Napas pemuda itu sudah tak karuan, walau begitu, ia tetap memakai masker yang dibuatnya sendiri menggunakan kain merah, katanya agar tak terkena penyakit. Cahaya yang ingin ia capai sudah ada di ujung sana. Puing-puing tembok kaca dan beton sedikit menghalangi jalan, tetapi ia harus keluar saat ini juga.
Pemuda itu tak sendirian. Ia bersama seorang gadis, dan pemuda satunya lagi yang menggendong anak kecil berumur kurang lebih lima tahun di punggungnya.
Entah sudah berapa tahun mereka terjebak di dalam ruangan yang kuat itu. Namun, yang pasti, sudahlah sangat lama.
"Yakin ini sudah waktunya?" tanya si pemuda yang menggendong bayi.
Pemuda dengan masker kain merah menoleh, "Aku tidak mau lebih lama lagi di dalam sana, bisa-bisa mati."
"Yah, kau benar." Si gadis terlihat mendukung.
"Mungkin kita tak masalah, tapi bagaimana dengan kesehatan dia yang masih kecil." Dia yang dimaksud pemuda itu adalah anak kecil yang digendongnya. "Oh, iya, mungkin sebaiknya kita tunggu Kak Darius."
"Kau benar, hmmm kita harus menunggunya." si gadis melihat arah di mana mereka datang tadi, sebuah lorong.
Setelah beberapa saat, terdengar langkah berlari. Sinar matahari yang menelusup di antara celah atap menyinari wajah pria itu.
Wajahnya dipenuhi jenggot, putih, rambutnya diikat ke belakang. Masih terlihat gagah, karena ia menghabiskan waktunya di dalam ruangan itu untuk berlatih.
"Bagaimana Kak Darius?" tanya sang pemuda bermasker kain merah.
"Lanjutkan saja, tak ketemu," jawab Darius.
"Padahal itu hal yang berharga, kan?" Si gadis menggeleng.
"Moniq, sudah, tidak masalah." Darius tersenyum. Gadis itu, tepat sekali namanya Moniq, saat ini ia berumur kurang lebih dua puluh tahunan.
"Kau harus mencukur jenggotmu, setidaknya kau akan terlihat lebih muda satu bulan."
"Hahaha, bisa saja kau Moriz, tapi yang satu itu lucu," setidaknya Darius sedikit terhibur oleh ucapan pemuda bernama Moriz, dia menggunakan masker kain merah. "Jadi, kita hanya perlu membuka penutup di atas kita ini?"
"Benar, terlihat mudah, sepertinya bangunan ini sudah dimakan usia," ucap pemuda yang menggendong anak kecil. "Tinggal didorong saja dan kita sudah berada di luar, mungkin."
"Bagaimana keadaan Lea?" tanya Darius setelah melihat Lea, si kecil yang dilahirkan oleh perempuan yang dulu ada di ruangan ini dan yang memberi tahu untuk tinggal lama di dalam ruangan. Namun, perempuan itu meninggal saat melahirkan Lea.
Kalau bertanya, siapa yang menggendong Lea? Jawabannya, dia adalah Rifal, si penakut sewaktu kecil dulu, "Lea tidur, lihatlah dia begitu lelah."
"Dia seperti ibunya, ya, cantik," sahut Moniq. Tersenyum manis.
Darius beralih menatap atap, di atas itu ada pintu untuk keluar. Ia lantas berjongkok, "Moriz, naiklah ke pundakku, dengan begini kau dapat meraih penutup itu."
Moniq dan Rifal sedikit menjauh saat Moriz menaiki pundak Darius. Dengan susah payah akhirnya celah itu terbuka lebih lebar, udara segar berembus masuk. Begitu sejuk.
Senyum dari mereka lebih terlihat jelas. Lea terbangun dari tidurnya, mengucek matanya sebelum ia melihat celah yang terbuka.
Ini pertama kalinya Lea melihat dunia luar.
Karena celah yang sempit. Mereka mendahulukan Moniq yang tubuhnya ramping untuk keluar. Dengan begitu Lea bisa diangkatnya keluar dan yang lainnya pun menyusul.
Sesampainya di atas, atau bisa dikatakan telah berada di luar. Mereka terdiam.
Mereka tak berada di tengah laut. Yang artinya dugaan beberapa orang benar, saat itu terjadi gempa hebat walau tidak menghancurkan ruangan itu, atau bisa kita sebut bungker. Inilah yang terjadi, menggeser permukaan tanah dan sekarang entah berada di mana.
