Shyla bangkit lalu duduk bersandarkan bantal. Wajah Reno tampak kusut, menyimpan banyak tanya namun bibirnya malah kaku.
"Ayolah Ren... Apa yang terjadi? atau kamu ditegur sama Ayah karena tidak mengikuti rapat tadi??"
Reno masih terdiam, membuat Shyla khawatir. Tangan Shyla menyentuh pipi kanan Reno, isyaratkan rasa cinta yang besar hanya untuk-nya.
"Kalau memang kamu belum siap, aku juga tak akan memaksa. Tapi aku mohon jangan diam seperti ini."
Wajah Reno yang semula menunduk, perlahan terangkat menatap lekat mata Shyla. Sinar indah yang akan selalu menjadi nyawa-nya. Tapi kini, ada rahasia masih terpahat di kedalaman batin Shyla. Ingin rasanya bertanya, namun entah mengapa lidahnya terasa beku.
Kini Reno yang membelai wajah Shyla lembut. Tepiskan kekecewaan yang sebelumnya menggrogoti kemerdekaan hatinya.
"Bagaimana keadaanMu, sayang?? Apakah Juna tahu hal ini??"
Shyla menggeleng.
"Juna tidak boleh tahu. Dia bisa marah besar. Ini sudah lewat dari dua hari, dan aku belum katakan apapun, Dia pasti kecewa."
"Lalu bagaimana dengan aku? Kau juga tidak katakan apapun tentang kondisimu. Padahal kemarin kau di sini bersamaku, Shyla. Kau mulai merahasiakan banyak hal dariku."
"Tidak Ren. Maafkan aku. Dan aku juga tidak merahasiakan hal apapun. Yang kita jalani selama ini adalah kejujuran bukan dusta."
Reno melepaskan tangannya dari wajah Shyla, dan duduk menyamping. Kata-kata Shyla tentang kejujuran begitu jelas terucap, tapi Ia ragu.
Kejujuran? Bagaimana dengan pria tadi? Bahkan aku tak pernah tahu, semua hal tentang masa lalu Shyla.
"Ren..."
"Pulanglah Shyla. Aku akan menelepon taksi online. Maaf, aku harus secepatnya kembali ke kantor".
Bibir Shyla menegang, punggungnya tiba-tiba sangat perih, mendapati sikap acuh dari Reno.
"Ren.. Kenapa tiba-tiba sikapmu berubah seperti ini? Kau mengusirku??"
"Maaf La. Ah tidak. Maksudku Shyla. Bisakah kau pergi sekarang? Aku benar-benar harus kembali ke kantor."
Hati Shyla seperti disayat sembilu. Perih yang tak bisa dijelaskan. Rasanya lebih sakit dari ribuan jarum menusuk kulitnya.
Selain itu ada rasa malu menggelayut, karena Dirinya diusir saat berada di ranjang Reno. Walau hanya sekadar tidur, tapi harga dirinya sungguh dihentak tanpa ampun."Aku benar-benar diusir?? Dari sini?? Dari kamarmu juga?? Ren..."
"AKU BILANG PERGI SHYLA."
Suara Reno menggelegar penuhi seisi kamar-nya. Shyla tersentak hingga tak sadar tubuhnya terdorong ke belakang, membuat punggungnya terpukul pada sisi sandaran tempat tidur. Ia meringis kesakitan, matanya berkaca ingin menangis. Namun Reno hanya diam, tak hiraukan wanita di sampingnya.
Shyla-pun perlahan-lahan turun dari tempat tidur itu, sambil menahan perih di punggung dan hatinya. Reno tak bergeming, hanya melirik sesaat ketika Shyla meraih tas dan ponselnya.
Shyla berjalan gontai, karena memang kondisinya masih tak baik. Ia terpaksa harus pulang sendiri. Saat Reno hendak menelpon taksi online, Shyla menahannya.
"Tidak usah repot-repot menelpon jasa taksi online. Aku tidak butuh. Mulai sekarang aku tak akan pernah injakan kaki di kamarmu, karena aku sudah dipermalukan di sini. Kau mengusirku seakan aku telah melakukan kesalahan besar. Jika kau marah dengan hal yang mungkin saja tidak aku ketahui, seharusnya bicara baik-baik. Bukan dengan cara kasar. Aku pergi."
