Unnoticed - 25

337 52 47
                                    

Ovel menyusuri lorong kelas yang sepi dengan perasaan campur aduk. Kepalanya mendadak berdenyut saat bu Ani menyuruhnya untuk memanggil orang tuanya perihal kejadian di perkemahan. Tentu saja Ovel tidak menyanggupinya mengingat orang tua Ovel sangatlah sibuk. Ayahnya hampir setiap minggu melakukan perjalanan bisnis keluar kota, sedangkan ibu Ovel harus mengurus sebuah restoran keluarga yang dirintis beliau sejak sepuluh tahun yang lalu. Bahkan untuk bertemu dengan kedua orang tuanya pun Ovel harus membuat janji terlebih dahulu -walaupun janji tersebut sangat sering dibatalkan.

"Bawa saja anggota keluarga yang lain, kalau ayah dan ibu Ovel memang tidak bisa hadir."

Satu-satunya anggota keluarga lain yang terpikirkan oleh Ovel hanyalah Leo. Pemuda beringas yang sangat menyayanginya. Tidak mungkin Ovel meminta Leo untuk datang ke sekolah, kakaknya itu pasti akan mengamuk dan menghancurkan seisi ruangan. Ovel menggeleng, Leo bukanlah pilihan yang tepat untuk masalah ini.

"Tapi, surat ini..." Gadis itu kembali berpikir, mencari jalan keluar lain. "Ah, buang saja," ucapnya kemudian berjalan menuju salah satu tempat sampah, hendak membuang surat panggilan tersebut. Ovel tertegun saat menatap isi tempat sampah yang penuh dengan kertas dan foto-foto dirinya yang tadi pagi tertempel hampir di seluruh sudut sekolah. Gadis itu mengendikkan bahunya. Ia memang malu dengan semua itu, tapi toh ia tidak terlalu peduli dengan kertas-kertas itu.

Niatnya untuk membuang surat panggilan itu ia urungkan. Ovel menggenggam erat amplop tersebut kemudian berjalan menuju kelasnya. Sekarang sudah hampir jam sepuluh dan dipastikan sebentar lagi istirahat dimulai.

Ovel tiba di depan kelasnya. Saat ini pelajaran matematikan dan semua orang terlihat mengantuk. Gadis itu mengetuk pintu kelas tiga kali membuat seluruh isi kelas menatap kearahnya, begitu juga dengan guru matematikanya.

"Permisi bu, boleh saya masuk bu?" Guru tersebut meletakkan spidol yang tadi dipegangnya kemudian membenarkan letak kacamatanya.

"Yang izin ke ruang BK ya?" Dan Ovel mengangguk membenarkan. "Ya sudah, masuk!" Tegas beliau. Ovel segera berjalan masuk diiringi oleh bisikan-bisikan halus dari setiap bangku yang ia lewati. Tatapan Ovel kemudian beradu dengn Revan. Pemuda itu menggerakan bibirnya tanpa suara, memberikan semangat pada Ovel. Gadis itu tersenyum.

Hanya berselang beberapa menit setelah gadis itu duduk, bel istirahat pertama pun berbunyi. Semua orang berhamburan keluar kelas, namun tidak untuk Ovel. Ia terlalu malas keluar kelas bahkan untuk mengisi perutnya yang saat ini sedang keroncongan. Gadis itu kembali membenamkan kepalanya di lipatan siku, berharap hari ini segera berakhir. Ia ingin segera pulang kerumah dan menikmati secangkir cokelat panas buatan Leo.

"Kamu gak ke kantin?" Ovel menggeleng, tanpa melihat pun Ovel sudah tahu siapa pemilik suara lembut ini.

"Aku lagi gak berselera makan. Kamu duluan saja." Revan mengangguk, walaupun Ovel tidak bisa melihatnya. Sebelum benar-benar meninggalkan Ovel, pemuda itu mengusap pelan pucuk kepala Ovel -entah keberanian dari mana. Sadar akan tingkah konyolnya itu, Revan segera keluar dari kelas tanpa mengetahui kalau wajah Ovel juga sedang memerah.

Mereka berdua masih belum berpacaran karena Revan mengira Ovel masih dalam tahap melupakan Dylan -walaupun sebenarnya Ovel juga sudah menyatakan perasaannya. Sekarang Revan hanya harus menunggu waktu yang tepat untuk meresmikan hubungan mereka dan sekarang sepertinya bukan waktu yang tepat. Ia hanya harus menunggu agar luka di hati Ovel menutup sempurna.

-Everlyzd-

"Ovel." Seseorang memanggil. Ovel mendongakkan kepalanya, menatap gadis berambut panjang yang kini berdiri di hadapannya. Itu Vina. Gadis cantik itu terlihat takut-takut. Jemarinya bergerak risih. Bola matanya liar menatap setiap benda yang ada di kelas, menghindar dari tatapan iris Ovel.

Unnoticed (COMPLETE)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang