Diiringi suara erangan satu mayat hidup yang tak dapat berjalan di sisi luar dekat dengan kamar Sophie. Matahari yang mulai menampakkan badannya sedikit tertutup awan, kemungkinan dataran akan dibasahi oleh hujan.
Sophie duduk di pinggir ranjang. Ia bangkit mendekati bibir jendela seraya mengintip asal suara erangan. Saat mengetahuinya, lantas diludahinya mayat tersebut, benci teramat sangat akan hidup para mayat telah membuat Sophie bosan.
Bagaimana tidak seperti itu? Ia kini sendirian, teman-temannya entah sudah mati atau belum pun tak tahu. Semalam, Ari telah tergigit oleh kawanan mayat. Satu hal yang ingin Sophie lakukan sekarang, pergi mencari mayat berjalan si Ari.
Sophie memantapkan tekadnya. Ia membuka pintu dan segera menuruni tangga, tanpa menyapa yang lain, langsung mengambil parang bergagang biru dan mengkilat tajam.
Aogan yang melihatnya lantas menyapa. "Mau ke mana kau?"
"Terserah aku mau ke mana." singkat. Sophie menjawab tanpa menoleh dan mendekati pintu keluar, berniat membukanya, tetapi terkunci. Ia menatap Aogan. "Buka ini."
Aogan bangkit dari duduknya, lalu merogoh saku celana, dipegangnya sebuah kunci warna keemasan dengan telunjuk dan ibu jari. "Kau butuh ini ...."
Sophie mendekati Aogan dan meraih kunci di pegang Aogan. Namun, pria itu tak lantas memberikannya. Ia menggenggam erat dan tak bisa diambil kalau tidak diberikan.
"Ini akan kuberikan jika kau mau memberitahukan ke mana tujuanmu ...," ucap Aogan sembari menaikkan alis kanannya. Selain karena penasaran, ia juga tak mau mengambil risiko seorang manusia akan mati lagi.
"Terserah." Sophie menjawab singkat. Ia mendekati jendela yang telah terpasang beberapa papan untuk menutupinya, lantas mencongkelnya dengan parang itu.
"Hei ..., hei! Jangan, jangan kau buka. Ini kuberikan kuncinya." Aogan menyerah. Ia melempar kunci itu yang lantas dengan cepat ditangkap Sophie.
Aogan berbisik pada Dokter Edwin saat Sophie keluar dari rumah. Pria ini lantas mengikuti tidak lama kemudian.
*******
Sophie berhenti saat berada di salah satu pohon yang berjajar berdekatan membentuk huruf V. Tepat beberapa meter di depan sana adalah rumah di mana Ari tergigit, sementara di sisi kanannya terlihat gedung bioskop yang tak terawat.
Mayat hidup perlahan mendekati Sophie dari belakang. Namun, saat ia berbalik badan, makhluk itu telah terkapar karena terbunuh oleh Aogan.
Pria keturunan Jepang itu membersihkan pisau di pakaian mayat yang telah benar-benar mati. "Apa yang mau kau lakukan di sini?"
"Terima kasih," ucap Sophie menatap sesaat, lalu berfokus pada apa yang dicarinya.
Aogan tidak kembali bertanya. Ia juga ikut memandang para mayat di sebelah sana, lalu menjauh perlahan.
"Bukan ..., bukan juga." Berulang kali Sophie mengatakan kata ini secara pelan, berbisik. Di antara banyaknya mayat tak ada seorang Ari di sana.
Aogan kembali. "Sophie ..., kurasa aku menemukan apa yang kau cari."
"Memang apa yang kucari?" tanya kembali Sophie tanpa menoleh.
"Mayat Ari, kan?"
Sophie mengerutkan dahi mendengar itu. "Di mana?"
"Ikuti aku," jawab Aogan sembari berjalan pelan melewati semak atau ilalang. Ia menoleh beberapa kali dan Sophie memang mengikuti.
Hingga sampai di sisi lain rumah mereka berhenti. Aogan menunjuk ke arah kaki-kaki mayat dan Sophie akhirnya mengetahui bahwa Ari ada di antara, lebih tepatnya Mayat Ari. Tidak berdiri, badannya hanya tersisa bagian tangan kanan, dada, dan kepala.
