Ruangan bergetar, membuat Sophie dan si Dokter berhenti melangkah di terowongan. Lampu merah menyala berkedip-kedip dan getaran semakin kuat terasa.
Dokter Edwin menatap arah mereka datang, lalu mengucapkan apa yang ia lihat, "Lubang untuk masuk tadi, lihatlah."
Sophie mengerti. Ia lantas berlari kembali ke arah datang, di mana dari bawah muncul beton layaknya pintu ke atas, tak salah lagi, itu akan menutup jalur yang tadi mereka gunakan untuk masuk ke tempat ini.
Kini Sophie sudah di dekat beton yang bergerak ke atas. Ia melihat ada air yang muncul sebelum benar-benar tertutup rapat. Gadis itu melangkah mundur dan mendekati Dokter Edwin.
"Airnya keluar lagi," ucap Sophie sembari menggelengkan kepala saat Dokter Edwin bertanya.
Dokter Edwin masih menatap beton yang menutup lubang masuk tadi, dan berkata dengan nada putus asanya "Terus, bagaimana kita keluar dari sini."
"Kita pikirkan nanti, lebih baik kita pikirkan di mana Aogan di bawa, berharaplah agar ia masih bernapas," ucap Sophie, sikapnya bertolak belakang dengan Dokter Edwin yang memikirkan bagaimana caranya bisa keluar dari tempat ini.
Sophie kembali menyusuri lorong yang seperti tak ada ujungnya. Dokter Edwin ada di belakang tak jauh darinya.
Hingga mereka berhenti karena ada kelokan ke kanan dan di sana juga buntu. Tidak, tidak buntu, melainkan ada satu pintu seperti beton yang menutup lubang tadi.
Kemungkinan pintu ini akan terbuka dengan membelah jadi dua ke kanan dan kiri. Entah apa di dalamnya, tetapi Dokter Edwin tahu bagaimana membukanya.
Tidak rumit menurut Dokter Edwin. Hanya perlu menekan tombol yang ada di dinding sebelah kanan atas, hanya saja ada kesulitan karena ada lima warna beda.
"Kita harus membukanya, darahnya jelas masuk ke dalam ruangan ini." Sophie melihat darah itu. Ia sangat yakin itu darah Aogan.
Dilihatnya lagi tombol itu oleh Dokter Edwin. Ia memicingkan mata, menatap lebih dekat dan senyum lebar keluar setelahnya, hanya ada satu tombol yang menyala walau tak begitu terang.
"Bersiaplah," Dokter Edwin memperingatkan Sophie kalau ia akan membuka pintu. Gadis itu mengangguk dan bersiap jika akan ada tembakan.
Pintu dengan dua bagian kanan dan kiri itu perlahan terbuka, membelah ketika tombol merah ditekan. Sophie menunggu di samping agar tak terlihat, hingga beberapa saat tak ada apapun, serangan atau semacamnya.
"Lepaskan dia!" teriak Dokter Edwin yang belum menunjukkan badannya, tetapi tidak ada jawaban.
Perlahan Sophie melangkah masuk, diikuti Dokter. Ruangan yang kecil terlihat, ada peralatan elektronik, seperti televisi tabung berwarna putih berjumlah tiga. Lemari pakaian dari kayu, di pojokan dan beberapa kabel berserakan.
Sophie mendekati televisi tabung itu, disentuhnya, "Ruangan ini terawat, tak ada debu."
Dokter Edwin mendekati rak, tempat yang berisi DVD dengan wadah plastik dan hanya ada tulisan seperti tanggal saja. Sophie beralih ke hal lain, memeriksa karena jejak darah sudah tak ada.
Dokter Edwin mengambil salah satu DVD. Ia memeriksa di bawah meja televisi dan alat untuk menyetelnya ada di sana pula.
"Berhenti! Jangan nyalakan itu!" teriak seseorang. Asalnya dari dalam lemari menurut pendengaran Sophie.
"Keluar kau! Di mana Aogan, hah!?" tanya Sophie dengan nada keras.
BRAAKKKK!!
Pintu lemari terbuka, Aogan dengan ikatan di kedua tangan dan mulut tertutup rapat oleh kain putih. Badan pria itu didorong dan terjatuh tengkurap tak berdaya.
Sophie lantas membantunya dan segera membuka ikatan di mulut Aogan. Belum sempat membuka ikatan tangan, Sophie mematung saat orang itu menodongkan dua pistol di kedua genggaman tangan.
Bukan terkejut karena peluru bisa saja menghabisi nyawanya. Melainkan hal lain, orang di depannya, ia mengenalnya.
Ada yang berbeda dari orang itu, berambut panjang dan diikat ke belakang. Masih menggunakan pakaian serba putih, sepatu dan sarung tangan berwarna sama. Ada tulisan Stigma di dada kanannya.
Tanpa ragu, Sophie berani membuka mulutnya untuk bertanya.
"Rik?"
****
KAMU SEDANG MEMBACA
OutbreaK II : Madness
Science FictionAkibat Praka dan Darius menghubungi orang asing lewat radio, kapal mereka mendapat serangan. Satu hal yang mereka tahu, ini adalah hal yang sangat buruk. Mereka terdampar di sebuah pulau dekat dengan selat Singapura setelah kapal yang ditumpangi itu...