Kata zombie baru saja didengar Sophie, Aogan, dan Dokter Edwin. Mereka selama ini hanya menyebutnya dengan mayat hidup, monster, makhluk gila, penggigit, dan semacamnya.
"Apa yang kau maksud soal hari itu tiba?" Sophie bertanya dengan begitu sangat penasaran.
"Ah, sebentar," ujar ayah Rikaz. Ia masih menggunakan masker pada wajahnya, ia berjalan mendekati sebuah pintu dan membukanya, "kalian harus membersihkan badan dulu."
Sophie mengerutkan dahi sebelum akhirnya mendekat. Melihat isi ruangan itu dan menatap ayah Rikaz, lalu berucap, "Anda serius? Ini bisa digunakan?"
"Tentu, silakan, airnya hangat juga, ada sabun, sikat gigi dan sebagainya." Ayah Rikaz mengembangkan senyum sembari memberikan handuk hitam.
Sophie menerimanya, masih dengan wajah heran, tetapi senang pula. Mengingat entah kapan terakhir kali mandi dengan air hangat, bahkan ada sabun.
Ia takkan melewatkannya.
"Ah, ganti pakaianmu juga, ada di lemari di dalam."
Sophie kembali tambah mengkerut dahinya, "Kau yakin?"
"Pilihlah yang kau suka, nanti akan kuceritakan semuanya."
Sophie segera masuk, menutup pintu dengan rapat. Menghidupkan shower dan benar, air keluar, dan hangat.
Ayah Rikaz membuka Lab Coat yang sedari tadi digunakan, lalu disangkutkannya pada dinding yang sudah dipasang paku. Ia masuk entah ke ruang apa, tepat di pojok sebelah televisi tabung.
"Hei, kau?" panggil Aogan yang masih duduk. Di sebelahnya ada Dokter Edwin yang sesekali memeriksa beberapa alat dan kabel.
"Ya! Ada apa!?" jawab Ayah Rikaz tanpa keluar dari ruangan itu.
"Apa yang kau maksud jika hari itu tiba?"
"Akan ku jelaskan nanti, jika nona itu sudah selesai mandi, nanti juga setelah makan!" Ayah Rikaz mulai keluar, pakaiannya berubah, kini menggunakan t-shirt putih dengan tulisan Stigma di punggungnya. Ia juga mengikat rambut panjang dengan karet ke belakang.
Ayah Rikaz mendekati lemari di dekat pintu. Dibuka, lalu diambilnya sebuah radio tape dengan satu kaset, disegelnya dengan volume tinggi.
"Kau gila? Kami bisa tuli dengan suara itu!" Dokter Edwin menggeleng, ia segera mendekati radio, berniat mematikan atau sekadar mengecilkan suaranya.
Aogan melihatnya. Ayah Rikaz menggenggam pistol di tangan kiri, di ujungnya sudah ada peredam suara. Gerak dari orang itu juga mencurigakan, ada senyum terukir di wajah itu.
"Dok!" teriakan Aogan tak begitu terdengar karena suara dari radio tape.
Namun ....
Dugaan itu tak terjadi, ketika Sophie datang. Dokter Edwin sudah mematikan radio tape. Sementara Ayah Rikaz langsung meletakkan pistol itu di meja setelah dikeluarkannya peluru yang berjumlah lima.
Aogan berusaha bangkit, berniat marah. Namun, malah Sophie menyuruhnya kembali duduk. Pria keturunan Jepang itu menurut, lagipula memang kakinya butuh istirahat dan mungkin ia terlalu berpikiran buruk pula.
Ah, ia harus berpikiran positif sekarang. Dokter Edwin mendapat giliran untuk mandi, lalu Aogan setelahnya.
Mereka juga berganti pakaian. Jika Sophie memakai sweater cokelat berlengan panjang. Bawahannya jeans tak begitu ketat dan sepatu hitam dan bertali biasa.
Aogan dengan atasan kemeja hitam putih dan Dokter Edwin warna putih saja. Keduanya menggunakan jeans serta sepatu hitam pula. Saat mereka berdua selesai membersihkan badannya, sudah tersedia beberapa makanan di atas meja.
***
"Maaf, sedari tadi saya belum tahu nama Anda, boleh kami tahu agar tidak terlalu canggung?" tanya Sophie di tengah-tengah makan.
Dengan mulut penuh daging, Ayah Rikaz menjawab, "Winarto, kalian?"
"Ah, pak Winar, saya Sophie," sahut Sophie, lalu memperkenalkan yang lain, "ini Aogan, dan dokter Edwin."
Aogan hanya melirik tanpa senyum sedikitpun. Dokter Edwinlah yang memberikan ekspresi itu, lalu berdiri dan diucapkannya sesuatu yang sudah ia simpan dari tadi.
"Ini cctv, kan? Masih hidup?"
Semua pandangan beralih ke Dokter. Winarto menggeleng, "Baru kemarin mati, gak tau apanya yang rusak."
"Boleh kuperbaiki?" pinta Dokter.
"Silakan," jawab Winarto. Ia melanjutkan makannya, hingga semua sudah selesai makan, cctv itu terlihat menyala di bagian tombol power.
Mereka semua berkumpul. Winarto takjub dengan dokter yang juga bisa memperbaiki alat seperti ini.
Satu persatu layar monitor cctv yang dikira televisi tabung itu menyala. Hanya saja tak sebening yang dikira, gambarnya pun hitam putih dan ada garis-garis menghalangi sebagian.
"Aku hanya ingin melihat lima orang yang berpisah dengan kami saat sebelum masuk ke dalam sini," ucap Dokter Edwin menatap layar berulang kali.
"Benar juga, aku juga berharap mereka bisa keluar dengan selamat," ujar Sophie. Dan saat itu pula, dirinya melihat di monitor paling kiri.
Seseorang sedang meringkuk, tidur di lantai. Sophie lantas memberitahu yang lain, mereka tak kalah terkejut. Wajahnya memang tak nampak.
Dokter Edwin tahu ada pengeras suara di seluruh lorong tempat ini. Ia mengambil mic yang tadi juga sudah diperiksa dan berfungsi normal.
"Hei, kau dengar? Kau tidak apa-apa? Tuan? Kau tidak apa-apa?" suara itu terhubung di seluruh pengeras suara, termasuk di lorong tempat pria itu tergeletak.
Ya, pria tergeletak itu adalah Darius.
****
KAMU SEDANG MEMBACA
OutbreaK II : Madness
Khoa học viễn tưởngAkibat Praka dan Darius menghubungi orang asing lewat radio, kapal mereka mendapat serangan. Satu hal yang mereka tahu, ini adalah hal yang sangat buruk. Mereka terdampar di sebuah pulau dekat dengan selat Singapura setelah kapal yang ditumpangi itu...