Praka mundur beberapa langkah, matanya membelalak, menatap tajam kejadian di depannya. Mereka sudah berusaha melawan, tetapi terlalu banyak, jumlah mayat hidup yang menyerang dari sisi kanan dan kiri tak terhenti. Suara tolong, tangis, jeritan kesakitan menggema.
"Maaf, maaf ...." ucap Praka, ini kesempatannya untuk pergi, ia berbalik badan, berlari kencang dengan sesekali melihat ke belakang.
Aman, semua mayat hidup masih sibuk dengan mereka. Tak ada yang mengejar, hingga Praka berbelok, lalu berhenti sesaat untuk mengambil napas dalam, dan melanjutkan tujuannya.
Bukan, ia tidak akan menemui Pak Winar. Jelas orang itu takkan mengizinkannya untuk masuk. Jadi, ia melewati pintu masuk ke ruang Pak Winar, lurus.
Dengan kunci yang ia bawa, Praka dapat bertahan. Kembali, saat ia berhenti untuk mengatur napas, lorong pun bergetar. Dinding tempatnya bersandar pun terlihat akan terbuka, lantas ia kembali melanjutkan berlari.
Di ujung lorong --yang sudah jauh dari tempat Pak Winar-- hanya ada satu pintu besi tertutup. Praka mengeluarkan kuncinya, di carinya tempat untuk memasukkan kunci itu. Ketika ia temukan, ia memasukkannya dan terdengar bunyi klik.
Suara erangan mayat hidup yang sudah dikeluarkan dari dinding itu pun terdengar mendekat. Semakin lama, semakin dekat, lalu terdengar dan terasa getaran. Namun, sebelum dinding kaca terbuka lagi, Praka sudah masuk ke dalam ruang itu ketika pintunya terbuka.
Praka menutupnya dengan segera. Dengan begini, Pak Winar tak mempunyai cara atau jalan untuk membunuh Praka. Tak ada akses menuju ruang yang hanya bisa dicapai menggunakan kunci di tangan Praka.
Ruangan gelap segera menjadi terang saat Praka menyalakan saklarnya. Penuh akan komputer tua di setiap sisinya. Ada beberapa persediaan makanan, minuman. Satu lemari besar tertutup rapat, dan di tengah ruangan terdapat benda besar tertutup kain putih.
Praka mendekati satu komputer, menatapnya sesaat, lalu mengelap debu dengan tangannya dan meniupnya beberapa kali agar debu itu hilang. Ketika ia mulai menyalakan, semuanya masih berfungsi.
Setelah selesai dengan komputer. Praka menghampiri lemari di sisi lain. Membukanya, dan di dalam terdapat beberapa baju putih tergantung, berdebu dan dihuni beberapa serangga. Lantas ia merogoh setiap kantong baju itu, diambilnya benda pipih yang terbungkus plastik bening.
Satu kaset DVD diambilnya, memasukkannya ke dalam kantong sembari mengatur napas perlahan, "Winar, kita lihat apa yang kau lakukan."
Praka duduk di kursi di depan komputer. Sebelumnya ia sudah menekan satu tombol di meja, satu tombol yang membuat ruangan Pak Winar tak berfungsi dan seperti diambil alih oleh ruangan Praka.
Ruangan yang Praka masuki adalah tempat utama. Semuanya dikendalikan dari sini, terkontrol, bahkan sampai CCTV di setiap ruangan.
Ketika komputer sudah menyala sempurna, terhubung ke seluruh CCTV. Praka mencari ruang Pak Winar, orang itu terlihat mengutak-atik benda yang ada di sana, lalu terlihat menatap kamera di sudut ruangan sambil berkata dengan otot yang mencuat di lehernya.
Mata Praka melihat kamera lain di layar. Tempat ketika semua temannya ia sangka telah mati. Di sana, darah seperti air yang mengalir di lantai, isi perut berceceran, terkoyak dan hanya ada satu mayat hidup yang kini bangkit setelah makan.
Mayat itu melangkah pergi dengan cepat, berlari ke arah datangnya Praka dan yang lain, lalu berbelok entah mengejar apa. Napas Praka sesak, kenyataan ini begitu pahit, di sana, di tumpukan mayat itu perlahan satu persatu yang tubuhnya masih utuh pun bangkit.
Praka memfokuskan pandangannya, memperbesar layar dan memperhatikan siapa yang bangkit itu. Dari bentuk tubuhnya, ia adalah Diaz dan Resha.
Kenapa mereka masih selamat? Sebuah hal yang mustahil, tetapi jika dipikirkan lagi, mereka berdua kebal.
Mungkin, jika hanya luka ditangan dan tidak terlalu dalam, mereka akan selamat walau nantinya akan terkena demam karena luka tidak kunjung diobati.
Terlihat Diaz dengan tubuh merah darahnya membantu Resha bangkit. Tumpukan mayat tak membuat keduanya muntah, tidak setelah semua hal buruk ini terjadi.
Praka berusaha mencari pengeras suara yang ada di ruangan itu, tetapi mungkin sudah rusak sehingga tak terdengar di sana. Kedua orang itu duduk bersandar di dinding kaca yang masih utuh, terlihat menahan tangisnya.
Praka mengembalikan layar ke semula. Ia berencana keluar dari ruangan itu dan menyelamatkan Diaz dan Resha, tetapi matanya menangkap hal tak terduga, di ruangan mayat tergantung ada dua orang yang sedang entah mencari apa, menurunkan beberapa mayat dan terlihat mengobrol.
Praka kenal, jelas sekali itu adalah Darius dan Sophie. Maka, Praka memencet tombol pintu agar terbuka, lalu mengucapkan sesuatu kepada keduanya di pengeras suara yang ada di sana melalui mic di depannya, tepat di atas meja.
"Hai, kalian dengar suaraku?"
Praka menghentikan suaranya sembari mengatur napas, ia masih belum percaya akan bertemu dengan kedua orang itu, lagi.
"Ini aku... Praka."
Darius dan Sophie terlihat memandang sekitar, mencari arah suara dan ketika menemukan pengeras suara mereka menatap kamera CCTV. Ucapan mereka tak terdengar, tetapi dari gerak bibir Darius, Praka bisa membacanya, "Siapa kau?" Seperti itulah kira-kira.
"Tidak, ini bukan seseorang yang kau sebut tadi, ini aku... Praka Arsa."
Ucapan Praka begitu mengejutkan kedua orang itu. Mereka terlihat bertanya-tanya.
Praka melanjutkan, "Nanti akan kujelaskan, sekarang kalian pergi dari sana, Diaz dan Resha butuh bantuan."
Keterkejutan melanda kedua orang itu. Selain ucapan seseorang di balik pengeras suara, yaitu Praka. Juga karena ada satu orang lagi yang berlari cepat dari ujung lorong menuju ke arah mereka dan di belakangnya banyak mayat hidup mengejar.
Dalam posisinya, Darius dan Sophie bersiap berlari.
****
KAMU SEDANG MEMBACA
OutbreaK II : Madness
Ciencia FicciónAkibat Praka dan Darius menghubungi orang asing lewat radio, kapal mereka mendapat serangan. Satu hal yang mereka tahu, ini adalah hal yang sangat buruk. Mereka terdampar di sebuah pulau dekat dengan selat Singapura setelah kapal yang ditumpangi itu...