Ovel menggigit kuku jarinya. Bola matanya liar memperhatikan Dylan. Ada yang aneh dari pemuda itu. Selama pertandingan, Dylan sama sekali tidak fokus. Beberapa kali dia gagal menerima bola dari Miko, seolah kakinya itu terlalu berat untuk melangkah di dalam lapangan basket saat ini. Lengkingan tiupan peluit membuyarkan perhatian Ovel.
"Istirahat 10 menit." Gadis itu bergumam sendiri. Kembali perhatiannya mengarah pada Dylan yang terlihat tengah kesal. Kedua tim memberhentikan pertandingan kemudian segera menuju pinggir lapangan.
"Kamu lagi kamu lagi. Kenapa mainnya kamu tidak fokus, makanya tadi jatuh seperti itu. Alasan apa yang mau kamu berikan pada saya?"
Ovel masih berusaha bertindak sebagai manager yang baik. Ia mulai membagikan botol minuman pada satu persatu anggota tim, jangan lupakan handuk kecil yang diapit gadis itu diantara ketiaknya.
"Maaf pak, saya kurang fokus." Dylan berucap, ia menyeka keringatnya dengan handuk yang baru saja Ovel berikan. Nafasnya masih memburu, kakinya juga terasa perih. Ia memilih untuk duduk di lantai walaupun pak Rudi masih terus menuntut penjelasan darinya.
"Iya alasannya kenapa?"
Pemuda itu diam. Ia lagi-lagi tak menjawab ucapan pak Rudi dan malah memandangi kakinya yang memerah, entah kenapa rasanya seperti melepuh. Ovel segera membasahi handuk kecil miliknya kemudian meletakkannya diatas kaki Dylan yang memerah, mengompresnya. Pemuda itu juga tidak menolak perlakuan Ovel, malah ia juga sedikit bersyukur disaat seperti ini 'pacarnya' ini cukup berguna."Pak, mungkin posisi Dylan diganti dulu pak soalnya Dylan sedang cidera juga pak."
"Kamu siapa sok mengatur seperti itu?" Emosi pak Rudi beralih menatap Ovel.
"Saya M A N A G E R tim basket, Pak," ucap Ovel tak mau kalah dari pak Rudi dengan penekanan pada kata managernya.
"Lagi pula percuma juga Dylan main pak, dari pada nanti kalah, iya kan pak?"
"Siapa bilang aku mau diganti?" tiba-tiba saja Dylan memotong pembicaraan antara Ovel dan pak Rudi. Alis matanya bertaut, tak terima dengan saran yang baru saja disampaikan Ovel pada pak Rudi.
"Maksud kamu itu nanti aku hanya akan menjadi beban di tim saat bertanding, iya kan?" Ia menepis tangan Ovel kasar, gadis itu menatapnya bingung.
"Lah. Aku bukannya bermaksud seperti itu, Dylan. Lagi pula tadi aku lihat kamu kesakitan saat berlari, aku juga tidak tega melihat pacarku tersiksa seperti itu."
"Sudah sudah. Kenapa jadi kalian berdua yang bertengkar. Disini itu saya yang memutuskan, bukannya manager ataupun kamu."
"Pak. tapi sebagai kapten tim, saya boleh memberi pendapat juga pak."
"Apa?"
"Dylan jangan masuk ke lapangan dulu pak, kasihan kakinya bengkak seperti itu. Sepertinya bakalan semakin sakit kalau dipaksa." Dylan sama sekali tidak membantah perkataan Revan, bahkan pak Rudi pun akhirnya setuju untuk tidak memperbolehkan Dylan ikut dalam pertandingan. Dia dipaksa patuh, dan berakhir duduk di bangku cadangan bersebelahan dengan pemain cadangan lain. Rasanya Dylan masih tidak terima dengan saran yang tadi diucapkan Ovel pada pak Rudi. Ia bukanlah beban siapapun, bahkan dalam tim basket ini, ia bukanlah beban.
Ovel duduk di lantai tepat di samping Dylan. Walaupun matanya bergerak liar mengikuti jalannya pertandingan, tangannya masih mengompres kaki Dylan yang memerah. Sesekali ia kembali membasahi handuk itu dengan air kemudian mengompresnya lagi, berulang kali.
"Kakiku sudah tidak apa-apa." Dylan menarik kakinya agar Ovel tidak mengompresnya lagi. Namun gadis itu tiba-tiba saja menampar kaki Dylan membuatnya sukses mengaduh karena rasa nyerinya kembali.
"Oh, sakit lagi ternyata. Harus dikompres ini."
"Dasar aneh." Batin Dylan.
