"Vel, mau pulang sekarang?" Ovel menoleh. Di sampingnya sudah berdiri Dylan lengkap dengan tawa tak bersalahnya. Ovel tak tahu harus berbuat apa sekarang ini. Matanya masih cukup sembab, menangis sejak tadi di dalam kamar mandi. Gadis itu mengalihkan wajahnya.
"Ah. Tidak usah, Dylan. Aku mau pergi ke toko buku dulu."
Dylan agak terkejut mendengar ucapan Ovel. Biasanya gadis itu yang selalu merengek minta diantar pulang. Namun saat ini, Ovel bahkan sama sekali tidak menatapnya.
"Aku temani. Kita bisa sekalian nge-date." Dylan hendak memegang tangan Ovel, dengan cepat Ovel menghindarinya.
"Kamu sedang kesal ya? Kenapa kamu tidak mau menatapku." Alis Dylan bertaut, heran dengan tingkah aneh Ovel saat ini. Padahal tadi saat jam istiraha sebelum kegiatan gotong royong, Ovel masih bersikap seperti biasa.
"Kesal? Kenapa juga aku harus kesal. " Gadis itu mencoba kuat, menatap kedalam mata Dylan. "Minggu depan sudah mulai ujian kenaikan kelas dan kita mungkin tidak akan bisa pergi nge-date. Jadi, ayo sekarang saja."
"A-aku...-"
"Dylan. Aku pulang sama kamu ya, aku lagi gak mood naik angkot. Ayo!" perintah Vina, dan Dylan pun menganggukkan kepala.
***
Satu minggu ini adalah jadwal ujian kenaikan kelas, jadi Ovel tidak terlalu memusingkan masalah tim basket mengingat saat ujian jadwal tim basket diliburkan. Hari ini adalah hari terakhir ujian yang artinya hanya tersisa jadwal classmeeting selama seminggu sebelum libur akhir semester dimulai. Ovel sungguh tidak sabar. Ia ingin ujian hari ini berakhir dengan cepat hingga ia juga bisa langsung pulang ke rumah. sudah lima hari lamanya Ovel menghindari Dylan, berusaha untuk tidak bertemu ataupun bertatap muka dengan pemuda itu. Terkadang Ovel lebih memilih jalan memutar lewat tempat pembakaran sampah jika melihat Dylan tengah berdiri di gerbang sekolah terlihat menunggu seseorang. Ia tidak terlalu berharap lagi Dylan akan menunggunya seperti sebelumnya. Hanya saja, ia tidak ingin putus dari pemuda itu, Ovel terlalu menyukainya.
"Waktunya tinggal lima menit lagi. Silahkan di cek dulu nama ataupun nomor ujiannya. Bagi yang sudah selesai silahkan meninggalkan ruangan terlebih dahulu."
Ovel mempercepat pergerakan tangannya, masih ada lima buah soal lagi yang belum dijawabnya. Ah, terlalu banyak melamunkan Dylan membuatnya lupa dengan ujiannya saat ini. Ovel menghembuskan nafas kasar, cukup besar hingga pengawas ujian pun ikut menegurnya.
"Nomor berapa?"
Ovel menautkan alisnya bingung. Dari arah kanannya Revan berbisik. Sambil sesekali melihat pada pengawas ujian yang tengah memainkan ponselnya.
"Nomor berapa yang belum dijawab?"
"Kamu bertanya padaku?" Revan membuat ekspresi jengkel saat Ovel balik bertanya padanya.
"Tentu saja! Nomor berapa yang belum kamu jawab, aku akan memberikan jawabannya."
Ovel nampak berpikir sejenak. Kemudian ia menggelengkan kepalanya, menolak tawaran Revan.
"Aku tidak mau," ucapnya balik berbisik. Keduanya lantas diam saat suara deheman terdengar dari arah depan. Beruntung, saat Ovel mengisi soal terakhir, waktu ujiannya juga sudah habis. Terlihat raut wajah bahagia yang terpancar dari semua orang. Entah peduli atau tidak dengan hasil ujian ini.
