Empat kali tembakan menghujam bagian dada dan perutnya. Ia, pria bernama Alam terjatuh dari helikopter setelah tubuhnya ditendang oleh Kevin.
Dengan keras, tubuh laki-laki berusia sembilan belas tahun itu menghantam air, masuk ke dalamnya. Gelembung terbentuk dari napas Alam. Ia membuka mata, sadar bahwa dirinya baik-baik saja.
Ia menggerakkan kedua tangan. Melepas Hoodie dan terakhir sebuah jaket anti peluru. Alam berenang ke atas, hingga beberapa saat kepalanya muncul dengan napas tersengal-sengal.
Ditatapnya helikopter yang masih mengudara itu. Ia mengatur napasnya, beruntung sebuah anti peluru ditemukannya waktu itu hingga hal ini terjadi dan nyawanya selamat.
Tidak jauh dari tempat Alam terjatuh sebuah pulau terlihat. Ia berada di bagian selatan dan sekuat tenaga berenang menuju pulau Anak Sambu itu. Beberapa kali berhenti untuk sekadar mengatur napasnya.
Ombak kecil di pinggir laut menyapa bersama angin segar dan dadaunan yang memberikan kesejukan. Alam merasakan pusing teramat sangat, samar-samar pandangannya menangkap beberapa orang yang menghampiri.
"Bawa dia ...." kata terakhir yang Alam dengar dan kemudian tak sadarkan diri.
****
Alam merasakan panas di tubuhnya. Ia jelas sekali terkena demam, keringat menetes dan perlahan matanya terbuka. Daun kelapa yang pertama kali terlihat sedikit meneteskan air ke dahinya.
Ia memiringkan kepala ke kanan. Tidak ada bedanya, sebuah daun kelapa muda atau sudah kering. Tepat sekali, Alam memang berada di dalam sebuah tenda yang dibuat dengan daun-daun.
Alam terbatuk saat berusaha bangkit untuk duduk. Ia memegang kepalanya karena pusing masih terasa. Sebuah gelas berisi air tepat di samping kanannya dan di atas meja bambu, lalu segera diraihnya, tidak butuh lama hingga satu gelas itu habis.
Suara obrolan terdengar. Alam dapat melihat warna pakaian orang asing di luar dari sela-sela daun kelapa.
Ia sedikit waspada saat satu orang terlihat dan terdengar mendekat. Benar, kedua tangan itu meraih daun kelapa dan masuk secara perlahan.
Alam telah meraih batang kayu di bawah ranjang bambunya sebelum orang itu masuk. Ia menyergapnya, mendekap dan membungkam mulut dengan tangan kanan dan mengarahkan ujung kayu ke leher.
"Diam ...," bisik Alam mengancam. Seorang gadis yang diancamnya pun tak berkata, tetapi sangat tenang. "Siapa kalian!? Di mana aku?!"
Alam tersentak. Melepaskan bekapan saat tangannya tergigit. Wanita yang tadi diancam lantas merebut kayu di tangan Alam dan mengarahkan ujungnya tepat di mata kanan.
Alam mematung. Hanya perlu sedikit dorongan, kayu itu pasti menusuk matanya.
Wanita berambut keriting sebahu dan berkulit putih itu memiliki wajah pucat. Namun, parasnya pasti mampu meluluhkan semua pria. Tatapannya tajam menusuk mata Alam.
"Diamlah atau orang-orangku di luar akan langsung membunuhmu jika tahu kau mengancamku," bisik Wanita yang berusia duapuluh lima tahun itu.
Wanita itu menjauhkan kayu dan memotongnya menjadi dua, lalu membuangnya ke tanah. "Duduklah ...."
Alam diam dan perlahan menuruti ucapan wanita di depannya. "Kalian yang menyelamatkanku?"
"Bisa dibilang begitu."
"Terima kasih dan ma--"
"Siapa kau? Dan kenapa dirimu ada di pantai tanpa pakaian?" potong si wanita yang kini ikut duduk di samping kanan Alam.
Alam menarik napas dalam. "Ceritanya panjang, ada seseorang yang membunuhku saat itu dan beberapa tembakan kuterima, hingga aku terjatuh dari atas ke laut."
