Helikopter itu jatuh setelah asap keluar dari mesinnya. Entah siapa di dalamnya, yang jelas, Alam, Praka, Bram, dan Diaz serta beberapa orang segera melihatnya.
Jauh di sana, tidak di dalam hutan, tetapi ada di pinggir lautan. Bram akhirnya sampai lebih dulu, Praka menyusul.
Tak lama, datanglah Alam serta Diaz. Keduanya melihat kepulan asap dari helikopter yang telah berserakan. Dua orang sana terlihat mengelilingi kendaraan terbang itu.
Tidak ada jejak manusia atau mayat di dalam helikopter yang masih mengepul dan terbakar. Ini terlalu aneh, jadi bagaimana kendaraan ini bisa terbang?
Hantu?
Tidak mungkin.
Atau dikendalikan seperti pesawat tanpa awak?
Praka menganggapnya tak mungkin juga, setahunya helikopter jenis ini harus ada pilot di dalamnya.Praka mendekati Brama yang manatap laut luas. Dua pria dengan tubuh lumayan atletis kini bersanding.
Brama hanya meliriknya sesaat. Ia mengeluarkan sebungkus rokok dari kantong celana, diambilnya satu batang, lalu menyulutnya ketika sudah mengambil korek api di sakunya juga.
"Kau tahu? Perbuatanmu it ...."
Ucapan Praka terhenti saat Bram melanjutkan kata-katanya, "Aku salah, aku berdosa, dari dulu sampai sekarang."
Brama memberikan bungkus rokok itu, menawarkan. Praka dengan senang hati menerimanya, walau dengan ucapan, "Bukan berarti aku memaafkanmu, ini bukan sogokan, kan?"
"Ya, aku tak pantas menerimanya."
Brama ternyata orang baik, setidaknya ia harus mendengarkan sejarahnya.
Diaz dan Alam masih berusaha melihat keadaan helikopter, siapa tahu menemukan mayat sang pilot dan ada petunjuk tentang tempat yang aman. Setidaknya ada sebuah penampungan walau entah di mana.
Beberapa orang yang ikut juga menyusuri sekitar hutan. Mencoba melihat, siapa tahu sebelum jatuh, sang pilot sudah melompat dan menggunakan parasut.
Nihil.
Memang tak ada apapun, hanya helikopter tanpa penumpang. Justru inilah yang membuat mereka merinding, karena dunia sudah hancur satu tahun lebih, jadi semuanya terasa mustahil.
"Menurutmu, Darius masih selamat?"
Pertanyaan tiba-tiba keluar dari mulut Diaz saat mereka mulai menyerah mencari sang pilot. Alam tersenyum, dan dengan percaya diri mengucapkan, "Tentu."
"Kapan semua ini akan berakhir, ya?" Diaz mengistirahatkan badannya. Ia duduk menghadap ke depan, menatap punggung Praka dan Brama di pinggir laut sana.
Alam mendengkus, lalu ikut duduk menghadap laut. "Kurasa, kita akan hidup di pulau ini saja. Suka dengan seorang gadis, lalu menikah, mempunyai anak dan mati dengan bahagia."
Diaz tertawa mendengarnya. Jawaban Alam adalah sebuah rasa kesal, kini ia pasrah, lagipula di pulau ini tak ada mayat, semua habis, telah dibunuh atau dibuang ke lubang pembatas.
"Bahkan aku lupa dengan yang namanya bermain. Aku rindu semua itu semenjak aku dibawa ke Tallessa." Diaz memang masih terlalu muda, jika ia bersekolah, mungkin kini menginjak masa SMA.
Diaz ingat dengan perkataan seseorang. Masa SMA itu indah, penuh kenangan, bahkan jika sudah lulus, akan rindu dan kalau bisa kembali ke masa itu.
"Aku penasaran, saat semua terjadi, usia berapa kau saat itu?" tanya Alam. Mengingat dirinya masih SMA waktu itu terjadi.
"Aku bahkan lupa, mungkin sekitar enam atau tujuh belas tahun atau malah kurang dari itu."
"Hei, kami pergi dulu, sudah terlalu sore, kalian bisa bersama Bram jika ingin kembali."
Beberapa orang tadi yang ikut berpamitan. Alam hanya mengangguk dan Diaz melambaikan tangan yang secara tidak langsung berkata ya, kami akan menyusul.
"Aku, waktu itu masih SMA, waktu itu sedang lomba panahan."
Diaz mengkerut, ia ingat pas waktu pertama bertemu dengan Alam, "Ah, tidak salah jika kau hebat menggunakan panah."
"Ah, tidak, waktu itu aku hanya juara tiga." Alam tersenyum sembari mengelus punggung tangan kanan yang berbalut perban putih.
"Percayalah, kau menyelamatkan kami berulang kali dengan gelarnya sebagai juara tiga itu." Diaz berbicara sembari membayangkan dulu, ketika Alam tiba-tiba datang dengan Darius, mereka menggiring para mayat agar yang lain bisa pergi dari toko pakaian dan tak terjebak.
"Aku hanya melakukan apa yang menurutku benar, wala ...." Alam menghentikan omongannya, lalu berdiri dengan tatapan ke depan tak berkedip.
"Walau?" Diaz terheran.
"Walau aku belum tahu kalian jahat atau tidak."
Diaz tertawa. Alam melanjutkan ucapannya, sembari berlari, "Cepat! Kenapa mereka berdua berenang ke laut!"
Diaz langsung melihat laut di depannya. Ia baru sadar, Praka dan Brama kini berenang entah mau ke mana, yang jelas mereka ke laut lepas.
"Tidak bisakah kita beristirahat sedikit saja." keluh kesal Diaz, walaupun begitu ia tetap berlari hingga ke tepi bersama Alam.
Ketika Diaz bertanya. Alam menunjuk ke arah laut di depan dua orang yang berenang. Ada yang terapung dan tengkurap.
Jelas itu adalah sang pilot.
Alam melepas pakaian atasnya, sepatunya dan berkata, "Tunggu di sini, aku akan membantu mereka."
"Aku ikut."
Sembari melompat layaknya atlet renang, Alam berteriak nyaring, "Jangan! Tunggu di sana!"
****
KAMU SEDANG MEMBACA
OutbreaK II : Madness
Science FictionAkibat Praka dan Darius menghubungi orang asing lewat radio, kapal mereka mendapat serangan. Satu hal yang mereka tahu, ini adalah hal yang sangat buruk. Mereka terdampar di sebuah pulau dekat dengan selat Singapura setelah kapal yang ditumpangi itu...