Marah

50 1 3
                                    

Kala tak bisa melepaskan, maka cara katakan tentang "milik Ku, hanyalah dengan kemarahan.

Kadang marah adalah bentuk cinta yang terpendam.
👍👍

"Sekarang katakan, kenapa kau ada di rumah sakit ini dan menjadi dokter yang nanti akan tangani kondisiku?"

Shyla bertanya dengan tatapan lurus padanya membuat Rival sekejab tertegun. Kesalahan masa lalu sungguh menjadi tembok pemisah tak terobohkan.

Mungkin itu cara terbaik aku membayar kesalahanku di masa lalu walau situasi tak sama lagi.

"Sepertinya aku tak perlu jawab pertanyaanmu itu. Sekarang berbaringlah. Aku harus memeriksa kondisimu."

Shyla terdiam kesal. Jika Ia bisa, maka ia akan mencakar habis wajah pria di hadapannya ini.

"Dokter Shyla. Masih bisa berjalan? atau butuh bantuan?"

Kata-kata Rival semakin menyulut bara api dari mata Shyla. Pasalnya pria ini tak punya malu atau pun merasa bersalah. Seenaknya saja dia bertingkah seolah tak terjadi apa-apa, sedangkan Shyla harus menahan gejolak kemarahan di dalam batinnya.

Shyla menghembus nafas, lalu beranjak menuju ruang pemeriksaan. Tanpa dia tahu, sesungguhnya Rival pun sedang sembunyikan rasa malu, rasa bersalah dan sikap geroginya. Susah payah pria ini kendalikan pikirannya untuk tak memeluk Shyla. Tujuh tahun ternyata tak mampu musnahkan gambaran Shyla dan cintanya, walau beberapa wanita sempat menghiasi hatinya.

Lamanya proses pemeriksaan membuat kedua insan itu berusaha kendalikan perasaan masing-masing. Mereka hanya beradu pandang dan saling bicara sebatas pasien dan dokter. Terlebih Shyla selalu saja tunjukan sikap acuh.

"Lukamu cukup parah. Kau terlalu bersikap seperti wanita super. Terbukti kan?"

Rival menunjukan hasil rontgen pada layar monitor yang membuat Shyla harus menelan ludahnya dengan terpaksa.

Memang benar. Keras kepala dan sikap acuhnya itulah yang sekarang jadi senjata, melumpuhkan ketangguhan yang ia miliki. Ia memejamkan mata dan berdecak kesal.

"Kau harus di rawat beberapa hari untuk pulihkan kondisimu. Jika masih ingin jadi dokter di ruang bedah."

Setelah mengatakan demikian, Rival meraih ponsel dan melakukan panggilan pada dokter Junior, memerintahkan agar siapkan ruangan khusus untuk Shyla. Ia ingin wanita ini mendapatkan pelayanan dan pengobatan yang terbaik. Ia pun rela jadi dokter bantu selama bebarapa hari demi memastikan Shyla dapat sembuh total. Tentu saja, hal ini ia rahasiakan dari Shyla.

"Untuk apa ruangan khusus itu? aku kan hanya terluka di bagian punggung bukan pasien penyakit menular." Protes Shyla tapi Rival pura-pura tak mendengar.

Beberapa saat kemudian, datanglah dokter Junior dan memberitahukan bahwa ruangan telah siap.

Rival memberi isyarat agar Junior mengambil kursi roda. Tapi Shyla cepat-cepat bangkit dan berdiri sambil memegangi pundaknya.

"Aku juga bukan pasien lumpuh. Jika ingin aku dirawat, biarkan aku berjalan sendiri. Jangan berlebihan Rival. Kau harus ingat. Aku bukan orang yang sama."

Shyla merasakan kegerahan yang luar biasa. Masih di dalam ruang pemeriksaan dengan AC full. Sedangkan Rival hanya terdiam, sadari sikapnya yang terlihat over.

Junior pun terpaku tak mengerti dengan apa yang ia lihat dan dengar. Apakah mereka punya hubungan di masa lalu? bukan orang yang sama?

"Jika tak ingin dipecat dari tugas magang, kembalilah ke dunia nyata."

Tersadar oleh suara sang boss yang mengancam, tanpa menunggu lama ia pun mengikuti langkah Shyla yang telah mendahuluinya menuju ruang perawatan  sambil mengelus dada lega. Setidaknya dokter cantik ini lagi-lagi menyelamatkan posisinya. Junior tetap bersikap biasa, karena Rival juga telah berada di belakangnya.

Duka DesemberTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang