"Masuklah, cepat!"
Suara teriakan menggema, melewati pintu besi yang setengah terbuka.
"Cepat!" teriak Praka, mempersilakan yang lain. Terutama tiga anak kecil.
Lantas Resha dan Sophie menyusul.
Mereka merangkak. Diaz segera masuk, lalu Brama mengikuti.
Decitan suara besi yang beradu terdengar keras, menusuk ke telinga sebelum Darius menyusul. Ia bersama Praka menatap ke belakang, getaran terjadi, silau cahaya merah menerangi, merayap mendekat.
"Kau masuk!" Praka membentak. Ia mendorong Darius sehingga tak ada pilihan.
Darius merangkak. Ia menatap ruangan yang terlihat kokoh saat sudah di dalam, getaran masih terasa.
Tidak memperdulikan yang lain, Darius lantas melihat lagi ke luar pintu. Namun ....
Pintu itu tertutup rapat dengan cepat, menimbulkan suara keras, lalu disusul dentuman, sebuah ledakan. Memang tak begitu kencang jika di dalam ruangan yang kini mereka tempati.
"Praka! Kau dengar!? Hei?!" Darius berusaha membuka pintu itu, berteriak untuk mengetahui sesuatu yang ada di luar sana. Tak ada jawaban, semuanya pun terdiam.
Ledakan kencang itu terjadi lagi. Kini disertai getaran yang membuat beberapa benda terjatuh ke lantai.
Darius ingat, seseorang memanggil tadi.
"Maaf, aku tak punya pilihan."
Tepat di sana, di kursi kayu, duduk seorang perempuan. Memang tidak terlalu jelas wajahnya karena dalam keadaan gelap, hanya terlihat samar-samar saja.
Semua pandangan tertuju pada perempuan yang mulai berdiri itu. Ia meraih sesuatu di dinding, satu senter yang langsung dinyalakan. Wajahnya menunjukkan kalau kurang lebih ia berumur tiga puluhan tahun.
"Aku takkan mengucapkan selamat datang, karena dari sini semuanya akan berubah, tak ada mayat hidup setelah ledakan itu terjadi. Tapi ...," Perempuan itu memutus omongannya.
Semuanya menunggu beberapa detik hingga si perempuan itu berbicara lagi, "Tapi, kita tak tahu akan berapa lama di dalam sini, itu juga jika semuanya berjalan lancar."
Darius kembali menatap pintu yang tertutup. Di luar sana ada Praka, entah masih hidup atau tidak.
Darius lantas bertanya, "Kau siapa?"
"Aku juga baru sampai di sini. Sesuai perkiraan, bom penetral virus berhasil meledak dan menyebarkannya."
"Hah?" Sophie masih kurang mengerti apa maksud dari perempuan di depan mereka, "Jadi, tak ada para penggigit itu lagi?"
"Tidak yakin seratus persen, tetapi itulah kata mereka, kan?"
"Bagaimana teman kami di luar, apa dia?" tanya Darius.
"Aku menutupnya segera mungkin, tak ada waktu. Kemungkinan dia meninggal."
Semuanya terdiam, menunduk. Walau Praka seperti itu, tetap saja ada jasanya yang membuat mereka masih bertahan hingga sekarang.
Perempuan itu berjalan menuju satu pintu, ia memegang gagang pintu besi, lantas menariknya, membukanya. Di sana ada beberapa kardus yang masih tersegel lakban yang rapi.
"Mungkin bukan saat yang tepat, tapi jika ingin makan, ini semua gratis untuk kalian agar bertahan hingga nanti saatnya kita keluar dari tempat ini."
"Saat kita keluar, apa yang terjadi nanti?" tanya Sophie.
Perempuan itu menaikkan kedua bahu, terus berkata, "Entahlah, jangan pikirkan itu, karena belum tentu kita masih hidup ketika keluar dari tempat ini."
"Belum tentu masih hidup?" Brama ingin memperjelas ucapan yang belum ia mengerti.
"Jangan salah paham, karena entah sampai berapa tahun kita akan di sini, hingga penetral virus itu hilang sepenuhnya dan kita baru aman untuk keluar."
****
KAMU SEDANG MEMBACA
OutbreaK II : Madness
Science FictionAkibat Praka dan Darius menghubungi orang asing lewat radio, kapal mereka mendapat serangan. Satu hal yang mereka tahu, ini adalah hal yang sangat buruk. Mereka terdampar di sebuah pulau dekat dengan selat Singapura setelah kapal yang ditumpangi itu...