-Everlyzd-
Beruntung tim basket SMA HARAPAN BANGSA memenangkan pertandingan. Disaat menit-menit terakhir yang menegangkan Miko melakukan tembakan dari jarak yang cukup jauh dan berhasil masuk ke dalam ring.
Pak Rudi yang sedari tadi terlihat kesal sekarang malah tersenyum lebar sekali, seakan bibirnya itu sobek hingga ke telinga. Beliau merangkul Revan, mengelus pucuk Kepala pemuda itu, bangga akan prestasi tim basket kali ini."Tidak sia-sia bapak menaruh kepercayaan pada tim ini, akhirnya kalian berhasil mengharumkan nama sekolah kita," ucap pak Rudi masih terus merangkul Revan. Yang dirangkul malah terlihat risih karena harus memaksakan senyuman.
"Tambah teh es sama gorengannya disini ya bu."
"Baik pak."
Dan sepuluh menit kemudian tes es beserta gorengan yang tadi dipesan pak Rudi sudah tersedia di atas meja. Mereka semua ada di warung pecel lele sekarang. Pak Rudi yang sudah terlanjur senang dengan keberhasilan mereka mengalahkan SMA 1 NUSA BAKTI memutuskan untuk mentraktir kesepuluh anggota tim basket plus sang manager.
"Ini baru babak penyisihan. Kalian masih harus melawan dua SMA lagi." Pak Rudi mengeratkan jepitan lengannya di leher Revan.
"Kalau begitu. Ayo dimakan, mumpung masih panas." Kemudian melepaskan tangannya. Revan bernafas lega.
Mereka semua menghabiskan waktu cukup lama di warung pecel lele hingga tidak menyadari kalau warna langit sudah berganti menjadi hitam, tanpa ada kemerlap bintang. Angin malam berhembus cukup kencang tidak seperti biasanya. Ovel mendongak keatas, menatap langit malam yang terselimuti awan tebal.
"Sepertinya mau hujan," ucapnya. Ia berdiri di depan warung bersama anggota tim lainnya, menunggu pak Rudi selesai membayar di kasir.
"Iya. Sudah mendung, sebentar lagi pasti hujan. Oh iya, kamu pulang sama siapa, Vel?" Ovel menatap Revan yang menanggapi ucapannya padahal ia hanya berbicara sendiri. Dylan berdiri tepat di sebelah Revan, mengacuhkan pembicaraan kedua orang itu.
"Sama kak Leo. Tadi aku sudah chat kak Leo untuk jemput kesini."
"Tumben, kenapa tidak pulang dengan Dylan saja?" Ucapan Revan terkesan seperti menggodanya. Tumben apanya, selama Ovel berpacaran dengan Dylan, pemuda itu hanya beberapa kali mengantarkannya pulang. Bahkan kebanyakan Ovel yang memaksa.
"Dylan kan kakinya lagi sakit." Ia melirik Dylan. Keduanya saling bertukar pandang untuk beberapa detik, setelah itu Ovel menjawab lagi.
"Ditambah lagi suasana hatinya sedang buruk. Aku sedang tidak mau menyusahkannya." Revan tersenyum saat Ovel berbisik kepadanya. Pemuda itu mengangguk. Gadis yang selama ini ia kira cuek dan dingin itu ternyata cukup ramah dan bahkan bisa diajak bercanda. Namun tidak seperti kebanyakan gadis lain yang terlalu sering jaga image didepan lelaki, gadis itu sama sekali tidak melakukannya. Ia blak-blakan, terkadang ketus dan wajah datarnya itu semakin lama terlihat semakin menggemaskan.
"Kamu beruntung loh mempunyai pacar seperti Ovel." Revan menyikut Dylan. Dylan mendengus, matanya menatap Ovel yang kini sudah berlari kecil ke tempat Leo yang baru saja datang beberapa menit yang lalu, melambaikan tangan padanya.
Tak ada yang namanya keberuntungan sekarang, bahkan dalam hal perasaan. Hati Dylan masih untuk Vina, dan ia tidak akan mungkin berpindah pada Ovel disaat ia sudah hampir berhasil mendapatkan gadis pujaannya itu. Jadi, biarkan saja Ovel menikmati drama yang dimulainya ini sedikit lebih lama lagi.
"iya...sedikit lebih lama lagi."
-Everlyzd-
KAMU SEDANG MEMBACA
Unnoticed (COMPLETE)
Teen FictionFollow dulu sebelum baca yaa Lovelia Anastasia. Si wajah datar tanpa ekspresi tiba-tiba saja 'nembak' seorang cowok yang ditemuinya didepan sebuah cafe hanya karena saran dari kakaknya Dylan Dirgantara namanya. Bukan Dylan yang selama ini kalian ke...