"Kamu bisa?" tanya si anak perempuan.
"Sudah, percaya saja sama aku ..., minggir sana, kalau mereka sudah pada pergi, periksa itu rumah." si anak laki-laki mendorong anak perempuan.
"Eh ... jangan terlalu main-main sama mereka ya? langsung saja masukkan ke lubang."
"Cepat pergi sana, percaya saja sama aku." anak laki-laki kembali mendorong, membuat anak perempuan terpaksa menjauh beberapa meter menuju salah satu pohon dan mengintip dari sana.
***
"Kalian dengar suara itu?" Rikaz membuka matanya saat mendengar suara lonceng.
"Suara apa?" Praka memfokuskan pendengarannya. "lonceng...." ucapnya saat sudah yakin.
Diaz mengintip dari lubang pintu di ruang tamu. Sementara Resha juga memfokuskan pendengarannya.
"Iya, tapi ..., siapa yang ada di pulau ini?" Resha kini ikut melihat keluar dari lubang kecil yang ada di jendela.
Diaz kembali berkumpul, "Ambil senjata, apa pun!" ia mengambil sebuah tongkat dari gagang sapu dan melirik lagi ke lubang kecil dari jendela.
"Hah? kenapa?" tanya Praka. "lihatlah, makhluk ini semuanya pergi, siapapun yang membunyikan lonceng itu jelas telah menolong kita."
Diaz tak mempedulikan ucapan Praka, ia berlari ke arah dapur, membuka semua lemari, mencari sesuatu untuk dijadikan senjata dan ia menemukan pisau dapur dua biji. Ia membawanya ke teman-temannya.
"Bawa ini untuk jaga-jaga ...," ucap Diaz, ia memberikan dua pisau masing-masing satu ke Rikaz dan Resha.
Praka menatap mereka dengan tatapan tajam, ia kembali mengintip dari lubang kecil di jendela.
"Mereka telah pergi," ucapnya, Praka. "kalian tak perlu menggunakan itu, siapapun yang melakukan itu pastilah orang baik."
"Aku telah banyak dikhianati, kami telah kenyang dan tak akan tertipu lagi," ucap Diaz tanpa menatap wajah Praka. "kal..."
Sebelum Diaz menyelesaikan omongannya, suara pelan ketukan pintu membuat mereka terdiam dan saling tatap. "kalian diam di sini ... akan kuperiksa."
Diaz keluar dari kamar menuju ruang tamu, berjalan pelan dengan memasang pendengarannya, mendengarkan siapa yang mengetuk pintu. Praka tak membiarkan Diaz sendiri, ia mengikuti dengan pelan tepat di belakang.
Tok ... tok ... tok
"Siapa di luar?" tanya Diaz dengan pelan agar tak mengundang para zombie.
Tok ... tok ... tok
"Maaf, kami tak mempercayai orang asing begitu saja ...," ucap Diaz lagi.
Tok ...
"Minggir kalian berdua!" Resha mendorong Diaz dan Praka. Ia mencongkel papan yang telah rapat, kencang terpaku pada pintu depan rumah.
Resha membukanya dan langsung menatap anak kecil perempuan berumur sekitar 13 tahun, dengan rambut sebahu. Ia memakai Hoodie biru dan memakai bawahan rok dengan panjang di bawah lutut. Tentu pakaian itu terlihat kotor dan kusut.
Anak perempuan itu mundur beberapa langkah menatap Resha, terutama pada tangan kanan yang memegang pisau berkarat.
Diaz dan Praka ikut melihatnya, "Siapa kau bocah!? di mana orang yang menyuruhmu?"
Anak itu kembali mundur dan bersembunyi di balik pohon.
"Diaz!" bentak Resha. "jangan begitu! Dia cuma anak kecil!" ia memberikan pisau itu pada Diaz. "biar aku saja yang mengurusnya ..., kalian diam di sini."
"Ijinkan aku membantu ...." Praka berniat mengikuti Resha.
"Biar aku saja! kau mengerti!?" Resha berjalan pelan dua langkah.
"Namamu siapa?" tanya Resha, tetapi tak ada jawaban dari anak tersebut. Resha berjalan lagi beberapa langkah, "kami orang baik, kok ..., jangan takut." bujuknya lagi.
"Untuk apa pisau itu?" akhirnya anak itu menjawab, tetapi balik mengajukan pertanyaan.
