Dylan menatap langit-langit kamarnya yang dicat putih. Suasana hening menyelimuti pemuda itu sekarang. Ia di skors selama dua minggu akibat kekhilafan yang dilakukannya pada Ovel. Ia menyesal sekarang. Jika tindakannya seperti itu, ia tidak akan mendapatkan Ovel kembali sampai kapanpun. Gadis itu pasti tidak akan mau lagi berbicara dengannya. Ovel pasti jijik saat menatapnya apalagi kembali berpacaran dengannya.
Bunyi pintu kamar yang dibuka mau tidak mau membuat Dylan menoleh. Ayahnya berdiri di ambang pintu, lengkap dengan setelan jas kantor dan tas laptop yang masih tersampir di bahu kiri beliau. Dylan langsung bangkit, pemuda itu menundukkan kepalanya.
"Pa. Papa kok pulang cepat."
Pria paruh baya itu berjalan menghampiri Dylan dengan perasaan marah. Tangannya yang terkepal sudah berada di udara.
Plakk...
"Kapan aku mendidikmu menjadi anak yang kurang ajar seperti itu? melakukan hal memalukan kepada teman sekelasmu." Satu tamparan mendarat di pipi Dylan. Napas Gito -papa Dylan menggebu. Dadanya naik turun dengan cepat. Wajahnya memerah padam menahan amarah dan tangannya kembali terkepal.
Wajah Dylan memanas. Tamparan ayahnya barusan tidak bisa dikatakan pelan. Bahkan mungkin tetangganya bisa mendengar suara tamparan itu. pemuda itu terus menunduk, tidak berani menatap mata Gito yang mengkilat marah.
"Kamu tahu betapa malunya Papa saat tadi di telpon gurumu. Papa malu Dylan!"
"Maaf Pa." Hanya kata itu yang keluar dari mulut Dylan. Di sini memang dialah yang bersalah.
"Papa sudah pusing dengan kelakuan wanita itu. Sekarang kamu malah membuat masalah lain. Apa perceraian Papa dan wanita itu masih belum cukup!" Gito mengusap wajahnya kasar. Kepalanya berdenyut saat ini.
"Apa kamu senang melihat Papa seperti ini sedangkan wanita itu bersenang-senang dengan pacarnya." Dylan mulai merasa kesal. Jika Papanya memarahinya karena masalah yang dibuatnya saat camping, maka pemuda itu akan menerimanya. Tapi jika sudah menyangkut mengenai 'wanita itu' yang selalu disebut Gito, maka sudah sepatutnya Dylan marah sekarang.
"Mama, Pa."
"Apa?"
"Bagaimanapun wanita itu tetaplah mama Dylan, Pa." Dylan mulai menatap Gito tepat di manik matanya, seolah menantang pria paruh baya yang selalu ia panggil Papa.
"Mama? Apa dia masih menghubungimu sejak keluar dari rumah tiga bulan yang lalu? Papa pikir dia sudah tidak menganggap kamu sebagai anaknya lagi."
Dylan mengepalkan tangannya kuat. Orang tuanya bercerai sekitar tiga bulan yang lalu, bertepatan saat ia ada pertandingan basket dengan SMA Nusa Bakti. Siang hari sebelum pertandingan, Papa Dylan memergoki mamanya sedang jalan berdua di sebuah pusat perbelanjaan sambil bergandengan tangan. Dan malam harinya mereka berdua bertengkar hebat, saling memaki dan menyalahkan satu sama lain. Mengungkapkan semua perasaan mereka yang terpendam selama ini tanpa mempedulikan Dylan yang mendengarkan semuanya dari lantai dua rumahnya. Padahal besoknya pemuda itu harus bertanding melawan SMA Nusa Bakti.
"Mungkin karna sikap arogan Papa yang selalu membanggakan garis keturunan brengsek Papa itu membuat mama jengah hingga berani berselingkuh. Jika aku jadi mama mungkin aku akan melakukan hal yang sama."
"Anak kurang ajar. Dari mana kamu belajar sikap tidak sopan seperti itu." Satu tamparan kembali mendarat di pipi Dylan. Bukannya meringis -mengingat tamparan kedua lebih keras dari yang pertama, pemuda itu malah tertawa. Tepi bibirnya terluka. Ia membuang ludahnya yang bercampur darah sembarang lalu kembali menatap Gito -beringas.
"Dari Papa. Aku bersikap seperti sekarang ini karena kalian berdua. Kalian berdua lah yang membuatku berubah menjadi orang brengsek. Papa tahu, aku masih butuh kasih sayang dan perhatian dari kedua orang tua saat ini. Tapi sepertinya hal itu sudah mustahil untukku sekarang."
Dylan kemudian menyambar jaketnya, berlalu dari hadapan Gito. Pemuda itu membanting pintu rumahnya keras. Sekarang masih pukul sebelas siang dan Dylan tidak tahu harus pergi kemana. Hari ini adalah hari pertamanya di skorsing, oleh karena itulah dia pulang sangat cepat. Entah kenapa laju motornya tiba-tiba saja kembali mengarah ke sekolah. Ia menatap pintu gerbang yang tinggi itu dengan tatapan sayu. Dylan tersenyum kecut. Seharusnya dulu ia memberitahukan masalahnya pada seseorang. Dulu seharusnya ia lebih terbuka pada Ovel, menceritakan setiap beban yang ia tahan. Bukan malah melampiaskannya pada Ovel dengan mencoba bertindak seperti Papanya.
"Ovel, aku rindu." Satu tetes air mata jatuh begitu saja di pipi Dylan. Hanya setetes. Setelah cukup lama berdiri di depan gerbang sekolah, pemuda itu kembali melajukan motornya. Ia tidak tahu harus kemana sekarang. Setelah perceraian kedua orang tuanya, Rumah yang selama ini ia cintai terasa begitu hampa sekarang. Tak ada lagi Mama yang akan membangunkannya setiap pagi. Ia harus membuat sarapannya sendiri. Ia harus memikirkan makan malamnya sendiri mengingat Papanya juga cukup sibuk untuk ukuran seorang pekerja kantoran. Sekarang sudah tidak ada lagi tempat untuk pulang bagi Dylan.
Pemuda itu memarkirkan motornya di taman tak jauh dari SMA Nusa Bakti. Ia memilih duduk di atas sebuah perosotan. Kemudian mengeluarkan ponselnya dan mulai mengetikkan sesuatu.
To. Lovelia Anastasia
Ovel, maafkan aku. Aku sayang kamu. Bisakah kita bertemu malam ini?
Dan pesan pun berhasil dikirimkan pada Ovel.
-Everlyzd-
KAMU SEDANG MEMBACA
Unnoticed (COMPLETE)
Teen FictionFollow dulu sebelum baca yaa Lovelia Anastasia. Si wajah datar tanpa ekspresi tiba-tiba saja 'nembak' seorang cowok yang ditemuinya didepan sebuah cafe hanya karena saran dari kakaknya Dylan Dirgantara namanya. Bukan Dylan yang selama ini kalian ke...