Dua anak kembar, entah apa yang mereka lakukan sampai badannya penuh akan darah. Ketika semua orang sudah bangun dan berkumpul, saat itu sebuah kegetiran pun muncul ke permukaan.
Semua mengira kedua bocah ini tertidur, setidaknya sampai Resha dan Amara ikut terlelap dalam tenda. Mereka keluar dari tenda secara diam-diam, masuk ke hutan setelahnya. Praka dan Brama karena asyik mengobrol pun perhatiannya teralihkan.
Kedua anak kembar sudah membersihkan tubuhnya. Kini mereka berdiri di tengah-tengah semua orang, dalam kegelapan malam dan hanya penerangan obor serta api unggun dekatnya.
"Coba ceritakan, apa yang kalian lakukan?" Brama bersedekap, selain karena dingin, ia juga ingin menunjukkan ketegasan, tidak peduli usia anak di depannya.
"Kami tidak melakukan apa-apa." Dengan santai Moris menjawab.
"Tidak ada apa-apa kalian bilang, hah!?" Brama membentak, dua anak kembar sedikit mundur.
"Hei! Jangan kasar! Mereka anak kecil!" Resha maju, menghentikan langkah Brama yang berniat mendekati dua anak itu.
"Anak kecil yang diam-diam keluar di malam hari, dan ketika pulang badannya penuh darah, apa itu yang kau sebut anak kecil, hah?!" bentak Brama, "Apa kau tahu apa yang mereka lakukan, hah?!"
"Aku tidak tahu, maka dari itu kita tanya dengan perlahan, tidak perlu membentak!" seru Resha, kini ia mendekati dua anak kembar yang diam duduk di atas bongkahan kayu.
Resha jongkok tepat di hadapan kedua anak itu, lalu segera bertanya, "Moris, Moniq, ayo jelaskan kenapa kalian keluar tadi ..., agar kami semua bisa merasa aman, Kakak percaya kalian tidak melakukan hal aneh, benar, kan?"
"Kami keluar karena bosan dan jalan-jalan di hutan," ucap Moris.
"Dan lihat?" Brama menunjuk Moris sambil menggeleng. "Alasan macam apa itu."
Amara mendekat, memegang pundak Brama dan berkata, "Biarkan dulu, mereka cuma anak kecil, tidak ada hal besar yang akan mereka lakukan."
"Kami bertemu satu mayat hidup, dan kami membunuhnya." Kini Moniq yang berbicara.
Mendengar itu, Brama mengusap wajahnya dari atas ke bawah. Menurutnya tidak semudah itu dua anak kecil bisa melakukannya, tidak sekalipun jika mereka sudah punya pengalaman membunuh mayat hidup. Tetap saja, mereka masih anak kecil.
Diaz yang sudah tidak tahan berdiri pun agak menjauh dari kerumunan. Mencari tempat duduk dan ketika menemukannya ia membuat api di sana.
Alam terlihat berjalan mendekat saat tahu jika Diaz menyendiri, lalu menyapa saat sudah berdiri di depan Diaz, "Boleh aku bergabung?"
Diaz mengangguk, "Ya, aku tidak melarangnya."
"Kau sudah bersama dua anak itu cukup lama, kan?" terlontar pertanyaan dari Alam saat ia mengambil balok kayu, lalu duduk di dekat api unggun kecil, berhadap-hadapan dengan Diaz.
"Ya, dari awal dan mereka yang menyelamatkan kami."
"Jadi, apa sebelumnya mereka pernah seperti tadi? Keluar malam hari dan kembali dengan badan penuh darah?"
Diaz mengambil ranting kayu, lalu memasukkannya dalam bara api yang masih menyala, "Pernah, tapi cuma Moriz, itupun dia enggak sendirian."
"Maksudnya enggak sendiri itu bersama siapa?"
"Praka, aku mendengarnya saat malam itu. Kurasa mereka berburu hewan untuk makanan kami."
"Tidak ada yang aneh?"
Diaz menatap wajah Alam saat pertanyaan itu terlontar padanya, lalu menggeleng sambil menjawab, "Kurasa tidak, lagipula kau kenal Praka juga, kan?"
"Ya, dia yang menyelamatkan kita saat di pulau milik Rudi," jawab Alam sembari mengembuskan napas perlahan.
