang sekolah hingga akhirnya ia dapat melihat tempat pembakaran sampah yang apinya menyala.

"Iya, aku tahu. Tapi kamu sabar dulu ya. Gadis itu seperti lintah, sekali menempel sangat sulit dilepaskan."

"Ya kamu berusaha lebih keras lah. Putusin kek, atau apalah gitu. Kamunya gak tegas sih, makanya Ovel terus menempel sama kamu."

"Kenapa juga harus mutusin? Aku sama Ovel itu gak ada hubungan apapun. Aku tidak pernah suka sama dia."

"Tapi dia menganggap kamu itu pacarnya."

"Tapi aku tidak. Orang gila pun juga tidak mau jadi pacarnya. Mana ada orang yang mau jadi pacar gadis dingin itu."

Pupil Ovel tiba-tiba saja mengecil. Walaupun asap pembakaran sampah menghalangi pemandangannya namun ia masih bisa mengenali pemuda yang berdiri berhadapan dengan seorang gadis itu. Headset yang sedari tadi menyumbat telinga Ovel sudah ia lepaskan dengan playlist yang masih menyala. Dylan tiba-tiba saja menoleh ke belakang membuat Ovel refleks sembunyi, menempelkan punggungnya pada dinding gudang. Ia memegang tangannya sendiri, meremasnya keras agar rasa sakit yang datang entah darimana itu menghilang.

"Kenapa?" Vina menatap aneh Dylan yang tiba-tiba saja mengalihkan pandangannya.

"Ah tidak. Kupikir tadi di belakang ada orang."

"Jadi kapan kamu mau mutusin Ovel? Kita juga sudah membicarakan ini seminggu yang lalu. Aku gak mau kita berdebat hanya karena Ovel, Dylan."

"Nanti." Tegas Dylan membuat Vina agak tersentak. "Nanti aku pasti bakalan mutusin Ovel. Beri aku waktu seminggu ini, bagaimana?"

Vina nampak tidak percaya dengan perkataan Dylan. Ia menatap pemuda itu penuh selidik.

"Sampai sabtu depan. Tapi kalau kamu belum mutusin Ovel. Maaf, aku tidak sanggup menunggu lebih lama lagi."

"Oke. sabtu ini Ovel dan aku pasti akan putus."

Pandangan Ovel tiba-tiba saja mengabur. Pelupuk matanya sudah penuh dengan air mata, berat. Di depan sana Dylan mengelus pelan pucuk kepala Vina, membuat gadis itu terlihat malu-malu. Pemuda iu menggenggem tangan gadis pujaannya itu, menatap lembut wajah cantik vina. Suatu hal yang sangat diinginkan oleh Ovel. Ia juga ingin ditatap lembut seperti itu. Ia juga ingin Dylan menggenggam tangannya. Ia juga ingin Dylan mengusap pipi dan rambutnya. Ia menginginkan perlakuan yang diberikan Dylan pada Vina saat ini. Bahkan ia ingin pelukan itu.

Air mata Ovel jatuh, membasahi pipinya yang memerah karena sedari tadi menahan tangis. Nafasnya memburu, sesak sekarang. Seakan ada batu besar yang menghimpit dadanya, terasa remuk. Ini tidak sesakit saat ia tertabrak mobil lima tahun yang lalu, bahkan saat kucingnya mati pun Ovel tidak menangis seperti ini. Gadis itu menangis dalam diam, menyaksikan pemandangan menyakitkan yang tersaji dihadapannya.

"Jangan dilihat."

Oke. kini pandangan Ovel benar-benar telah mengelam. Sebuah tangan besar menutupi penglihatannya dan tangan besar lainnya kembali memasangkan headset yang tadi dilepasnya.

"Aku tahu itu pasti sakit. Tidak apa-apa kalau kamu ingin menangis. Tapi jangan disini."

Pemuda dengan tangan besar itu membawanya pergi menjauh dari belakang gudang menuju ke bawah pohon mangga tua yang berdiri kokoh di halaman sekolah. Mereka duduk di bangku yang terbuat dari semen, dan memang tersedia disana. Ovel masih menangis tanpa suara dengan tangan besar itu yang masih menutupi matanya.

"Terimakasih ya, Revan." Gadis itu berucap masih dengan mata yang tertutup. Revan yang mendengarnya sedikit terkejut. Pasalnya ia tidak menyangka kalau Ovel bisa mengenalinya. Ia segera menarik tangannya.

Ovel membuka mata. Cahaya terik matahari masuk ke retina matanya membuat Ovel sedikit menyipit. Disebelahnya Revan duduk, memandang sendu pada Ovel yang terdiam dengan air mata yang mengalir, matanya sudah agak sembab.

"Menangis saja disini, tidak akan ada yang melihatmu." Ovel menatap sekelilingnya. Memang benar tidak ada seorang pun disini mengingat saat ini semuanya tengah sibuk bersih-bersih. Ia juga lupa dengan ibu penjaga perpus yang menyuruhnya untu mengepel lantai perpustakaan. Ovel hendak beranjak kembali ke tempat penampungan air, mengambil ember yang tadi diisinya.

"Mau kemana? Aku sudah minta tolong siswa lain mengepel perpustakaan, embernya juga sudah dibawa kesana." Seakan tahu jalan pikiran Ovel, Revan memegang pergelangan tangannya membuat pergerakanya terhenti.

"Kalau begitu aku mau kembali ke kelas saja," ucap Ovel melepaskan tangannya dari Revan.

"Kamu baik-baik saja?" Ovel mengangguk. Ia berjalan begitu saja menyembunyikan tangis dibalik ekspresi datarnya. Revan dapat melihat bahu Ovel yang bergetar. Gadis itu kembali mengangis.

God, keep my head above water

Don't let me drown, it gets harderI'll meet you there at the altarAs I fall down to my kneesDon't let me drown, drown, drownDon't let me, don't let me, don't let me drown

Avril lavigne - Head Above Water

-Everlyzd-

Hai semua. maaf ya minggu kemarin nggak update soalnya ada kerjaan lain yang lumayan penting dan baru up sekarang.

btw semoga aja part ini gak mengecewakan yaa. maaf kalo masih banyak typo nya.

Unnoticed (COMPLETE)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang