Jangan lupa vote dan comment nya ya gaes :)
Ovel tengah berjalan memasuki pekarangan sekolah. Di punggungnya ada ransel yang cukup besar yang sepertinya penuh sesak. Sebuah tas kecil berisikan bekal menggantung di tangan kanannya. Sekolah yang seharusnya kosong saat liburan terlihat ramai sekarang. Di tengah lapangan basket sudah bertumpuk bahan makanan, kompor, tas-tas yang Ovel yakini berisi tenda dan juga beberapa ban bekas. Di sekitar lapangan semua anggota tim basket dan cheerleader duduk menunggu instruksi selanjutnya yang akan diberikan pak Rudi yang bahkan batang hidung beliau pun masih belum terlihat. Ovel memilih duduk di bawah ring basket, agak berjauhan dengan semua orang. Ia memeluk ransel dan tas bekalnya erat, membenamkan kepalanya di sana.
"Hei. Kamu sudah datang ternyata." Seseorang menepuk pelan pundak Ovel. Gadis itu mengintip dari balik lengannya. Revan -yang tadi menepuk pundaknya pelan- duduk di samping Ovel -berselonjor. Jika boleh dikatakan, sebagai kapten tim basket, Revan itu cukup terkenal. Ditambah lagi wajahnya yang di atas rata-rata dengan hidung mancung dan bibir tebal kemerahan. Rambutnya ikal dengan tubuh yang jangkung. Dari segi style, Dylan mah kalah jauh. Walaupun sama-sama tinggi dan anggota tim basket, tapi jika kau membandingkan antara Revan dan juga Dylan, maka Dylan kalah telak.
"Kenapa menatapku seperti itu, manager? Ada yang aneh ya?"
Ovel segera mengalihkan pandangannya ke depan. Revan memang menang banyak, tapi Ovel tidak bisa membohongi dirinya kalau Dylan lah yang sudah berhasil mencuri hatinya terlebih dahulu.
Sebuah Truk berukuran sedang memasuki pekarangan sekolah, diikuti oleh sebuah bus besar berkapasitas sekitar 30 orang. Pak Rudi sudah duduk di dalam bus. Beliau kemudian turun dan menginstruksikan pada semua orang untuk segera naik ke dalam bus, mencari pasangan duduk masing-masing. Ovel juga masuk ke dalam bus sedikit kewalahan dengan ransel besar yang dibawanya. Hampir seluruh kursi sudah terisi penuh. Yang tersisa hanyalah kursi bagian belakang tempat siswa lelaki berkumpul dan juga bangku di bagian tengah.
Ovel enggan untuk duduk di belakang jadi ia lebih memilih duduk di bagian tengah, mengesampingkan fakta kalau Dylan dan Vina duduk di kursi seberang belakangnya berjarak satu bangku. Gadis itu meletakkan ranselnya di kursi samping dan memilih duduk di dekat jendela. Selama hidupnya, ia belum pernah pergi 'jalan-jalan' seperti ini. Biasanya saat sekolah Ovel mengadakan karyawisata, gadis itu lebih memilih tidak ikut karena Ovel tahu, ia tidak akan punya teman di sana, sama seperti saat ini.
Semua orang sudah duduk dengan pasangan masing-masing begitu pula dirinya yang duduk di temani oleh ransel biru tua milik Leo. Ovel memandang keluar jendela, menatap Revan dan juga pak Rudi yang tengah berbicara. Sedetik kemudian ia mengalihkan pandang karena Revan menatap ke arahnya. Pemuda itu tersenyum, kemudian segera naik bus karena mereka akan segera berangkat.
"Vel, aku boleh duduk di sini?"
Revan langsung saja mengambil tas Ovel dan meletakkannya di bawah kursi -kemudian duduk. Ovel menggeser tubuhnya merapat ke jendela, menjaga jarak dengan Revan. Tapi percuma saja, toh sekarang bahu mereka saling bersenggolan satu sama lain. Jarak tempuh antara sekolah Ovel dengan Ranca Upas memakan waktu yang cukup lama. Satu jam tiga puluh menit harus dilaluinya dengan bahu yang saling bersenggolan dengan Revan. Ovel melirik ke belakang, tempat di mana Dylan duduk. Pemuda itu tengah menyenderkan kepalanya pada bahu Vina.
"Tidak ada gunanya mengenang masa lalu. Lupakan saja dia. Masih banyak yang mau jadi pacar kamu, Vel." Revan benar. Tidak ada gunanya mengingat masa lalu.
