Dokter Edwin meraba dinding. Ia merasakan bahwa ini seperti sebuah kaca, tetapi entahlah dan lantas mempercepat larinya ke Aogan, Sophie serta beberapa orang di depan sana.
Lantai semen kasar dan tanah serta ada akar pepohonan yang mencuat, genangan air mewarnai lorong ini sehingga langkah kaki mereka begitu jelas terdengar.
Semuanya membawa senter, tetapi hanya beberapa yang menyalakannya untuk menghemat baterai. Dari keempat lorong, mereka memilih ruang tiga yang tulisannya telah luntur dimakan waktu.
"Ini cukup membuatku ingin keluar secepat mungkin ...." ujar salah seorang anak buah Aogan. Ia terlihat begitu ketakutan, tatapannya selalu berpindah sesuai suara aneh yang terdengar di sekitar lorong.
"Keluarlah jika kau ingin, tidak ada paksaan dan terserah kalian." Aogan terlihat kesal. Sophie pun hanya diam dengan seputusan ini.
"Maafkan kami, Tuan," ucap lagi orang yang terlihat ketakutan. Dirinya mundur dan melangkah menjauh setelah berbalik badan.
Dua orang terlihat ragu, tetapi langsung pergi saat bentakan keluar dari mulut Aogan. "Cepat! Tidak ada paksaan di sini!"
"Ba-baik ...." jawab mereka berdua sebelum benar-benar pergi.
Sophie beberapa saat menatap lima orang itu. "Apa mereka akan baik-baik saja?"
"Biarkan, semakin sedikit jumlah kita, maka lebih cepat dalam berlari jika terjadi hal tak diinginkan. Lagi pula mereka hanya akan menjadi beban," jawab Aogan. Ia mendongak karena ada hal aneh di lorong ini.
Dokter Edwin masih memeriksa sekitar. Ia menggali lagi tembok di sampingnya. "Sebenarnya ini tempat apa?"
Aogan dan Sophie lantas mendekat. Galian pada dinding yang tadinya diselimuti tanah serta lumut kini terlihat mengkilat bening.
Sophie melihat benda biru yang sebagiannya masih tertutup lumut. Ia membersihkannya dan terlihat jelas sebuah tombol terdapat di sana.
"Tombol apa itu?" Aogan ikut menatap lekat.
"Mengingat tak ada lagi sebuah pintu, mungkin itu tombol untuk membukanya." tebak Dokter Edwin.
Tanpa sepatah kata apapun, Sophie mengulurkan tangan kanan dan memencet tombol biru. Dokter Edwin terlihat cemas saat suara aneh terdengar.
"Mundur ...," ucap Aogan yang merasakan jika pijakan mereka seperti bergetar.
Ketiganya melangkah mundur. Lantai itu bergetar hingga terbentuk celah untuk turun layaknya tangga. Mereka melongok ke tangga itu, yang jelas sekali sangat dalam.
"Kalian yakin di sana tidak bahaya?" kini Dokter Edwin yang sedikit ragu. Ia menyorot lubang itu dan seolah tak ada dasarnya.
Sophie melirik sekitar, benda yang ia cari pun diambilnya. Satu batu berukuran satu kepal tangannya di jatuhkan dan tak ada bunyi hingga beberapa detik.
"Ya, ini kemungkinan sangat dalam," Sophie mengambil kesimpulan dari batu yang ia jatuhkan tadi.
Hingga suara batu yang terjatuh ke dalam air pun menggema hingga ke atas. Membuat mereka yakin jika ada sesuatu di dalam sana.
"Biar aku dulu ...," ucap Aogan. Ia melangkahkan kakinya menuruni tangga. Lantas berteriak saat tiba di sana "Ada tangga menuju ke bawah! Kemarilah!"
"Kau dulu ...." Dokter Edwin mempersilakan Sophie.
Sophie langsung ikut turun dan Dokter Edwin mengikuti. Mereka bertiga menuruni tangga, menuju ke bawah di lubang berbentuk bulat layaknya sebuah sumur.
"Berhenti ..., tangganya terputus." Aogan melihat sekitar. Tangga yang menempel di dinding dan berputar menuju ke bawah itu telah terputus.
"Loncat saja," ujar Sophie tanpa ragu.
Dokter Edwin mengerutkan dahi. Menurutnya ini ide yang gila. "Dan kita bisa saja mati karena menghantam sesuatu di bawah sana atau tergigit mayat hidup yang menunggu di sana."
"Sophie benar, dari batu yang tadi dilempar tercipta suara air. Kemungkinan di bawah itu seperti danau." dukung Aogan. Ia lantas menunjuk si Dokter. "Kau dulu."
"Tap-tapi, tuan?" Dokter Edwin cemas. Ketakutannya saat ini sangat terlihat dari raut muka dan gerak tubuhnya.
Sophie tak ambil pusing. Ia berjalan ke belakang Dokter Edwin yang sedang melongok ke bawah tepat di pinggir tangga dan sebuah teriakan kaget keluar serta menggema setelah Sophie mendorong pria itu.
Teriakan itu berhenti untuk sesaat. Sampai suara air terdengar jelas dan ....
Dokter Edwin berseru dari bawah sana. "Hei! Melompatlah! Kalian harus melihat ini!"
*****
.... TBC ....
KAMU SEDANG MEMBACA
OutbreaK II : Madness
Science FictionAkibat Praka dan Darius menghubungi orang asing lewat radio, kapal mereka mendapat serangan. Satu hal yang mereka tahu, ini adalah hal yang sangat buruk. Mereka terdampar di sebuah pulau dekat dengan selat Singapura setelah kapal yang ditumpangi itu...