Sophie menelan ludahnya, kondisi anak itu sangat tidak layak sekalipun telah menjadi mayat hidup. Malah, rasa kasian menjalar di hati gadis ini.
"Aku harus mengakhiri penderitaannya," ucap Sophie dan membuat Aogan menatapnya tajam.
"Maksudmu, membunuhnya?" tanya Aogan. "Kita bisa menggunakan panah, aku punya satu."
"Bagus, tapi kita harus menguburkannya juga."
"Itu mustahil, sama saja dengan bunuh diri." sahut Aogan setelah tidak lama Sophie mengakhiri ucapannya. Ia sangat pesimis, tidak mungkin mereka melewati begitu banyak monster tanpa tergigit, syukur kalau masih hidup. Tidak, pasti siapapun akan mati dan berakhir seperti Ari.
"Pancing mereka, bawa teman-temanmu ke mari dan suruh mereka memancing kumpulan itu agar menjauh."
"Aku tidak akan melakukan itu. Aku memiliki misi yang belum terselesaikan."
"Tidak apa, biar aku sendiri." Sophie nekat. Ia berjalan selangkah dan pada langkah keduanya langsung dihentikan oleh Aogan.
"Baiklah, baiklah kami akan membantu. Tunggu di sini dan jangan nekat." Aogan menggeleng. Ia segera bergegas kembali untuk membawa beberapa anak buahnya agar dapat membantu.
Sophie merendahkan posisi tubuhnya, jongkok di antara semak sembari melihat ke segala arah, memastikan tidak ada mayat hidup yang menyergapnya seperti tadi.
Beberapa saat hingga bunyi berisik terdengar. Anak buah Aogan berada sekitar beberapa meter dari kawanan mayat hidup, memukuli alat-alat memasak dan sukses membuat para penggigit pergi.
Sophie melangkah pelan ketika suasana benar-benar sepi. Ia berdiri tepat di depan Ari yang mengerang, lengan satu-satunya berusaha meraih dan terlihat isi perutnya berceceran dikerubungi semut, lalat, dan serangga menjijikkan lainnya.
Satu bilah pisau berada di genggaman Sophie. "Maaf ...."
Ia menunduk, lalu menusukkan benda tajam tepat pada pelipis Ari. Pemuda itu lantas tak bergerak lagi.
Sophie terduduk di tanah. Aogan dan beberapa orang datang, lalu mengambil sisa tubuh Ari untuk dimasukkan pada plastik besar.
"Kita harus pergi dari sini sebelum mayat hidup itu kembali," bujuk Aogan, hingga beberapa detik Sophie bangkit dan mereka berjalan ke rumah sebelumnya.
******
"Bantu aku menggali di sini, kita akan menguburkannya," perintah Sophie saat sampai di belakang tempat tinggal Aogan.
Anak buah Aogan menuruti setelah bosnya itu juga memerintahkan hal yang sama. Sophie yang berniat membantu pun lantas dicegah untuk beristirahat saja dan ia berdiri di pinggir pintu sembari melamun.
Sebuah kursi dibawakan oleh Aogan. Sophie menurut dan duduk hingga beberapa saat sampai sebuah suara teriakan terdengar.
Aogan dan Sophie berdiri. Tidak salah lagi kalau asalnya suara itu dari tempat galian.
Perlahan mereka melangkah mendekat. Beberapa orang yang ada di dalam rumah pun ikut melihatnya.
Sophie mengerutkan dahi saat mengetahui apa yang dilihatnya. Ia memandang Aogan yang tidak kalah terkejut.
"Kau tahu apa ini?" tanya Sophie.
Aogan hanya menggeleng tak mengerti.
*****
TBC
KAMU SEDANG MEMBACA
OutbreaK II : Madness
Science FictionAkibat Praka dan Darius menghubungi orang asing lewat radio, kapal mereka mendapat serangan. Satu hal yang mereka tahu, ini adalah hal yang sangat buruk. Mereka terdampar di sebuah pulau dekat dengan selat Singapura setelah kapal yang ditumpangi itu...