Bus mulai bergerak tepat ketika jam tangan Ovel menunjukkan pukul sembilan. Semua orang yang duduk di kursi belakang mulai bersorak, membuat keributan. Mereka mulai bernyanyi layaknya sedang pergi karyawisata. Padahal mereka hanya menuju tempat camping saat ini. Miko memetik gitar dan seseorang dari anggota cheerleader yang Ovel tak ketahui namanya mulai bernyanyi. Suaranya cukup enak di dengar hingga membuat mata Ovel berat, kemudian menutup sempurna.
Ovel terbangun sesaat setelah sampai di tempat perkemahan. Ia tertidur cukup lama dengan kepala yang berdenyut-denyut. Sialnya lagi ia tidur di bahu Revan. Seluruh tubuhnya berderit. Gadis itu hendak mengambil ranselnya, saat ia melihat di bawah kursi, tak ada apapun di sana. Ia ingat dengan jelas kalau ransel itu ditaruh Revan di sana. Ia segera mengejar Revan yang sudah terlebih dahulu turun dari bus setelah tadi membangunkannya. Namun apa yang di lihat Ovel membuatnya cukup takjub. Revan membawa ranselnya.
"Revan." Ovel sedikit berteriak memanggil Revan karena jarak mereka yang cukup jauh. Pemuda itu menoleh dan tersenyum tapi tidak melambatkan langkahnya.
"Tunggu aku." Revan mempercepat langkahnya, berusaha agar Ovel tidak bisa mengejarnya. Tapi Ovel berhasil. Ia memegangi kemeja Revan agar pemuda itu tidak semakin melarikan diri, meminta ranselnya di kembalikan. Revan pun mengalah dan mengembalikannya. Lagi pula jarak tempat mereka akan berkemah hanya tinggal beberapa langkah lagi.
"Kamu lebih cantik kalau tertawa seperti itu." Ovel mengatupkan bibirnya rapat. Rasanya agak aneh jika mendengar pujian seperti itu. Ia memeluk ranselnya dan segera pergi dari hadapan Revan. Pemuda itu terkekeh.
Truk yang membawa barang-barang keperluan camping sudah membongkar muatannya. Jadi langkah selanjutnya yang perlu dilakukan adalah membangun tenda dan mencari kayu bakar untuk api unggun. Hanya ada 6 tenda yang perlu di bangun. Tiga tenda untu siswa laki-laki dan tiga lainnya untuk para anggota cheerleaders dengan Ovel yang ikut 'menumpang' di sana.
"Pak Rudi. Vina tidak mau bekerja pak. Sejak tadi dia hanya memerintah saja." Teriak Ovel cukup keras hingga membuat semua orang mendengarnya. Vina mendelik, begitu juga Dylan yang matanya langsung nyalang saat nama sang kekasih di sebut. Pak Rudi bangkit, berjalan menuju tempat di mana tenda siswi berada. Ovel berdiri dengan tatapan mata menusuk, seolah seluruh sakit hati yang ia pendam terpancar dari sana.
"Siapa? Aku? Kapan aku tidak bekerja?" Protes Vina berkacak pinggang. Suaranya lebih keras dari Ovel, menunjuk-nunjuk gadis itu.
"Dari tadi kamu cuman jalan-jalan saja dari sana ke sana," ucap Ovel menunjuk tempat yang di maksud dengan memonyongkan bibirnya.
"Terus kamu seenak jidat saja menyuruh ini itu. Kami ini bukan pesuruh pribadi kamu. Jika ingin tidur di dalam tenda nanti malam kamu juga harus ikut bantu." Berterimakasihlah pada ekspresi datar Ovel yang membuatnya tetap terlihat cool saat berbicara. Tak ada rasa takut yang di rasakannya. Malahan kini ia berjalan tepat ke hadapan Vina, menatap tajam sepasang bola mata yang menurut Ovel terlihat sangat biasa saja. Sebuah senyuman sinis baru saja melompat keluar dari bibir Vina.
"Kenapa juga aku harus bekerja. Aku ini ketua tim cheerleader, tinggal menyuruh anggota saja apa susahnya."
"Dan aku manager tim basket. Aku yang mengurus semuanya. Jika kamu tidak mau tidur di luar, Ayo bekerja."
-Everlyzd-
KAMU SEDANG MEMBACA
Unnoticed (COMPLETE)
أدب المراهقينFollow dulu sebelum baca yaa Lovelia Anastasia. Si wajah datar tanpa ekspresi tiba-tiba saja 'nembak' seorang cowok yang ditemuinya didepan sebuah cafe hanya karena saran dari kakaknya Dylan Dirgantara namanya. Bukan Dylan yang selama ini kalian ke...