Shyla berbalik keluar dari kamar Reno, dan tangisnya pecah. Ia tak mampu lagi menahan air matanya.
Aku pikir, Aku tak lagi merasa sakit hati seperti tujuh tahun lalu. Ternyata hari ini rasanya lebih sakit. Tujuh tahun lamanya aku berusaha lupakan laki-laki biadab itu, Aku bahkan mengubur semua hal indah tanpa tersisa sedikit pun. Tapi entah kenapa, sakit ini begitu parah. Aku benar-benar mencintainya Tuhan.
Batin Shyla disepanjang langkahnya menuruni tangga dari kamar Reno. Sedangkan pria itu hanya melihat dari atas, melihat Shyla berjalan pelan sambil sesekali meringis kesakitan dan menangis.
Hatinya sangat ingin berlari dan memeluk wanitanya itu tapi pikirannya masih tak dapat berkompromi. Shyla telah berbohong.
Tak ada kebohongan yang bisa dimengerti jika ditutupi dalam waktu yang cukup lama. Itu adalah dusta.Maafkan aku Shyla. Aku hanya kecewa.
Siang itu matahari terlihat redup. Kendaraan juga sepi dan entah mengapa, Shyla tak ingin gunakan kendaraan. Ia akhirnya putuskan untuk berjalan kaki.
Sepanjang jalan yang Ia lewati, pikirannya hanya tertuju pada sikap ketus Reno yang tiba-tiba saja merenggut kebersamaan itu.Kenapa?
Ada apa?Apa yang sebenarnya terjadi?
Mengapa dia semarah itu?
Bahkan dia tak menyebutku dengan "La", tapi "Shyla". Kenapa??Begitu banyak tanya muncul dibenaknya tapi kepada siapa dia akan bertanya?? Sedangkan Reno telah mengusirnya.
"Apakah dia juga mengusirku dari hatinya?? Ah. Ya Tuhan, aku tak sanggup, jika harus tersakiti lagi. Jangan Tuhan. Jangan!!"
Shyla berbicara pada dirinya sendiri, mengais sedikit saja kesempatan yang bisa Ia dapatkan agar semuanya jelas.
Kesadarannya tersentak ketika klakson mobil seseorang berbunyi di belakangnya. Shyla berhenti, melirik kesal. Tapi...
"Hai La. Kamu kok jalan kaki??" Seorang pria bertubuh tinggi dan cukup tampan, ke luar dari mobilnya.
Shyla menghela nafas malas dan abaikan pria itu. Ia hendak berjalan tapi tangannya dicekal.
"Jangan menyentuhku pria tak tahu malu."
"Tapi La..."
"Cukup Riv. Jangan pernah lagi menemuiku. Urus saja kehidupanmu, jangan ikut campur urusanku".
Shyla menepis tangan Rival kasar, membuat pria itu berdecak tak suka.
"Baiklah. Tapi kenapa tadi kamu hanya diam waktu aku menelpon dan mengirim pesan? Aku minta maaf La"
"Tunggu. Apa tadi kamu bilang? Menelpon dan mengirim pesan?"
Rival mengangguk, dan sontak Shyla pun merogoh ponsel yang ada di dalam kantong jaketnya, lalu memeriksa log panggilan masuk dan pesan.
"Oh. Ya astaga. Pantas saja."
Shyla akhirnya berbalik arah dan berlari menuju kembali ke apartemen Reno. Dia tak perduli cidera pada punggungnya. Sangat sakit juga perih tak tertahankan, tapi hatinya lebih perih ketahui bahwa Reno marah karena masa lalu yang sudah Ia kubur dalam-dalam.
Rival hanya terpaku melihat Shyla panik dan berlari, entah kemana.Shyla semakin percepat larinya, khawatir jika Reno sudah pergi.
Aku tak menyangka, hari ini kan tiba. Segala yang terkubur harus terbongkar juga. Reno..Akan aku katakan sejujurnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Duka Desember
Short Storycinta bukanlah rasa sepihak yang menyebabkan perpisahan. cinta juga bukan akhir dari penyesalan. cinta adalah penyatuan rasa yang mengarah pada kebahagiaan. Jika cinta adalah penyesalan maka itu bentuk dari keegoisan dan keangkuhan. Reno.. lelaki he...