Sesaat sebelum penembakan ....
Brama melihat setiap sudut ruangan yang ia masuki, di depannya ada Praka yang entah akan melakukan apa.
Tak ada yang aneh, lantai pun bersih dari darah. Kematian pria tadi sangat mencurigakan, jika dilihat lagi, entah apa yang menyebabkan seseorang bisa mati di dalam ruangan ini. Oksigen pun masih bisa dihirup dengan bebas.
Saat Brama memikirkan segala kemungkinan. Ia dikagetkan oleh satu botol air minum yang terbang ke arahnya, dengan sigap ia menangkapnya dan menatap sang pelaku pelemparan itu, Praka.
"Minumlah."
Karena haus tak tertahan, Brama membuka penutupnya, lalu meminumnya perlahan. Air yang mengalir lewat tenggorokannya itu seperti membuka melewati sungai kering kerontang, terasa lega hingga setengah air dalam botol sudah tercerna.
"Jika aku tidak salah perhitungan, lima jam dari sekarang akan ada yang menghubungi tempat ini," ucap Praka sembari mendekati lemari, lalu membukanya. Diambilnya kotak yang terbuat dari kayu.
Brama yang tak mengerti pun hanya bisa mengerutkan dahi, lalu bertanya, "Menghubungi tempat ini, siapa?"
Praka tak menatap Brama, ia sibuk mencari sesuatu di saku celananya. Beberapa saat ia terlihat menemukan kunci, tepat sekali. Kunci itu lantas digunakan untuk membuka kotak kayu yang digembok sangat kuat.
Brama mendekati, "Hei! Siapa yang akan menghubungi tempat ini?!"
"Orang yang akan menghilangkan virus ini. Bagus, bukan?" Praka berhasil membuka kotak itu. Di dalamnya ada kaset yang terbungkus wadahnya sangat rapi.
"Menghilangkan virus? Maksudmu, memusnahkan virus mayat hidup? Bagaimana caranya?" Brama semakin penarasan.
"Tak perlu khawatir, kita akan selamat jika berada di sini. Kecuali kita ada di luaran sana tanpa perlindungan."
Brama mendekati Praka, memegang kuat pundak lawan bicaranya yang bahkan tak menatapnya sedari tadi. "Tatap aku! Jelaskan sekarang, apa yang akan terjadi pada mereka yang masih hidup dan ada di luar sana, hah?!"
Praka dengan terpaksa menghadap ke Brama. Ia biasa saja, tanpa ekspresi dan saat mendengar pertanyaan Brama, dijawabnya dengan pelan, "Mati."
"Mati?!"
Kini, Praka yang mengerutkan dahi, "Kenapa? Bukankah kau malah dengan tega membunuh Rikaz waktu itu?"
"Bukan! Ini bukan soal aku yang membunuh temanmu! Lagipula, aku tak sengaja, kukira dia itu yang membunuh keluargaku," ucap Brama yang perlahan menurunkan intonasi suaranya.
Praka kembali sibuk mengambil kaset dalam kotak kayu itu. Ia meletakkannya pada meja sembari berkata lagi, "Daripada virus ini berlanjut, tak apa mengorbankan mereka yang ada di luaran sana."
"Maksudmu?"
"Ya, untuk mendapatkan sesuatu, terkadang kita harus berkorban sesuatu yang lain. Dari dulu begitu, tak ada yang berubah."
"Baiklah, aku mengerti, asal yang ada di sini, semuanya akan selamat, kan?" Brama menerimanya. Tak masalah, apa yang diucapkan Praka ada benarnya juga.
"Kuberitahu sesuatu, oksigen di sini takkan cukup untuk kita semua. Aku berencana membunuhmu terlebih dulu, tapi kalau kulihat kau cukup tangguh dan masih ada yang lebih lemah. Kau mau bekerja sama denganku?"
