Suara erangan sudah biasa terdengar oleh mereka, tetapi tetap saja, terkadang ngeri yang menghampiri. Bukan lagi hantu yang mereka takuti, lebih dari itu, ada sesuatu yang nyata. Para mayat hidup yang berjalan mencari daging orang yang hidup untuk dimakan atau lebih buruknya, manusia adalah musuh utama.
Ketika terjadi suatu bencana yang menimpa. Mungkin, jika para hewan akan berlarian menyelamatkan diri, manusia tentu akan melakukan hal sama, tetapi ada sedikit perbedaan, mereka bahkan menjarah tempat yang seharusnya masih milik orang lain.
Perbuatan yang tidak patut dilakukan oleh mahluk berakal yang disebut manusia. Kadang mereka merusak karena akal itu sendiri, menyalahgunakannya walau tahu itu adalah dosa, walau itu semua salah.
Diaz masih termangu, dari sorotan obor ia bisa melihat lubang yang seperti jurang, memisahkan daratan pulau ini. Para mayat hidup seharusnya ada banyak di sini, tetapi sekarang jumlahnya dapat dihitung dengan jari.
"Di bawah sana, kuyakin ini salah satu pintu, terima kasihlah kepada Brama dan orang-orangnya."
"Pintu?" Diaz mengerut, pintu ke mana? ia pun dibuat bingung dengan pernyataan itu.
Praka berjongkok tepat di bibir lubang. Tangan-tangan mayat hidup berusaha meraih kaki bersepatu itu, lapar tak tertahankan atau hanya nafsu saja yang ada disifat mereka, menularkan virus lewat gigitannya, sangat berbahaya.
"Kau bawa pisau, kan?" tanya Praka.
Diaz memberikan pisau yang ia taruh di pinggangnya. Memberikannya langsung dengan Praka yang ada tepat di depannya.
"Aku, hanya, perlu, menghabisi sisanya dan .... Diaz, kau tetap di situ, terangi selagi aku menghabisi mereka." Praka menusuk dua kepala hingga terkapar tak berdaya.
"Kau tak perlu bantuan? Itu akan lebih mu--"
"Tidak." Praka melompat, lubang dengan dalam dua ratusan sentimeter itu menelannya. "Terangi saja!"
Diaz tentu menurut, berjongkok, menerangi, melihat aksi dari seorang tentara melawan delapan dari para mayat itu. Menghindari, lalu menusuknya, menendang yang akan datang dan menghabisi setelahnya. Hingga semuanya tak tersisa, tinggal napas Praka yang butuh sedikit istirahat.
"Kau, turun! Bantu aku!"
"Jika aku turun, bagaimana cara kita naik lagi?" Diaz sadar, lubang itu cukup dalam, membutuhkan sebuah tangga jika ingin naik tanpa bantuan orang di atas.
Namun, Praka memaksa, lantas ia menunjuk arah lain, "Papan yang kita gunakan dulu masih di sana! Kita bisa menggunakannya untuk naik ke atas, cepat turun bantu aku!"
Diaz melihat sisi lain lubang ini, penerangan obor cukup membantu dan terlihat papan kayu yang mereka gunakan untuk melewati tempat ini.
Cukup hati-hati, Diaz turun, melompat pelan dari pinggir lubang, ada sedikit akar pohon untuk membantunya.
"Sekarang, apa?" tanya Diaz sembari meletakkan obor di bawah, lalu membersihkan telapak tangan yang ada sedikit darah bercampur tanah.
"Ambil ranting, atau benda keras lain, kita akan mencari pintu itu tepat di bawah sini, aku di bagian sini dan kau di sana."
Diaz mengambil ranting, entah mengapa ia menuruti perintah Praka. Sisi kanan dan kiri, hingga Diaz berhenti menggali, ranting miliknya membentur sesuatu yang keras dan berbunyi ketika terpukul.
"Hei, lanjutkan saja, kenapa kau diam?" Praka tidak tahu jika Diaz menemukan sesuatu.
"Sepertinya aku menemukan pintu itu!"
Praka berdiri, mempercepat laju kakinya. Lantas meraba tanah yang Diaz ketahui ada sesuatu di sana.
Dengan pisaunya, Praka membenturkan benda itu dan terjadi, terdengar suara besi yang diadu. "Bagus, kita menemukannya."
KAMU SEDANG MEMBACA
OutbreaK II : Madness
Ficção CientíficaAkibat Praka dan Darius menghubungi orang asing lewat radio, kapal mereka mendapat serangan. Satu hal yang mereka tahu, ini adalah hal yang sangat buruk. Mereka terdampar di sebuah pulau dekat dengan selat Singapura setelah kapal yang ditumpangi itu...