"Vel, bisa kita berbicara sebentar?"
Ovel mendongakkan kepala. Manik matanya beradu pandang dengan iris Dylan. Cukup lama saling bertatapan hingga Ovel mengalihkan pandangannya. Ovel mengangguk. Ia memasukkan peralatan tulisnya ke dalam tas.
"Kita bicaranya di luar saja, bagaimana?"
"Kalau tidak terlalu penting disini saja. Sudah mau hujan juga."
"Tapi ini penting."
Ovel menggenggam erat tasnya. Dari raut wajah dan juga nada suaranya yang terdengar sangat serius, Sepertinya ia tahu alasan Dylan ingin berbicara padanya saat ini. Ovel beranjak dari duduknya tanpa mengucapkan sepatah katapun. Dylan mengekori dari belakang. Keduanya berjalan menuju kolam pohon mangga tua di halaman sekolah, tempat terakhir kali Ovel dibawa oleh Revan.
Setelah sampai disana, Dylan tak lantas langsung bicara. Antara enggan dan juga segan memulai topik yang ingin di utarakannya, Dylan memilih untuk membicarakan hal lain dulu dengan Ovel.
"Kamu sebenarnya mau mengatakan apa?" Ovel berucap, setelah cukup lama ia dan Dylan berdiri berhadapan di bawah pohon. Dylan menggaruk tengkuknya, terlihat jelas kalau ia sedang gugup sekarang, dengan raut wajah yang terlihat merasa bersalah. Pemuda itu berdehem, membersihkan tenggorokannya yang terasa benar-benar kaku. Bahkan saat ia menembak Vina ia tdak merasa segugup ini.
"Kita putus saja."
Ovel menelan air liurnya yang terasa sangat berat. Sebisa mungkin ia tidak merubah ekspresi datarnya.
"Aku sebenarnya tidak pernah suka padamu. Aku juga tidak membencimu, hanya saja aku menyukai orang lain, dan aku ingin menjalin hubungan dengannya. Aku juga tidak mau menyakitimu lebih dalam lagi, jadi..." Dylan membaca raut wajah Ovel yang tidak berubah sama sekali, pandangannya lurus menatap mata Dylan.
"Jadi kita putus saja."
Cukup lama jeda antara ucapan Dylan dengan Ovel hingga gadis itu membuka mulutnya.
"Baiklah."
Diiringi oleh suara petir yang menggelegar. Suasana sekolah mendadak menjadi menyeramkan ditambah lagi dengan awan hitam tebal yang menggantung yang siap menumpahkan hujan kapanpun.
"Sebenarnya aku cukup senang saat bersama denganmu. Apalagi saat pertandingan basket waktu itu...-"
"Kamu tidak perlu menghiburku dengan pura-pura menyukaiku seperti itu. Aku sudah dengar semuanya."
"Maksudmu? Aku tidak berpura-pura. Aku sungguh-sungguh mengatakannya."
"Aku sudah dengar dan lihat semuanya minggu lalu di dekat gudang sekolah. Aku juga sudah tahu kamu mau putus denganku hari ini. Jadi, jika tidak ada lagi yang ingin kamu katakan, aku mau pulang dulu."
Ovel berjalan beberapa langkah, kemudian ia berhenti sejenak.
"Terimakasih karena selama 6 bulan ini kamu sudah menjadi pacarku walaupun kamu terpaksa. Maaf karena waktu itu aku terlalu memaksamu, padahal kamu sudah bilang tidak."
Dan gadis itu meninggalkan Dylan sendiri, dibawah pohon mangga tua tempat terakhir kali ia menangis karena orang yang sama.
"maafkan aku, Ovel"
-Everlyzd-
KAMU SEDANG MEMBACA
Unnoticed (COMPLETE)
Teen FictionFollow dulu sebelum baca yaa Lovelia Anastasia. Si wajah datar tanpa ekspresi tiba-tiba saja 'nembak' seorang cowok yang ditemuinya didepan sebuah cafe hanya karena saran dari kakaknya Dylan Dirgantara namanya. Bukan Dylan yang selama ini kalian ke...