"Untuk melindungi diri, kami tak membunuh manusia ..., kami berterima kasih dengan bantuanmu tadi."
"Lalu, kenapa orang di belakangmu tadi membentakku?"
"Jangan dengarkan dia, dia cuma curiga dengan orang asing, tapi aslinya baik." Resha kini semakin dekat dengan anak perempuan itu.
"Woy!" sebuah teriakan dari jauh membuat semuanya menatap ke arah suara. "jangan ganggu Moniq!"
Satu anak laki-laki seumuran dengan anak perempuan berlari mendekati, menggunakan celana pendek dan hoodie yang mirip dengan anak perempuan.
Ia berdiri tepat di hadapan Resha, tangannya dibentangkan sembari menatap tajam ke arah Resha. "Jangan sakiti Moniq!"
Wajah anak tersebut terlihat serius dengan gigi atas dan bawah yang beradu, pipi tembemnya membuatnya malah menjadi lucu.
"Kami tak me ...."
"Sudah Moris, mereka tak menyakitiku, aku hanya takut tadi." potong anak perempuan bernama Moniq sebelum Resha melanjutkan kata-katanya. Ia keluar dari balik pohon. Kini wajahnya terlihat mirip dengan anak laki-laki bernama Moris.
"Sebentar." Moris berbalik badan, memeriksa tubuh Monic, ia mengangguk-angguk. "oke-oke, sepertinya memang tak kenapa-kenapa, tapi,"
Anak laki-laki itu berbalik badan lagi dan merentangkan kedua tangan. " Siapa kalian!?"
Resha diam, menatap ke duanya sampai ia sadar bahwa mereka kembar.
"Astaga, lucunya ...." Resha jongkok, berusaha menyejajarkan tinggi badannya dengan ke dua anak itu. "kalian kembar?"
"Iiiihhhh! jawab dulu pertanyaanku! Kakak-kakak ini siapa dan kenapa di sini!?"
BLETAK!
pukulan itu tepat mendarat di kepala Moris, Moniclah yang melakukannya.
Moris mengusap kepalanya. "Kenapa sih?"
"Aku ingat sekarang, malam itu kami mendengar suara ledakan dan sumbernya dari arah tengah laut sana, itu kalian?" tanya Monic.
"Kamu mendengarnya?" tanya Diaz yang kini mendekat bersama Praka.
"Ya," jawab singkat Moniq.
Masih mengusap kepalanya, Moris bertanya lagi. "Jangan-jangan kalian yang mengebom, ya?"
"Bukan, kami han--"
"Kalian adalah orang jahatnya, kan?" Moris memotong ucapan Resha, jarinya menunjuk-nunjuk Resha, Diaz, dan Praka.
BLETAK!
"Bodoh!" ucap Monic setelah memukul lagi kepala Moris. "mana mungkin orang jahat seperti kakak ini, kita dibilang lucu padahal belum kenal seperti apa kita."
Moris mengusap-usap kepalanya dengan mulut yang dimanyunkan. Ia kini diam tak berbicara lagi.
"Aduh, lucunya kalian berdua." Resha tersenyum. Ia mencubit pelan pipi kedua anak itu. "mana orang tua kalian?"
"Eh, gak tau," ucap keduanya bersamaan.
"Kalian cuma bertiga?" tanya Monic.
"Kami berempat, sayang," jawab Resha, kini ia berdiri.
Moris dengan cepat berlari ke belakang Diaz dan Praka, membuat semuanya bertanya-tanya apa yang ia lakukan, sorot mata mereka mengikuti arah langkah kaki Moris.
"Teman kalian masih di dalam, kan?" tanya Moris.
"Iya, namanya Rik--"
"Ada mayat hidup masuk ke rumah kalian," ucap Monic memotong ucapan Resha. Keduanya berlari ke arah pintu rumah, Resha dan yang lainnya juga tanpa pikir panjang mengikuti.
TBC
KAMU SEDANG MEMBACA
OutbreaK II : Madness
FantascienzaAkibat Praka dan Darius menghubungi orang asing lewat radio, kapal mereka mendapat serangan. Satu hal yang mereka tahu, ini adalah hal yang sangat buruk. Mereka terdampar di sebuah pulau dekat dengan selat Singapura setelah kapal yang ditumpangi itu...