"Jadi, menurutmu ada yang aneh?" Diaz balik bertanya.
Alam tersenyum, "Sepertinya aku yang terlalu curiga. Praka itu masih terlalu misterius soalnya hahaha."
Diaz mengerut, "Misterius bagaimana?"
"Yah, seperti," ucap Alam sembari mengingat sesuatu, "katanya semua orang dalam kapal adalah seorang tentara maupun polisi, kan? Nah, setelah semuanya terjadi, aku dengar dia bicara kalau hanya dia yang seorang tentara?"
Diaz mengingatnya, "Benar juga kau, lalu aku agak aneh dengan kedekatannya dengan Moriz."
"Anak kecil laki-laki itu?"
"Ya, dia seperti pernah bertemu sebelumnya, mereka bahkan pernah berbagi tempat tidur. Kau tahu, sekalipun anak kecil kalau belum kenal sebelumnya tidak akan mau tidur di dekat orang yang tidak ia kenal, ditambah dengan peristiwa ini, semua hal yang membuat rasa curiga dan tidak percaya semakin membesar."
"Kalau si anak perempuan?"
"Moniq? Aku melihatnya memang dekat dengan Resha, tapi aku tidak curiga."
Alam yang masih penasaran pun bertanya kembali, "Kenapa?"
"Dia bersama Rikaz dulu, waktu pertama kali kami bertemu. Sedangkan Praka, dia orang yang menyelamatkan kita dan misterius."
"Apa yang kalian bicarakan?"
Ucapan yang baru saja terdengar pun membuat Alam dan Diaz terdiam. Saat mereka menengok ke arah kanan. Praka berdiri di sana sambil memegang sebuah pistol.
Sesaat keduanya menegang. Rasa curiga menjadikan mereka takut akan Praka.
"Boleh aku duduk?" tanya Praka.
"Dari kapan kau mendengarkan kami mengobrol?" Alam memastikan.
"Aku baru saja datang."
Alam dan Diaz bisa bernapas lega. Orang ini terlihat tidak mendengar soal obrolan tadi.
"Aku mau membicarakan sesuatu," ucap Praka, membuat dua lawan bicaranya mengernyit.
"Soal Moris dan Moniq?" Diaz menebak.
"Jangan terlalu keras," ucap Praka sangat pelan. Diaz dan Alam lantas diam dan tak berbicara lagi, berniat mendengarkan apa yang akan disampaikan.
"Aku sudah hafal tempat ini, sejak awal."
Pernyataan yang sangat mengejutkan. Dugaan Alam dan Diaz menjadi semakin terang, entah apa yang disembunyikan orang bernama Praka ini.
Praka perlahan mengarahkan ujung pistol ke perut Alam, "Dan jangan bilang siapa pun, aku hanya akan memberitahu kalian dan Resha, mengerti?"
Alam tegang, pistol di perutnya siap kapan saja memuntahkan peluru tajamnya. Ketika itu terjadi, tentu saja hanya kematian yang diterima.
"Aku juga yang menyuruh Moriz dan Moniq keluar dari tenda."
"Ap--" ucapan Diaz terhenti saat Praka mengalihkan pistol ke perutnya.
"Kubilang diam, jangan bersuara terlalu keras."
"Ba-baik," Diaz berkeringat, angin malam tak sanggup menahan rasa tegangnya dan tak sanggup menagan keringat yang mengucur karena ketakutan.
"Aku berusaha menyelamatkan kita."
Ucapan Praka sulit dicerna walaupun sederhana. Todongan pistol ke arah perut cukup sebagai alasan dan membuat Praka terlihat berdarah dingin. Karena jika ingin menyelamatkan, kenapa harus mengancam?
Hingga ucapan yang mengerikan keluar dari mulut Praka, "Aku ingin kalian membunuh seseorang."
****
KAMU SEDANG MEMBACA
OutbreaK II : Madness
Science FictionAkibat Praka dan Darius menghubungi orang asing lewat radio, kapal mereka mendapat serangan. Satu hal yang mereka tahu, ini adalah hal yang sangat buruk. Mereka terdampar di sebuah pulau dekat dengan selat Singapura setelah kapal yang ditumpangi itu...