Malam harinya Dylan sudah menunggu di tempat yang mereka janjikan. Sebuah cafe yang berada tepat di persimpangan jalan tempat pertama kali Ovel menyatakan cintanya pada pemuda itu. Dylan yang mengusulkan tempat ini, berharap Ovel dapat mengingat kenangan manis antara mereka walaupun hanya sedikit. Dylan sadar, ia terlalu sering menyakiti Ovel.
Pemuda itu duduk di meja luar cafe dengan secangkir americano. Entah kenapa akhir-akhir ini Dylan lebih sering menikmati kopi daripada jus mangga kesukaannya. Dua puluh menit penantian Dylan berakhir sudah. Ovel menampakkan batang hidungnya, turun dari mobil yang berhenti tepat di depan cafe. Gadis itu masih memasang wajah dinginnya saat Dylan tersenyum menyapa. Ia tahu, Ovel terluka dan semua itu adalah salahnya.
Gaun terusan biru muda tanpa motif itu melekat cantik di badan Ovel. Rambut panjangnya yang biasanya dikuncir kuda itu kini tergerai sempurna. Sepasang sneaker putih pun menjadi pelengkap tampilan Ovel. Dylan segera berdiri dari duduknya, berniat menyambut Ovel dengan sedikit basa basi. Namun perawakan tinggi besar yang berjalan penuh amarah di belakang gadis itu membuat Dylan beringsut mundur.
"Brengsek satu ini tidak bisa dimaafkan begitu saja."
Dylan tersungkur begitu sebuah tinju mendarat di pipinya. Ia tidak akan melawan sama sekali saat tinju Leo kembali menghantamnya.
"Kamu pikir aku akan tinggal diam saat kamu secara terang-terangan menyakiti adikku seperti itu." Leo masih terus mendaratkan pukulannya pada wajah Dylan walaupun pemuda itu sudah berlumuran darah sekarang. Ia kembali melayangkan pukulannya, tanpa ampun. Ovel berusaha melerai. Ia memang terluka saat Dylan menyakitinya, ia memang membenci pemuda itu sekarang. Tapi melihatnya terkapar di tanah tanpa perlawana seperti ini membuat hati Ovel ngilu. Terlalu kejam jika ia tidak segera menghentikan Leo. Pemuda beringas itu sudah kalap, melampiaskan amarahnya membabi buta.
"Mau bicara apa lagi. Mau mengatakan omong kosong apalagi sekarang."
"Maaf." Hanya kata-kata itu yang sanggup keluar dari mulut Dylan. Tanpa mempedulikan kerumunan yang menatap mereka, Leo kembali menghantam tubuh Dylan.
"Kak Leo! Aku bilang cukup!" Teriak Ovel melengking. Tubuh gadis itu reflek memeluk Dylan, melindungi pemuda itu dari Leo.
"Cukup kak. Biar aku yang menyelesaikannya. Kakak tidak perlu seperti ini," ucap Ovel lembut. Ia masih memeluk tubuh Dylan yang tergeletak di tanah. Pemuda itu tersenyum, dengan mata yang sayu dan tenaga yang terkuras habis ia membelai pipi Ovel.
"Ini bukan lagi urusan kamu, Vel. Ini sudah menjadi urusan kakak sejak guru BK sekolahmu menelpon kakak tadi siang. Ini sudah bukan lagi masalah yang bisa diselesaikan oleh anak SMA," ucap Leo mengacak berkacak pinggang.
"Si brengsek ini perlu diberi pelajaran agar tidak bersikap semena-mena pada wanita," lanjut Leo menarik kerah baju Dylan, hendak menyelesaikan pekerjaannya. Namun cengkraman tangan Ovel membuat pergerakan Leo terhenti. Tatapan tajam gadis dingin itu saat ini sangat serius, seolah menyuruh Leo untuk segera menjauh. Leo segera menarik tangannya dari Dylan.
"Aku mohon kak. Sekali ini lagi. Jika aku masih belum bisa menyelesaikannya, kakak boleh melakukan apapun." Dan Leo mengangguk, memberikan kesempatan pada Dylan berbicara pada adiknya kali ini. Dengan sisa tenaga yang ada, Dylan berusaha berdiri. Ia meludah sembaran. Kakinya gemetar sedari tadi. Pemuda itu mengajak Ovel ke sebuah taman kecil yang berada tak jauh dari cafe tempat mereka sekarang, sementara Leo tetap berada di sana.
-Everlyzd-
KAMU SEDANG MEMBACA
Unnoticed (COMPLETE)
Teen FictionFollow dulu sebelum baca yaa Lovelia Anastasia. Si wajah datar tanpa ekspresi tiba-tiba saja 'nembak' seorang cowok yang ditemuinya didepan sebuah cafe hanya karena saran dari kakaknya Dylan Dirgantara namanya. Bukan Dylan yang selama ini kalian ke...