"Kau gila, maksudmu, perlahan kita membunuh satu persatu dari mereka dan jadikan pembunuhan itu seolah kecelakaan, kau sudah hilang akal." Brama menggelengkan kepala, tangan kanannya sudah siap mencabut pistol yang terpasang rapi di pinggangnya.
Praka tersenyum, "Dalam kehidupan sekarang ini, yang kuat dan pintarlah yang akan bertahan. Membunuh atau terbunuh, atau lebih buruk, jika semuanya hidup, maka semuanya juga mati karena oksigen di sini habis. Lain lagi jika satu persatu mati, maka yang membunuh akan selamat. Kau pernah membunuh seseorang tanpa rasa menyesal, kuyakin kau bisa, kan?"
"Cukup!" Brama membentak, ia menodongkan pistolnya, lalu ditariknya pelatuk itu dan meluncurlah peluru sesudah bunyi tembakan terdengar.
Teriakan dari Praka pun menggema keseluruh ruangan ini. Ia tergeletak, badannya berguling beberapa kali, telinganya mendengung kuat, sampai suara di sekitarnya tak terdengar.
Beruntung, Brama tak benar-benar berniat membunuh Praka. Pria itu hanya kehilangan sedikit daun telinga kanan. Mungkin juga, kemampuan mendengarnya bisa hilang. Saat ini, napasnya tak karuan, terlihat sangat tersiksa, darah sudah membasahi lantai walau tak begitu banyak.
Praka berusaha bangun. Dengungan sangat menyiksanya. Tiba-tiba tubuhnya disentuh, dipegang erat oleh Brama, lalu didudukkan pada pinggir ruangan, punggungnya menyandar pada dinding.
Brama berjongkok di hadapan Praka, menatap tajam, lalu bertanya, "Kau berbahaya, kau adalah salah satu dari mereka, kan?"
Praka menarik napas dalam. Sambil meringis kesakitan, ia menjawab, "Terlambat. Mereka akan melakukannya tanpa menunggu konfirmasi dari tempat ini. Lagi pula, percobaan Tallessa sudah gagal dari awal."
Langkah kaki terdengar, dari pintunya yang terbuka itu datang dua orang. Tidak, bahkan ada yang mengikuti satu orang lagi.
Sophie dan Resha segera menghampiri dengan kotak obat di tangannya. Ia memeriksa Praka dan terlihat sedikit bersyukur karena tak terjadi masalah serius.
"Kenapa kau melakukannya?" tanya Sophie.
"Dia ingin kalian mati," jawab Brama sembari berdiri. Hanya gelengan kepala yang ia terima dari pernyataannya ini. Belum ada cukup bukti, jadi Brama hanya diam saat semuanya tak percaya.
"Hei." panggilan dari Darius membuat Brama membalikkan badan.
"Oh, kau, aku paham jika kau tak percaya."
"Tidak... Belum, aku belum percaya sampai kau bisa membuktikannya dan sepertinya kau punya." Darius menunjuk sesuatu yang ada di atas meja. Kaset DVD.
Mata Brama memperhatikan, benar juga. Entah apa yang ada di dalam kaset itu, yang jelas, mungkin ada rahasia tersembunyi, "Lebih baik cepat kita putar sebelum yang dikatakan Praka terjadi."
Brama mengambil kaset itu. Darius menyalakan beberapa alat, termasuk DVD player yang sudah siap terhubung dengan komputer.
Layar gelap sesaat, hingga terlihat seorang pria. Jelas itu adalah Praka sedang membuka benda besar yang tertutup kain putih.
"Itu... rudal?" ucap Brama sembari meneguk ludahnya. Jelas sekali, itu adalah senjata yang bisa memusnahkan satu kota besar dalam satu kali ledakan.
****
KAMU SEDANG MEMBACA
OutbreaK II : Madness
Science-FictionAkibat Praka dan Darius menghubungi orang asing lewat radio, kapal mereka mendapat serangan. Satu hal yang mereka tahu, ini adalah hal yang sangat buruk. Mereka terdampar di sebuah pulau dekat dengan selat Singapura setelah kapal yang ditumpangi itu...