"Berlutut!" seru Resha memerintah. Untung saja ia bisa menahan diri yang sebenarnya ingin menghabisi pria berpakaian serba hitam.
Masih dengan parang yang hampir menggorok lehernya, Bram melirik sedikit dengan berdecik kesal, sementara Alam berulang kali meneguk ludahnya karena bisa saja mati kali ini.
"Apa masalahmu dengan kami, hah?!" tanya Praka sembari berseru dan mendorong kepala Bram pelan.
Bram diam, gigi atas dan bawahnya saling beradu karena kesal dalam posisinya sekarang ini. Sementara Alam masih mulai memberanikan diri membuka mulutnya.
"Aku tidak, me-mengerti, a-ada apa ini?" tanya Alam, tatapannya kini tertuju pada pria berjubah yang tadi ia lihat seperti orang dewasa, tetapi kini orang tersebut menjadi dua bocah, laki-laki dan perempuan.
"Bodoh!" senggol Resha ke kepala Alam yang belum ia ketahui siapa sebenarnya. "Pertanyaan bodoh! Kau temannya dan tidak tahu? Atau berpura-pura tak tahu, hah!?"
"Dia memang tidak tahu, jika ingin menghukum, hukum aku karena telah membunuh teman kalian." Sikap dingin Bram terlihat, dengan santainya ia menjawab tanpa ada rasa dosa.
Moniq Moris berdiri di depan Bram dan Alam. Menatap dengan kebencian teramat dalam. Dua anak kecil ini tahu jika satu diantaranya tak tahu menahu.
Diaz juga memperhatikan, hanya dia yang tak membawa senjata dan hanya sebatang kayu tajam ujungnya.
Resha yang akan memukul Alam pun berhenti sebelum melakukannya ketika Moris dan Moniq berteriak sambil menunjuk Bram, "Dia orangnya."
Alam menengok ke Bram. Ia tak banyak berbicara, hanya heran, ada masalah apa dengan pria di sampingnya dengan empat orang yang mengancam mereka.
"Aku tak tahu urusan kalian, tapi aku harap masalah ini dapat dibicarakan," ucap Alam. Ia tak mau jika hidupnya berakhir dari pertikaian yang tak diketahuinya.
"Diam kau!" Resha sudah terlanjur emosi. "Siapa suruh kau bicara?"
Resha yang lebih lama mengenal Alam pun tak bisa membedakan suaranya. Lain dengan Praka yang lantas melangkah ke depan, lalu jongkok di hadapan orang berpakaian putih abu-abu, seragam SMA.
Alam menatap pria di depannya, begitu pula Praka. Saling tatap, hingga sadar akan semuanya.
Wajah keduanya semringah. Tak ada kata yang dapat terucap ketika orang yang di anggap telah tiada tiba-tiba muncul begitu saja.
"Alam?"
"Pak Praka, aku tahu kalian masih selamat, aku tahu, aku tahu itu!" tak terasa, satu tetes air mata keluar membahasi pipi kotornya.
Praka lantas membantu Alam berdiri. Mereka melepas rindu dengan sekali pelukan dan saat terlepas, Alam bertanya kembali.
"Mana yang lain?" tanya Alam dan membuat Praka terdiam.
"Iya, mana yang lain?" sambung Diaz yang tak kalah terkejut melihat Alam masih selamat.
Resha belum sepenuhnya melihat wajah Alam, hingga ia melangkah ke depan badan pria itu dan entah mengapa malah kesedihan begitu terasa, sesak di dalam hatinya dan pelukan rindu pun menyapa keduanya.
"Aku kira kalian ...," Alam tak sanggup melanjutkan ucapannya. Sementara Bram terlihat akan bangkit dari jongkoknya, tetapi Moniq dan Moriz sudah menodongkan pistol ke kepalanya.
"Aku juga menyangka begitu." Sambung Resha setelah melepas pelukan dan mengusap tangisnya.
Alam melihat kedua anak dengan yang laki-laki sedang menodongkan pistol. Kemudian menatap lagi sekeliling, tak ada apapun, tak ada mereka, tak ada teman yang lainnya, hanya tiga.
"Lam? Kami hanya bertiga," jelas Praka. Sementara Resha segera menundukkan kepalanya, memikirkan kata yang tepat kalau Rikaz telah tiada dan pembunuhnya kemungkinan pria yang kini jongkok tak berdaya. Ah, mungkin lebih baik tak membicarakannya.
"Aku terlalu banyak berharap, jelas serangan semacam itu takkan mungkin semuanya selamat," Alam mengatur napasnya, mencoba lebih menerima keadaan.
Alam lantas mencoba tersenyum. Ia mendekati Bram, lalu membuatnya berdiri, "Kukira, Darius dan Rikaz bersama kalian, tapi tak apa, aku bertemu dengan Bram, dia--"
"Dia sudah membunuh Rikaz." Diaz angkat bicara. Semuanya lantas menatapnya tak terkecuali Alam yang tak percaya.
"Pakai panah, dia membunuhnya dan membuat Rikaz mati dimakan para mayat itu," sambung Moniq dan Moriz mengiyakannya.
Kedua anak ini terlalu jujur. Perkataan yang tak dikira oleh Resha yang berusaha menyembunyikan fakta agar Alam tak bertengkar dengan sahabat barunya.
Namun, reaksi tak terduga muncul dari diri Alam. Emosinya memuncak, genggaman keduanya telapak tangannya begitu kuat dan gigi atas bawah saling beradu.
Hantaman keras membuat hidung Bram berdarah. Belum sempat ia mengumpat, dua kali, tidak, bahkan bertambah lagi tinjuan keras.
Entah mengapa yang lain hanya menonton saja. Hingga Bram tersungkur, di atasnya Alam berdiri lalu menghantam lagi penuh emosi.
"Kau, tak, pantas, untuk, hidup!!!!"
*****
KAMU SEDANG MEMBACA
OutbreaK II : Madness
Science FictionAkibat Praka dan Darius menghubungi orang asing lewat radio, kapal mereka mendapat serangan. Satu hal yang mereka tahu, ini adalah hal yang sangat buruk. Mereka terdampar di sebuah pulau dekat dengan selat Singapura setelah kapal yang ditumpangi itu...