Wanita itu sedikit meringis dan tawa kecil keluar. "Kau tertembak dan masih bisa berenang sampai ke sini? Di tubuhmu pun tak ada luka apa pun."
"Aku memakai pakaian anti peluru saat itu dan mereka tak tahu dan di sinilah aku tak tahu apa yang akan kulakukan selanjutnya." ujar Alam panjang lebar.
"Di dekat lubang ada seseorang!" teriak seseorang di luar tenda membuat Alam dan wanita di sampingnya berhenti mengobrol.
"Stigma? Mereka masih bertahan?! Cepat ke sana! Bunuh jika perlu untuk memperingatkan!" yang lain menjawab penuh amarah tak jelas.
Wanita itu keluar. Alam mengikuti dengan menyipitkan kedua mata dan menutupinya dengan punggung tangan saat menerima cahaya terang matahari. Terlihat pria berpakaian serba hitam membawa busur panah berlari dengan dua orang di belakangnya.
"Hey, ada apa?" tanya Alam kepada wanita itu.
"Stigma, kelompok yang menghabisi banyak dari orang-orang kami dan membuat semua kekacauan ini. Ternyata mereka masih ada yang selamat."
"Lalu apa yang kalian lakukan dengan panah itu?" tanya lagi Alam.
"Bram, jelas dia tak segan untuk membunuh mereka, kedua orang tuanya menjadi korban kekejaman Stigma." Tanpa sadar wanita itu menjelaskan semua hal.
Alam hanya mengangguk. Ia menatap sekitar dan banyak tenda dari daun-daun serta atapnya sebuah terpal. Dilihatnya juga beberapa orang dengan kegiatan masing-masing.
"Hey, siapa namamu?" tanya wanita itu.
"Alam, panggil saja Al atau Alam."
"Alam, jika kau lapar, ambil saja di sana." Wanita itu menunjuk ke tempat rak piring dan semacamnya yang terbuat dari bambu dan kayu lain. Ia melangkah menuju salah satu tenda.
Alam memanggil sebelum wanita itu masuk ke dalam. "Boleh aku tahu namamu?"
Wanita itu berhenti tepat di bibir pintu tenda, lalu menengok ke Alam tanpa senyum. "Amara, panggil saja Ara."
"Ara, terima kasih ...." kata terakhir Alam sebelum ia bergegas menuju tempat makan. Amara pun sekali lagi tak menunjukkan ekspresi dan langsung saja masuk ke dalam tendanya.
****
Bram datang setelah kurang lebih dua jam kemudian. Amara mendekat, begitu juga yang lain, termasuk Alam yang telah kenyang.
"Mereka benar masih ada?" tanya Amara.
Bram mengangguk. Wajahnya tak kalah pucat, tatapannya tajam dan wajahnya tak jauh berbeda dengan Amara. Alam menyadari ini, jika kedua orang tersebut adalah Kakak beradik.
"Aku membunuh satu dari mereka." Bram membuat beberapa orang terkejut, termasuk Alam.
"Mereka melawan?" salah satu orang bertanya.
"Tidak, aku hanya memberi mereka peringatan dan aku lega jika telah membunuh salah satu orang gila itu." Bram tak merasa bersalah sedikitpun. Ia melanjutkan langkahnya menuju minuman di dekat pohon. Beberapa orang pergi melanjutkan apa yang mereka kerjakan.
Bram duduk sendiri di sana setelah Amara pergi. Alam mendekat, ia menjulurkan tangan.
Bram tak lantas menerimanya. Ia mendongak dan mengerutkan kening, seolah bertanya siapa yang ada di hadapannya saat ini?
"Aku hanya ingin mengucapkan terimakasih," ucap Alam dengan senyumannya sembari menarik kembali tangan saat Bram tak segara menjabatnya.
"Kau salah berterimakasih padaku. Saat itu malah aku yang ingin sekali menghabisimu. Saat ini akulah yang paling banyak mempunyai krisis kepercayaan."
.... TBC ....
******
KAMU SEDANG MEMBACA
OutbreaK II : Madness
Science FictionAkibat Praka dan Darius menghubungi orang asing lewat radio, kapal mereka mendapat serangan. Satu hal yang mereka tahu, ini adalah hal yang sangat buruk. Mereka terdampar di sebuah pulau dekat dengan selat Singapura setelah kapal yang ditumpangi itu...