Atau kemungkinan kedua. Mereka memang berada di tengah laut. Lantas di dalam sana, tak terasa dengan begitu banyak rintangan, mereka berjalan dan berlari menuju tempat ini, yang sekarang telah mereka lihat dengan mata telanjang.
Jika dilihat, ini seperti bekas hutan. Dikatakan bekas karena beberapa kayu yang tumbang begitu banyak, berserakan dan tidak seperti ditebang, mereka roboh akibat bencana.
Lebih parahnya, pandangan mata mereka terhalangi oleh kabut putih tebal. Beberapa meter di depan sudah tak terlihat apa pun.
"Lalu apa yang akan kita lakukan?" Rifal tak mengerti apa yang sudah terjadi.
Darius menarik napas panjang, "Setidaknya udara di sini tidak membunuh kita."
"Jadi, kita tetap akan mencari mereka?"
"Mecali cipa?" tanya Lea, yah, dia masih belum bisa berbicara lancar.
Belum terjawab pertanyaan itu. Beberapa orang yang menggunakan topeng. Mereka mengepung dari berbagai arah dengan membawa tombak yang siap dilemparkan.
"Kita tunda dulu untuk mencari Sophie." Darius mulai mengangkat tangannya, menaruh kedua lengan itu di belakang kepala. Ia sadar bahwa ini akan menjadi masalah fan tak mungkin berlalu begitu saja.
Moniq mendekap erat Lea yang ketakutan.
Moriz sedikit bandel. Ia awalnya tak berlutut, walau akhirnya menurut setelah dibentak oleh Darius.
Tidak perlu menanyakan si Rifal. Kalian tahu bagaimana sifatnya, tak berubah banyak dari ia masih kecil.
Topeng dari kayu dengan berbagai bentuk aneh. Pakaian yang di beberapa bagian sobek, dan kaki yang telanjang tanpa alasnya.
"Tetap tenang." Darius berusaha menenangkan dengan berbisik.
Mereka tak hanya dari kalangan pria, karena terlihat dari bentuk tubuhnya, ada pula perempuan yang terlibat.
Hal yang Darius dan lainnya sadari. Dunia telah berubah banyak semenjak mereka terkurung atau bisa disebut juga mengurung diri di ruangan itu.
Posisi pun mereka tak tahu ada di mana. Mayat hidup memang sudah tiada, tetapi kehidupan manusia yang masih bertahan tetaplah berjalan walau dengan cara berbeda.
Diaz memang sudah tiada, sebabnya adalah sakit yang berkepanjangan. Ia tidak lantas mati begitu saja, tetapi lebih mengenaskan karena membunuh dirinya sendiri dengan tembakan. Semua orang terkejut karena hal ini, wajar saja, Diaz tidak mau ia mati dan menjadi mayat hidup, lebih parahnya ia tak mau menyusahkan yang lain.
Brama, Sophie, dan Resha entah ke mana waktu itu. Saat sore hari udara terasa semakin tipis, mereka bertiga menghilang dengan secarik kertas, sebuah surat.
Isinya tak begitu panjang, mereka sengaja pergi agar udara di dalam ruangan tak membunuh semua orang. Darius ditinggal sendiri agar anak kecil lainnya selamat dan dapat terurus. Kalau Darius hitung, itu sekitar lima tahun yang lalu, memang belum lama.
Mereka bertiga tak memberitahu Darius, karena jika diberi tahu pun percuma. Darius akan sangat tegas melarang tindakan itu.
Lea menangis, memecah keheningan yang mencekam. Tombak yang diarahkan itu sedikit ditarik mundur.
Satu orang dengan topeng tanpa wajah, hanya ada matanya saja itu maju. Menggendong Lea, membawanya entah ke mana sampai tangisan itu tak terdengar lagi.
Darius tak bisa berbuat banyak, karena jika ia bergerak sedikit saja, tombak mungkin sudah menembus lehernya.
Satu kali lagi mereka harus bertahan hidup. Namun, kini semuanya berbeda, tak ada mayat hidup, hanya manusia, yang mempunyai banyak akal busuk di dalam otaknya.
~~~~ END ~~~~
Hai, apa kabar?
Ini sudah selesai?
Iya, kamu tidak salah, ini sudah selesai.
Terima kasih untuk kalian yang sudah membaca dan sampai jumpa di cerita lainnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
OutbreaK II : Madness
Science FictionAkibat Praka dan Darius menghubungi orang asing lewat radio, kapal mereka mendapat serangan. Satu hal yang mereka tahu, ini adalah hal yang sangat buruk. Mereka terdampar di sebuah pulau dekat dengan selat Singapura setelah kapal yang ditumpangi itu...