40 - R̶i̶k̶a̶z̶ Alam ""

448 66 4
                                    

Sudah satu hari sejak kepergian Rikaz. Resha hanya terlihat murung setelah itu, tetapi entah apa yang membuatnya terlihat lebih berani, dilangkahkannya kaki menuju Praka yang tengah mengambil kayu di sekitar rumah.

Moriz dan Moniq berada tidak jauh dari Praka. Resha berdiri tepat di belakang pria yang dahulunya seorang tentara itu.

Praka berbalik badan saat tahu jika Resha kini ada di belakangnya. Senyum tipis menyapa wajah dari gadis yang bahkan tak membalas sapaan itu.

"Ada yang ingin kau sampaikan, Resh?"

"Aku ingin menemui orang yang membunuh Rikaz itu."

Sontak, raut wajah Praka berubah drastis. Ia heran, apa gadis di depannya ini terlalu sedih hingga berbicara ngelantur? Apa yang ada di dalam pikirannya?

"Apa?" Praka ingin memperjelas ucapan yang di sampaikan Resha tadi.

"Aku ingin menemui orang yang membunuh Rikaz, kau bisa menemaniku?" tatapan Resha begitu tajam. Ia sangat serius kali ini.

"Aku ikut, Rikaz temanku sewaktu di Tallessa," ucap Diaz.

"Kalian serius? Orang itu bahkan tak segan membunuh tanpa tahu siapa orang yang ia hadapi, baik atau jahat, dia tak melihat itu, dia hanya orang dengan ketakutan akan manusia lainnya." Praka tak menganggap serius perkataan Resha. Ia malah mengambil kapak, lalu membelah kayu di hadapannya.

"Kalau begitu, aku akan ke sana sendiri dan mencari orang itu, dengan atau tidak tanpamu." Perkataan singkat dari Resha membuat Praka berhenti membelah kayu, ditengoknya Resha yang memang sudah membawa tas ransel dan sebilah pisau di genggamannya.

Gadis itu juga mengenakan topi hitam polos dan dengan terpaksa Praka mengejarnya hingga tepat berjalan di samping Resha dan Diaz.

"Akan kutemani, tunggulah sebentar di sini, ada beberapa barang yang harus dibawa." Praka menggeleng saat berlari memasuki rumah.

Dua anak yang kembar juga segera menghampiri Praka tepat di kamar atas. Moriz terlebih dahulu berbicara. "Mereka akan membunuh kalian."

"Aku tak punya pilihan, Riz." jawab singkat Praka, ia memasukkan beberapa barang ke tas, lalu bergegas keluar dari kamar melewati dua anak kembar yang berdiri di bibir pintu.

"Kalian ikut?" tanya Praka sebelum turun ke lantai bawah.

"Tidak, kami masih ingin hidup, kami masih kecil, seharusnya umur kami masih panjang," jawab Moniq datar.

"Jaga diri kalian, kami akan kembali jika masih berumur panjang seperti yang kalian bilang." Praka melewati pintu keluar, Resha dan Diaz sudah menunggu di sana bersandar pada pohon dan menatap pria yang baru saja menyapanya.

Langkah berani mereka ambil. Hingga sampai di perbatasan, di lubang yang penuh akan mayat hidup.

"Bagaimana kita melewatinya?" Praka kehilangan ide tentang masalah ini, jarak lubang begitu jauh hingga tak mungkin untuk menyeberang.

"Pasti ada sesuatu di sini yang bisa menolong kita," Resha perpikir positif. Ia memeriksa semak belukar.

"Hati-hati, di sanalah banyak ular bersarang." Praka membantu mencari alat untuk menyeberang. Sekali lagi, hanya percuma.

Dua orang itu duduk mengatur napasnya. Para mayat berusaha meraih kaki mereka, tetapi tak sampai dan terus begitu sambil mengerang. Sementara Diaz terlihat berpikir bagaimana caranya menyeberang.

"Apa lebih baik kita kembali saja," ajak Praka.

Dari semak belukar terdengar suara orang berjalan. Mereka bangkit dari duduk, lalu melihat arah hutan di belakangnya.

"Hai," sapa orang itu membuat Sophie, Praka, dan Diaz lebih tenang. Dua anak kembar, Moriz dan Moniq membawa tiga papan panjang yang lumayan tebal.

Mereka menjatuhkan papan dan menimbulkan suara keras begitu menghantam tanah. Napas kedua anak itu tak karuan, wajar saja karena sehabis membawa barang sangat berat.

"Ini, sepertinya cukup buat lewat lubang itu," jelas Moriz yang kini terduduk seperti Moniq.

"Seharusnya kalian tak perlu, ini berat. Tapi, terima kasih sudah mau membantu ya ...," ucap Resha sembari mengelus kepala Moriz.

Praka mengambil satu papan dan memalangkannya hingga ke seberang lubang. Ia menggeleng ketika Resha malah menaruh papan itu secara terpisah.

"Lebih baik tumpuk, agar tak patah saat kita berjalan di atasnya." Praka mengambil papan itu, lalu menumpuknya dengan yang pertama. Pria ini lantas mengambil satu lagi dan menumpuknya lagi.

Diaz mendekat ke anak kembar yang kini sudah berdiri dari posisi duduknya, "Kami akan ke seberang, kalian boleh pulang kembali."

"Kami ikut, Kak!" seru Moniq. "Mungkin saja mereka takkan membunuh jika tahu ada anak kecil bersama kalian, kan?"

"Mungkin, " sahut Moriz.

"Ikutlah, kami melarang pun takkan ada gunanya, kan?" Praka berbicara sembari tersenyum. Ia tahu para anak itu takkan mungkin menurut.

Praka berlari cukup jauh dari posisi papan. Ia berteriak sekuat tenaga hingga para mayat mendekatinya dan memberikan kesempatan dua anak kembar dan Resha serta Diaz untuk menyeberang, benar sekali bahwa jembatan itu cukup kuat.

Giliran Praka yang langsung berlari dan menyeberang. Sempat ada satu mayat yang hampir meraih sepatunya, tetapi tendangannya cukup keras dan ia berhasil menyusul.

Perlahan dan secara pasti mereka masuk ke dalam hutan. Beberapa burung berbunyi dan lainnya berterbangan.

"Ssstttt ...." bisik Praka, menunduk di semak belukar sembari mengintip dari kejauhan.

"Ada dua orang," ujar Resha. "Satu orang membawa panah dan pakaiannya hitam, seperti katamu mungkin itulah orangnya."

Praka memperhatikan. Terlintas cara dalam pikirannya. Moriz mengangkat Moniq agar terlihat tinggi dan badannya sedikit di tutupi oleh baju tentara Praka.

Resha berlari ke kanan dan Praka ke kiri dengan hati-hati. Sepelan mungkin agar tak terdengar. Saat itu pula Moniq dan Moriz keluar dari semak-semak dan jika dilihat dari kejauhan, mereka seperti pria dewasa.

Pisau di arahkan oleh Resha dan Praka saat mereka sampai di belakang dua orang itu. Hanya perlu satu tarikan saja untuk membunuh keduanya.

Diaz pun berbisik pelan, "Diam atau kami akan membunuh kalian ...,"

****

OutbreaK II : MadnessTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang