3 tahun kemudian ....
"Bunda ... Ken lapel."
Seorang balita laki-laki berumur dua tahun setengah, menghampiri ibu nya yang berada di dapur. Ia merengek ingin makan karena sudah waktunya balita itu untuk makan siang.
Ibunya berbalik, kemudian berlutut mensejajarkan tingginya dengan sang putra, ia mengelus rambut putranya dengan penuh kasih sayang sambil tersenyum manis.
"Anaknya bunda lapar, ya? Bunda siapin dulu ya, sayang. Kamu tunggu di sana sambil main robotan yaa," kata ibunya menunjuk ke ruang tamu yang sudah banyak mainan anak itu.
Ken hanya mengangguk, kemudian menuruti perkataan sang ibu.
Dira tersenyum tipis, ia merasa sedih. Di hari Minggu yang cerah ini, lagi-lagi ia dan putranya hanya menghabiskan waktu hanya berdua saja. Tidak seperti keluarga lainnya yang menghabiskan akhir pekan dengan keluarga yang lengkap.
Ya, ibu itu adalah Nadira. Ia sudah melahirkan anak nya dengan susah payah sendirian dua tahun yang lalu.
Dua tahun sebelumnya ....
Dira baru saja selesai membersihkan meja yang tadi dipakai oleh salah satu pelanggan untuk menikmati makan malam.
Dira tersenyum miris, melihat sepasang suami istri tadi begitu mesra, dengan kondisi sang istri tengah hamil besar, sama seperti dirinya. Hanya saja, Dira bukannya menikmati masa-masa hamilnya bersama sang suami, ia justru harus bekerja keras mencari nafkah untuk dirinya dan persiapan melahirkan sang bayi, mengingat bahwa suaminya benar-benar tak menginginkan anak yang tengah dikandungnya.
Dira menghapus air matanya yang tanpa permisi turun begitu saja. Dira sudah biasa melalui ini sendirian, dan tak jarang dipandang jelek oleh orang-orang yang melihatnya tengah hamil tanpa seorang suami. Membuat beberapa orang mengira bahwa Dira bukanlah perempuan baik-baik.
Namun apa boleh buat, tak ada gunanya Dira menjelaskan, karena orang lain tak akan mengerti, dan mereka hanya ingin tau.
Setelah selesai membersihkan meja, Dira pergi ke lokernya, mengingat sudah waktunya restoran tutup, dan sudah waktunya Dira pulang bekerja.
Dira melangkah keluar dari restoran, berjalan di trotoar, di gelapnya malam. Sesekali ia menggosok tangannya karena hawa dingin.
Dira tak jarang meringis karena perutnya terasa sakit, karena sering berlajan kaki, namun apa boleh buat, Dira hanya bisa menjalani hari-harinya dengan ikhlas dan susah payah.
Jarak tempatnya bekerja tak jauh dari rumah yang ia tinggali. Baru saja ia hendak memasukan konci rumahnya, ia meringis hebat, merasakan kontraksi yang tiba-tiba muncul.
"Perut aku sakit banget ya Allah ...." Dira memegangi perutnya, sangat sakit rasanya. Mengingat ini adalah kehamilan pertama untuknya, dan tanpa didampingi siapapun.
"Ya Allah ... sakit banget, Aku ga kuat..." Dira menangis histeris.
"Toloong," teriak Dira semampunya. Mengingat waktu menunjukkan pukul sepuluh malam, membuat Dira semakin menangis.
"Siapapun, tolong selamatkan anakku." Dira sudah pasrah dengan apa yang akan terjadi, Dira hanya berharap ada seseorang yang menolongnya, dan menyelamatkan calon anaknya.
Seseorang yang memang berniat datang untuk berpamitan kepada sang pemilik rumah terkejut, melihat Dira yang terduduk tak berdaya.
"Astagfirullah, mba! Mba Dira kenapa, mba? Ya Allah ... mba kontraksi?! Biar Alex bantu Mba kerumah sakit, ya."
Alex datang dan tanpa menunggu jawaban dari Dira, pemuda itu segera menggendong nya, dan berlari menuju kos an nya yang tak jauh untuk mengambil mobil.
KAMU SEDANG MEMBACA
Bad Wedding [Complete ✓] Tahap Revisi
ChickLit"Aku ... hamil," lirihku. Aku menunduk, tak berani untuk menatap matanya yang memandangku dengan tajam dan menusuk. Hening. Rasanya, suasana di ruang makan kini terasa semakin mencekam. Aku memberanikan diri untuk mendongak menatapnya secara perlaha...