Cinta Diuji 2

28 1 6
                                    

Reno tersenyum melihat wajah cantik Shyla tampak bercahaya bahkan saat Ia sedang terlelap.
Setelah beberapa saat Shyla tertidur dalam rangkulannya, akhirnya Reno pun berusaha menggendong Shyla menuju kamarnya di lantai dua.

Tubuh Shyla dibaringkannya dengan sangat hati-hati, mengingat ada cidera serius pada punggung wanita ini. Reno tampak marah, tak rela jika Shyla harus terluka. Pekerjaan-nya sebagai dokter untuk menyelamatkan atau sembuhkan banyak orang, tapi justeru kadang menempatkan Shyla dalam bahaya.

"Menjadi dokter ternyata juga begitu membahayakan."

Rahang Reno mengeras, terlebih saat Shyla meringis kesakitan dalam tidurnya.

Dering ponsel Shyla memecah kesunyian di kamar itu. Reno pun mengambil ponsel di dalam tas Shyla, melihat siapa yang menelepon tapi keningnya mengerut.

Privat number??

Reno menekan tanda hijau pada layar ponsel, menerima panggilan tersebut lalu mendekatkan ke telinganya.

"Hallo Shyla..."

Reno terhenyak mendengar suara lembut pria dari seberang sana, membuatnya tak suka.

Reno lebih memilih diam, agar tahu apa yang akan dibicarakan oleh pria asing ini.

"La, Kamu kok diam. Aku hanya ingin bertemu, ada yang harus dibicarakan."

La??

Panggilan itu kan hanya orang-orang terdekat Shyla yang tahu. Siapa orang ini??

Matanya melirik pada Shyla yang masih terlelap.

"Aku minta maaf La, Aku hanya ingin kita bicara. Lupakan masa lalu, itu sudah tujuh tahun Shyla. Sampai kapan kita akan terus seperti ini??"

Reno sontak berdiri, dadanya terasa panas menahan amarah. Ia mulai sadar jika ada hal yang belum dikatakan oleh Shyla padanya.

Siapa pria tak tahu malu ini?

Tujuh tahun? masa lalu? Apakah dia mantan kekasih Shyla? Tapi mengapa Shyla tak pernah cerita?

Banyak pertanyaan berputar di otaknya, seakan semua itu adalah teka-teki yang harus Ia pecahkan.

"Hallo Shyla, Kamu baik-baik saja? Apa punggungmu masih terasa sakit?"

Pertanyaan pria itu membuat Reno sangat terkejut. Dengan gusar Ia pun duduk di tepi ranjang, berusaha berpikir sejernih mungkin. Tapi tetap saja hal itu benar-benar menghentak kesabarannya hingga emosi pun membuncah.

Selain dirinya, siapa lagi laki-laki yang mengetahui kekasihnya terluka. Bahkan tahu dengan pasti di bagian mana Shyla terluka. Apa mungkin ini rekan dokternya? Tapi kok cara bicaranya lebih seperti sepasang kekasih.

Berkali-kali Reno menatap Shyla yang masih terbuai mimpi. Sangat ingin membangunkan wanita itu, tapi Ia tak tega. Shyla terlihat lelah dan benar-benar butuh istirahat.

Tak ingin lebih lama mendengar percakapan sepihak dari pria tak dikenal itu, Reno pun memutuskan sambungan telepon-nya.

Di tatap layar ponsel itu seolah bercermin dari luka masa lalu, tapi sekarang cara-nya yang berbeda.

Jika dulu dirinya-lah yang mengecewakan Ranum hingga wanita itu pergi untuk selamanya, tapi sekarang justeru posisi itu dirasakan oleh hati-nya sendiri.

"Apa ini karma? Apakah Tuhan menghukum-ku melalui Shyla? Ah, tidak. Shyla tak mungkin lakukan itu."

Reno menggeleng cepat sambil mengusap wajahnya kasar. Ia frustasi memikirkan jika ternyata dugaannya benar.

Pasti ada alasan di balik semua ini,

Memilih untuk berpikir positif, Reno pun akhirnya berusaha menepis apa yang baru saja di dengarnya.

Saat Ia akan meletakan ponsel tersebut, sebuah notifikasi masuk menampilkan nomor yang tak dikenal. Reno membuka pesan tersebut.

Kamu boleh abaikan aku sekarang, La. Tapi aku tidak akan menyerah.
Aku akan berusaha dapatkan kembali kepercayaan itu bahkan aku rela turuti semua permintaanmu.
Apapun itu.
Jaga kesehatanmu, terutama luka di punggung kananmu. Itu perlu perawatan serius.

❤❤❤

Bedebah. Siapa orang ini? Apa yang sebenarnya terjadi di belakangku??

Tangannya mengepal, wajahnya pun merah padam karena amarah. Reno mulai berpikir apakah dirinya sudah dibohongi? Atau Shyla berpura-pura mencintai-nya.
Hal yang tak dapat diterima oleh logikanya adalah perhatian pria itu mengenai luka di punggung Shyla.

Bagaimana bisa pria itu bisa dengan pasti mengetahui punggung kanan Shyla yang sedang terluka. Kecuali jika...

Aaahh... Breng*ek!!

Lagi-lagi Reno mengacak rambutnya frustasi. Hati dan logika-nya sungguh bertentangan. Hatinya ingin tetap santai dan berpikir positif tapi logikanya justeru berontak. Membuatnya semakin bingung dan yang pasti nyaris gila.

Reno bangun lalu beranjak pergi biarkan Shyla tetap lelap sampai Ia benar-benar merasa baikan. Sejujurnya itu adalah bentuk kecewa, sehingga Ia lebih memilih untuk menghindar dari pada terjadi pertengkaran. Kejadian tadi tak dapat diterima logika-nya.

Ketika Reno telah berdiri di depan pintu kamar, langkahnya terhenti. Rasanya Ia terlalu egois. Menilai sepihak tanpa tahu kebenaran itu. Ia kembali masuk dan terpaku di ambang pintu, menatap Shyla dari jauh.
"Shyla, apakah kenanganmu itu menyakitkanKu? Jika benar, maka aku tak punya pilihan lain selain hadapi kesakitan itu. Kau terlalu berharga, bahkan lebih."

Kakinya yang semula kaku, perlahan mendekati Shyla. Ia memilih untuk duduk di tepi ranjang, samping Shyla dan menatap wajah wanita itu. Hanya menatap.

Hatinya berdebar kencang, berada antara dua rasa. Rasa cinta dan rasa takut. Cinta memang hakikat, tapi rasa takut mampu membunuh ketangguhan-nya.

Shyla mengerjab merasakan ada sesuatu yang jatuh di wajah-nya. Hangat...

Perlahan Ia membuka mata, melihat Reno sedang menatap dirinya. Tapi lelaki ini menangis. Jadi sesuatu yang hangat tadi adalah air matanya? Mengapa??

Tangan Shyla terangkat, membelai garis mata Reno dan menghapus air matanya.

"Ada apa?" Reno tersenyum, suara Shyla benar-benar indah. Tentu hanya untuk-nya.
Reno menggeleng pelan tapi Shyla tahu, itu bukan jawaban yang sebenarnya.
"Jangan berbohong Ren. Kau tak pernah tunjukan kelemahanmu. Sekarang katakan, apa yang terjadi??"

Duka DesemberTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang